Artikel
PENGUATAN KARAKTER BANGSA SEBAGAI SALAH SATU KOMPETENSI PEMBELAJARAN ABAD KE-21

PENGUATAN KARAKTER BANGSA SEBAGAI SALAH SATU KOMPETENSI PEMBELAJARAN ABAD KE-21

Oleh: Nunung Rustini, S.Pd
Guru pada MTs Al Wathoniyah 14

Pendidikan karakter merupakan suatu keniscayaan dalam upaya menghadapi berbagai tantangan pergeseran karakter yang dihadapi saat ini. Pendidikan karakter  bertujuan mengembangkan kemampuan seseorang untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehar-hari dengan sepenuh hati. Karena pendidikan karakter merupakan suatu habit, maka pembentukan karakter seseorang itu memerlukan communities of character (komunitas masyarakat yang bisa membentuk karakter). Peran sekolah sebagai communities of character  dalam pendidikan karakter sangat penting. Sekokah mengembangkan proses pendidikan karakter melalui proses pembelajaran, habituasi, kegiatan ekstrakurikuler, dan bekerja sama dengan keluarga dan masyarakat dalam pengembangannya.

Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang dicanangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2017 (Komalasari dan Didin saripudin, 2017), mengidentifkasi lima nilai utama karakter yang saling berkaitan membentuk jejaring nilai yang perlu dikembangkan sebagai prioritas, yaitu nilai religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas.

Pertama, nilai karakter religius mencerminkan keberimanan terhadaap Tuhan Yang Maha Esa yang diwujudkan dalam perilaku melaksanakan ajaran agama dan kepercayaan yang dianut, menghargai perbedaan agama, menjunjung tinggi sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama dan kepercayaan lain, hidup rukun dan damai dengan pemeluk agama lain. Kedua, nilai karakter nasionalis merupakan cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa, menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Ketiga, nilai karakter mandiri merupakan sikap dan perilaku tidak bergantung pada orang lain dan mempergunakan segala tenaga, pikiran, waktu untuk merealisasikan harapan, mimpi dan cita-cita. Subnilai mandiri antara lain etos kerja (kerja keras), tangguh tahan banting, daya juang, profesional, kreatif, keberanian dan menjadi pembelajar sepanjang hayat. Keempat,  nilai karakter gotong royong mencerminkan tindakan menghargai semangat kerja sama dan bahu membahu menyelesaikan persoalan bersama, menjalin komunikasi dan persabatan, memberi bantuan/pertolongan pada orang-orang yang membutuhkan. Kelima,  nilai karakter integritas merupakan nilai yang mendasari perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, memiliki komitmen dan kesetiaan pada nilai-nilai kemanusiaan dan moral (integritas moral). Karakter integritas meliputi sikap tanggung jawab sebagai warga negara, aktif terlibat dalam kehidupan sosial, meliputi konsistensi tindakan dan perkataan yang berdasarkan kebenaran.

Dari zaman ke zaman, pendidikan muncul dalam berbagai bentuk dan paham. Dilihat dari sejarahnya, pendidikan Indonesia dapat dibagi secara urutan waktu kurang lebih sebagai beikut: Pertama, zaman pra-kolonial, masa prasejarah dan masa sejarah. Kedua, zaman colonial ketika system pendidikan ‘modern’ dari Eropa diperkenalkan, dan ketiga, zaman kemerdekaan Republik Indonesia yang berlangsung hingga sekarang. Masing-masing zaman memiliki corak dan bentuk sendiri.

Memasuki abad ke-21 sekarang ini, pendidikan Indonesia dihadapkan dengan sejumlah tantangan dan peluang, yang tentunya berbeda dengan zaman-zaman sebelumnya. Guna mengantisipasi dan menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan dan dinamika perubahan yang sedang dan akan terus berlangsung di Abad ke-21 ini, bangsa Indonesia harus semakin mengasah kemampuan yang dibutuhkan untuk menghadapi setiap revolusi pada Pendidikan di Abad ke-21 ini.

Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2017) mengidentifikasi 5 (lima) nilai utama karakter yang saling berkaitan membentuk jejaring nilai yang perlu dikembangkan sebagai prioritas, yaitu religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas.

Pengembangan nilai-nilai karakter menurut Ki hajar Dewantara yakni olah hati (etika), olah pikir (literasi), olah karsa (estetika), dan olah raga (kinestetika). Nilai-nilai karakter yang perlu dikembangkan meliputi: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab dan lain-lain.

Menurut Lickona (1992) lebih lanjut menjelaskan identifikasi moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action atau perbuatan moral. Moral knowing adalah hal yang  penting untuk diajarkan, yang terdiri atas enam hal: 1) moral awareness (kesadaran moral), 2) knowing moral values (mengetahui nilai-nilai moral), 3) perspective taking (pengambilan perspektif), 4) moral reasoning (alasan moral), 5) decision making (pengambilan keputusan), dan 6) self-knowledge (pengetahuan diri). Moral feeling adalah asfek yang lain yang harus ditanamkan kepada siswa yang merupakan sumber energy dari diri manusia untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral. Terdapat 6 (enam) hal yang merupakan aspek emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia berkarakter yakni: 1) conscience (nurani), 2) self esteem (percaya diri), 3) empathu (merasakan penderitaan orang lain), 4) loving the good (mencintai kebenaran), 5) self control (mampu mengontrol diri), dan 6) humility (kerendahan hati). Moral action adalah bagaimana membuat pengetahuan dan perasaan moral dapat diwujudkan menjadi tindakan nyata. Perbuatan/tindakan moral ini merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morality) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu: 1) kompetensi (competency), 2) keinginan (will), dan 3) kebiasaan (habit).

Lebih lanjut Dimerman (2009:9) mengidentifikasi 10 karakter yang harus dikembangkan yaitu: 1) respect; 2) responsibility; 3) honesty; 4) empathy; 5) fairness; 6) initiative; 7) courage; 8) perseverance; 9) optimism; and 10) integrity. Indonesia heritage Foundation yang juga banyak bergerak dalam pendidikan karakter mengidentifikasi ada 9 (Sembilan) karakter mulia yang menjadi pilar: 1) cinta Tuhan dan kebenaran; 2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; 3) amanah; 4) hormat dan santun; 5) kasih saying, kepedulian, dan kerjasama; 6) percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah; 7) keadilan dan kepemimpinan; 8) baik dan rendah hati; 9) toleransi dan cinta samai (Megawangi, 2004:28-30). Sementara itu Tim Pakar yayasan Jati Diri Bangsa (2011) mengangkat rumus 5+3+3 atau 11 kebiasaan. Secara ringkas dikutipkan di sini, 5 (lima) sikap dasar yaitu jujur, terbuka, berani mengambil resiko dan bertanggung jawab, komitmen, berbagi dengan 3 (tiga) syarat yaitu niat, tidak mendahului kehendak Tuhan dan bersyukur, lalu dilakukan dengan 3 9tiga) syarat yaitu do’a atau ibadah, mewujudkan perubahan lalu dikunci dengan teladan.

Secara lebih khusus dalam pendidikan kewarganegaraan dikenal civic disposition (Branson, 1999:23). Pada civic disposition yaitu ‘’… those attitudes and habit of mind of the citizen that are conductive to the healthy functioning and common good of the democratic system’’. Sikap dan kebiasaan berpikir warga negara yang menopang berkembangnya fungsi social yang sehat dan jaminan kepentingan umum dari system demokrasi. Secara konseptual civic disposition meliputi sejumlah karakter kepribadian, yakni: ‘’Civility (respect and civil discourse), individual responsibility, self-discipline, civic-mindedness, open mindedness (openness, skepticism, recognition of ambiguity), compromise (conflict of principles, compassion, generosity, and loyality to the nation and its principles)’’ (Quigley, et. Al., 1991:13-14).

Sementara itu, Jennifer Nicholas (2015) menyederhanakannya ke dalam prinsip pokok pembelajaran abad ke-21 yang dijelaskan dan dikembangkan seperti berikut ini.

a.   Instructional  should be student-centered

Pengembangan pembelajaran seyogyanya menggunakan pendekatan  pembelajaran yang berpusat pada siswa. Siswa ditempatkan sebagai subyek pembelajaran yangs ecara aktif mengembangkan minat dann potensi yang dimilikinya. Siswa tidak lagi dituntut untuk mendengarkan dan menghafal materi pelajaran yang diberikan guru, tetapi berupaya mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilannya, sesuai dengan kapasitas dan tingkat perkembangan berfikirnya, sambil diajak berkontribusi untuk memecahkan masalah nyata yang terjadi dalam masyarakat.

b.   Educational should be collaborative

Siswa harus dibelajarkan untuk bisa berkolaborasi dengan orang lain. Berkolaborasi dengan orang yang berbeda dalam latar budaya dan nilai yang dianutnya. Dalam menggali informasi dan membangun makna, siswa perlu didorong untuk bisa berkolaborasi dengan teman-teman di kelasnya. Dalam mengerjakan suatu proyek, siswa perlu dibelajarkan bagaimana menghargai kekuatan dan talenta setiap orang serta bagaimana mengambil peran dan menyesuaikan diri secara tepat dengan mereka.

c.    Learning should have contest

Perkembangan tidak akan banyak berarti jika tidak memberi dampak terhadap kehidupan siswa di luar sekolah. Oleh karena itu materi pelajaran perlu dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari siswa. Guru mengembangkan metode pembelajaran yang memungkinkan siswa terhubung dengan dunia nyata (real word). Guru membantu siswa agar dapat menemukan nilai, makna dan  keyakinan atas apa yang sedang dipelajarinya serta dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-harinya. Guru melakukan penilaian kinerja siswa yang  dikaitkan dengan dunia nyata.

d.   Schools should be  integrated with society

Dalam upaya mempersiapkan siwa menjadi warga negara yang bertanggung jawab, sekolah seyogyanya dapat memfasilitasi siswa untuk terlibat dalam lingkungan sosialnya. Misalnya mengadakan kegiatan pengabdian masyarakat, dimana siswa dapat belajar mengambil peran dan melakukan aktivitas tertentu dalam lingkungan sosial. Siswa dapat dilibatkan dalam berbagai pengembangan program yang ada di masyarakat, seperti program kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup dan sebagainya. Selain itu, siswa perlu diajak pula mengunjungi panti-panti asuhan untuk melatih kepekaan empati dan kepedulian sosialnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan ke dalam hal-hal sebagai berikut: 

  1. Pendidikan karakter merupakan pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan siswa untuk memberikan keputusan baik-buruk,  memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
  2. Pendidikan karakter yang baik, harus melibatkan bukan saja aspek pengetahuan yang baik (moral knowing), tetapi juga merasakan dengan baik atau loving the good (moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action). Jadi pendidikan karakter erat kaitannya dengan ‘habit’  atau kebiasaan yang terus menerus dipraktikkan dan dilakukan.
  3. Pendidikan karakter merupakan suatu habit, maka pembentukan karakter seseorang itu memerlukan communities of character yang terdiri atas keluarga, sekolah, institusi keagamaan, media, pemerintahan dan berbagai pihak yang mempengaruhi generasi muda. Semua communities of character tersebut hendaknya memberikan suatu keteladanan, intervensi, pembiasaan yang dilakukan secara konsisten, dan penguatan. Dengan kata lain pembentukan karakter memerlukan pengembangan keteladanan yang ditularkan, intervensi melalui proses pembelajaran, pelatihan, pembiasaan terus menerus dalam jangka panjang yang dilakukan secara konsisten dan penguatan.
  4. Pendidikan nasional abad 21 bertujuan untuk mewujudkan cita-cita bangsa,  yaitu masyarakat bangsa Indonesia yang sejahtera dan bahagia, dengan kedudukan terhormat dan setara dengan bangsa dan dunia global, melalui pembentukan masyarakat yang terdiri dari sumber daya manusia yang berkualitas, yaitu pribadi yang mandiri, berkemauan dan berkemampuan untuk mewujudkan cita-cita bangsanya.
  5. Pengembangan pembelajaran abad 21 beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain: tugas utama guru sebagai perencana pembelajaran, memasukkan unsur berpikir tingkat tinggi  (Higher Order Thinking), penerapan pola pendekatan dan model pembelajaran yang bervarisi, serta integrasi teknologi