Artikel
Ciri Deep Learning

Ciri Deep Learning

Oleh : Asip Suryadi
Widyaiswara BDK Jakarta

Selamat berjumpa kembali di artikel pembahasan deep learning. Artikel sekuel ini merupakan resume dan interpretasi dari buku DEEP LEARNING: ENGAGE THE WORD CHANGE THE WORD yang ditulis Michael Fullan, Joanne Quinn dan Joanne McEachen. Di artikel sebelumnya saya memuat rangkuman dari seluruh isi buku. Mari kita perdalam dengan mendiskusikan bagian demi bagian dari buku tersebut. Kita mulai dengan definisi Michael Fullan dkk. mengenai Deep learning.

Di halaman 44 buku tersebut Fullan dkk. mendefinisikan deep learning is the process of acquiring these six global competencies: character, citizenship, collaboration, communication, creativity, and critical thinking. (Deep Learning adalah sebuah proses untuk menanamkan kepada para murid enam kompetensi: karakter, kewarganegaraan, kolaborasi, komunikasi, kreativitas, berpikir kritis).

Definisi ini tidak menggambarkan deep learning sebagai sebuah pendekatan, strategi atau metode pembelajaran sebagai sebuah proses seperti definisi yang saya harapkan. Malah lebih menggambarkan hasil akhir yang diharapkan bisa tercapai. Namun demikian berdasarkan definisi tersebut kita dapat memahami dengan jelas bahwa Deep Learning a-la Fullan dkk. memiliki target yang tegas yaitu untuk menanamkan kepada para murid kompetensi Abad-21 yang mereka sebut The Six Global Competencies.

Tapi mari kita telaah lebih lanjut lagi apa yang mereka maksudkan dengan deep learning sebagai sebuah proses. Di Bab 1 buku tersebut bertebaran penjelasan-penjelasan yang dapat dijadikan indikator deep learning sebagai sebuah proses. Pertama, Bab 1 dimulai dengan kutipan “Nothing worth learning can be taught” – Oscar Wilde. (Perlu diketahui bahwa Oscar Wilde adalah penyair-penulis drama terkemuka dari Inggris di Abad 19). Fullan dkk. menganggap perlu mengutip kalimat ini untuk menggambarkan gagasan mengenai Deep learning.

Bagi saya yang hanya mampu berbahasa Inggris sekedar membaca dan menerjemahkan sembarangan agak sulit memahami frase ini. Saya mencoba mencari penjelasan di referensi bebas menggunakan mesin penelusuran online. Mesin penelusur Google menyimpulkan bahwa maksud dari frase tersebut adalah “… true understanding and mastery are gained through personal experience, not just through instruction”. Apabila diterjemahkan secara bebas kalimat tersebut berarti “Pemahaman dan penguasaan terhadap materi ajar yang sebenarnya diperoleh melalui pengalaman pribadi, bukan melalui mendengarkan guru mengajar”. Hal ini menekankan bahwa belajar bermakna dan mendalam dilakukan melalui pembelajaran aktif dan kreatif,  bukan sekedar melalui proses pasif menyerap informasi.

Ini mengingatkan saya ke teori learning by doing yang digagas John Dewey pertengahan Abad 19. Belajar itu harus dilakukan melalui pengalaman langsung melakukan sesuatu. Belajar tidak cukup dengan mendengarkan penjelasan guru semata. Demikian juga Montessori di awal Abad 20 menegaskan bahwa anak-anak akan belajar lebih baik melalui pengalaman langsung. Montessori menerapkan teori ini pada anak-anak berkebutuhan khusus dan berhasil.  Satu lagi filsafat pendidikan yang mendukung teori ini yaitu Paulo Freire. Seorang filsuf dan reformer pendidikan Brazil pasca perang dunia. Beliau lantang menyuarakan perubahan dalam pendidikan dan pendidikan yang membebaskan. Salah satu buku yang ditulis adalah PEDAGOGY OF THE OPPRESSED (Pendidikan Kaum tertindas). Buku lain yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia DENGAN JUDUL PEDAGOGI KRITIS memuat prinsip pedagogi. Pada intinya pedagogi kritis berupaya membebaskan peserta didik dari pemikiran yang kaku dan tidak kritis, serta mendorong mereka untuk mempertanyakan dan menantang struktur kekuasaan yang ada. Pembelajaran dalam pedagogi kritis melibatkan dialog antara guru dan peserta didik, serta refleksi kritis terhadap pengalaman dan pengetahuan yang ada

Sama halnya dengan konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara yaitu belajar yang memerdekakan. Pada konsep tersebut belajar harus melibatkan tiga aspek yaitu cipta, rasa dan karsa. Cipta berkaitan dengan kemampuan kognitif yang mencakup intelektual, penalaran, dan kemampuan untuk menciptakan sesuatu. Beberapa contoh kompetensi ini seperti kemampuan untuk merencanakan, menganalisis, dan memecahkan masalah. Rasa berkaitan dengan emosi, hati nurani, dan kemampuan untuk merasakan dan menanggapi sesuatu. Ini melibatkan kemampuan untuk empati, menghargai, dan merasakan nilai-nilai moral. Karsa adalah dorongan atau semangat yang kuat untuk bertindak dan mewujudkan gagasan atau ide. Ini mencakup motivasi, tekad, dan keinginan untuk mencapai tujuan. Begitulah gambaran pembelajaran mendalam. Belajar bukan sekedar menerima namun harus memberdayakan potensi akal, emosi dan dorongan (motivasi). Pada konsep Ki Hajar Dewantara ditampilkan aspek spiritual sebagai salah satu aspek penting kemanusiaan. Tidak sekedar aspek kognitif dan keterampilan yang diungkapkan oleh Dewey.

Mari kita lebih mengerucut ke bentuk kegiatan belajar. Salah satu contoh tingkatan bentuk belajar dari yang paling dangkal ke yang paling mendalam dikemukakan Edgar Dale yang disebut Cone of Experience/Cone of Learning seperti pada ilustrasi di bawah ini.

Rahmawati, Intan. (2021, September 29). Pentingnya Teori Kerucut Pengalaman Edgare Dale dalam memilih Media Pembelajaran bagi Guru Sekolah Dasar. Kompasiana. Diakses dari https://www.kompasiana.com/intanrahmawati6793/6153fc5201019002600939f2/pentingnya-teori-kerucut-pengalaman-edgare-dale-dalam-memilih-media-pembelajaran-bagi-guru-sekolah-dasar#google_vignette, 30 Mei 2025.

Dale memberi ilustrasi bahwa perolehan hasil belajar itu bertingkat tergantung kepada pengalaman yang dilaluinya. Apabila pengalaman belajar hanya membaca dan mendengarkan maka hasil belajar hanya sekitar 20% saja. Berbeda lagi apabila pengalaman belajarnya melalui melihat langsung, melakukan eksperimen, sampai mempresentasikan hasil belajarnya kepada orang lain; perolehan hasil belajar bisa mencapai 90%. Ragam kegiatan belajar menengah sampai bawah pada cone of experience Dale itulah yang dimaksud dengan Learning by doing yang digagas Dewey dan Montessori. Kegiatan-kegiatan tersebut lebih bermakna (meaningfull), penuh perhatian (mindfull) dan membahagiakan (joyfull). Secara pedagogik, itulah yang dimaksud dengan Deep learning oleh Fullan dkk.

Kedua, Fullan dkk. menjelaskan karakter kegiatan belajar yang menerapkan deep learning. Menurut mereka, ketika Anda mampir ke kelas deep learning, Anda akan melihat siswa yang sangat ingin tahu dan didorong untuk saling bertanya. Para murid berbincang secara mendalam membicarakan masalah sehari-hari terkait tema pembelajaran dan memecahkan masalah-masalah yang muncul sehingga mereka dapat memahami dunia mereka. Para murid sangat fokus, dan sebagai pengunjung Anda mungkin tidak diperhatikan, tetapi jika Anda mendengarkan, Anda akan menemukan siswa yang mampu mengartikulasikan apa yang mereka lakukan dan mengapa dilakukan. Mereka juga mampu menjelaskan keterampilan yang mereka kuasai dan cara yang perlu mereka lakukan untuk menjadi lebih baik. Sering kali para murid lupa waktu karena tugasnya menarik dan sering mengerjakannya di rumah dan di akhir pekan karena imajinasi dan minat mereka telah tersalurkan. Mereka bangga menjelaskan pekerjaan mereka kepada teman sekelas atau anggota masyarakat karena pekerjaan itu bermakna, otentik, dan relevan—itu membuat perbedaan.

Ketiga, deep learning dapat juga dilihat dari aktivitas guru dan tenaga pendidik. Anda akan melihat guru-guru berkeliling dalam kelas, berinteraksi dengan individu dan kelompok kecil, mengajukan pertanyaan, memfasilitasi akses ke sumber daya, dan memberikan umpan balik yang tepat waktu.

Selain itu Guru-guru berkolaborasi satu sama lain dalam merancang pembelajaran serta menilai pertumbuhan. Mereka merumuskan rancangan transparan dan harapan bersama yang mencerminkan target dari satuan pendidikan. Mereka mengadakan rapat yang fokus pada pembahasan seberapa baik siswa belajar dan bagaimana menggunakan alat dan proses untuk mempercepat atau memperkuat pembelajaran daripada membahas masalah siswa. Sementara itu kepala sekolah sering berada di kelas dan berdiskusi dengan kelompok guru tentang cara membuat pembelajaran lebih baik.

Keempat, sarana dan prasarana pendidikan dan administratif tidak terlepas dari pembelajaran. Semua sumber dara diarahkan untuk menunjang peningkatan mutu pembelajaran. Dalam hal ini para pengelola memanfaatkan teknologi digital sehingga layanan pembelajaran lebih cepat dan bermutu.

Kelima, pada satuan pendidikan yang menerapkan deep learning orang  tua disambut sebagai mitra. Mereka memainkan peran aktif dan pertemuan dengan orang tua lebih difokuskan pada pembagian bukti kemajuan dan pembelajaran siswa.

Berdasarkan lima ciri di atas kita dapat memahami bahwa deep learning bukan sekedar aspek pedagogi melainkan sebuah sistem pembelajaran. Dari aspek pedagogi kita dapat mendefinisikan deep learning sebagai sebuah pembelajaran yang melibatkan para murid untuk terlibat dalam pembelajaran yang tidak sekedar mencerna informasi secara pasif melainkan melakukan pencarian dalam berbagai bentuk, telaah (analisis),  sampai mempresentasikan hasil belajarnya kepada orang lain dalam berbagai media. Namun demikian pembelajaran tersebut hanya dapat terjadi pada sebuah sistem yang terencana, terpantau dan terukur hasilnya melalui sistem manajemen yang berorientasi mutu. Hilir dari sistem tersebut adalah para murid menguasai kompetensi 6Cs.

Kita akan lanjutkan pembahasan berikutnya pada artikel selanjutnya dengan tema 6Cs. Kita akan membahas apa 6Cs dan mengapa penting dikuasai para murid Abad 21. Ikuti terus. Semoga bermanfaat.