Artikel
Upaya Pencegahan Kekerasan di Sekolah

Upaya Pencegahan Kekerasan di Sekolah

Oleh : Erna Sari Agusta, M,Pd
Guru pada MTs Negeri 28 Jakarta Timur

Indonesia menjadi salah satu negara dengan kasus kekerasan tinggi. Data tahun 2018 yang diperoleh Komisi Perlindungan Anak (KPAI) mengungkapkan 84% anak kelompok usia 12-17 tahun yang merupakan murid sekolah di Indonesia menyatakan dirinya pernah mengalami kekerasan. Mereka yang mengalami kekerasan ini mengenyam pendidika baik di sekolah negeri maupun swasta. Data yang dihimpun dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak tahun 2023 juga menunjukkan 22.988 kasus kekerasan terjadi dengan 80% dari jumlah kasus tersebut berada pada rata-rata usia 13-17 tahun. Adapun laporan kekerasan pada anak menempati 57,6% dari data yang terjadi di sepanjang tahun 2023 (kekerasan.kemenpppa.go.id).

Selain orang tua dan keluarga, sekolah berperan penting dalam melindungi anak, mencegah dan menyelamatkan anak-anak dari tindakan kekerasan. Peran kepala sekolah, guru, dan siswa dalam upaya mencegah kekerasan terjadi pada anak akan menekan angka kasus kekerasan anak. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Sekolah merupakan sebuah lembaga yang menjadi wadah bagi peserta didik untuk mendapatkan pendidikan untuk mengembangkan potensi diri menjadi manusia yang berilmu, berakhlak, beriman dan menjadi warga negara yang bertanggungjawab. Namun dengan berbagai latar belakang siswa memungkinkan mereka membawa berbagai persoalan ke sekolah sehingga dapat mengganggu kegiatan belajar. Persoalan-persoalan tersebut jika tidak diselesaikan maka akan berujung pada kekerasan.

Solusi permasalahan kekerasan di sekolah dapat dilakukan dengan intervensi yang sifatnya preventif yaitu pencegahan baik pencegahan melalui keluarga, sekolah, masyarakat, maupun melalui anak itu sendiri. Pencegahan melalui peserta didik dapat dilakukan dengan melakukan pemberdayaan pada siswa-siswi agar mampu mendeteksi secara dini kemungkinan terjadinya kekerasan, mampu melawan ketika terjadi kekerasan pada dirinya, mampu memberikan bantuan ketika melihat kasus kekerasan terjadi, seperti melerai/mendamaikan, mendukung teman dengan mengembalikan kepercayaan, melaporkan kepada pihak sekolah, orangtua, maupun tokoh masyarakat.

Solusi lain yang dapat diberikan adalah dengan memberikan edukasi dalam sosialisasi tentang definisi dan karakteristik kekerasan, pembinaan pelaku kekerasan, penanganan korban kekerasan, serta membentuk lingkungan yang suportif terhadap kasus kekerasan. Hal ini disebut juga dengan psikoedukasi yaitu kegiatan diskusi mengenai pencegahan kekerasan untuk mengusahakan terbentuknya peserta didik yang memiliki tingkat kepedulian terhadap sesama, saling menghormati dan turut menghentikan segala tindakan yang mendekati perilaku kekerasan. Banyak faktor yang mempengaruhi psikoedukasi, diantaranya adalah faktor internal yaitu kesehatan, kondisi intelektual, kondisi sosial, motivasi dan keterampilan-keterampilan yang dimiliki seseorang. Sedangkan faktor eksternal yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah (baik dari lingkungan fisik, sosial dan akademis), dan lingkungan masyarakat.

Untuk mencegah kasus kekerasan, sekolah juga dapat membentuk pionir-pionir penggerak pencegahan tindakan kekerasan di lingkungan pendidikan. Untuk mencapai tujuan pendidikan, maka dalam suatu satuan pendidikan dapat menciptakan lingkungan yang aman dari kekerasan. Salah satu upaya nyata dalam mencegah kekerasan di lingkungan pendidikan adalah dengan mencanangkan upaya pembentukan satgas Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) yang menjadi bagian dari organisasi sekolah. Satuan Tugas PPKS adalah tim yang berfungsi sebagai koordinator pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan pendidikan di tingkat daerah. Pembentukan satgas PPKS bertujuan untuk meminimalkan dan atau menghilangkan sama sekali kasus kekerasan. Seluruh warga satuan pendidikan yang meliputi peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan lainnnya yang terlibat dalam penyelenggaraan kegiatan di lingkungan satuan pendidikan berhak untuk terbebas dari kekerasan sehingga dapat menghadirkan lingkungan pendidikan yang kondusif sehingga dapat menciptakan prestasi.  

Sekolah harus memiliki regulasi terkait pencegahan dan penanganan kekerasan yang di dalamnya memuat aturan atau kebijakan dan alur penanganan kasus kekerasan yang dibuat oleh pihak sekolah yang meliputi satgas anti kekerasan serta program kerja yang dirancang khusus dalam upaya pencegahan kekerasan. Dalam hal ini, siswa dapat melapotkan kasus kekerasan kepada guru/wali kelas untuk kemudian ditindak lanjuti ke guru BK dan Wakil Kesiswaan. Sekolah dapat juga bekerjasama dengan instansi lain seperti Dinas Perlindungan Anak dan Puskesmas untuk mengadakan kegiatan penguatan anti kekerasan kepada siswa.

Upaya pencegahan kekerasan dapat dilakukan dengan menggerakkan tenaga pendidik untuk aktif mendukung pencegahan kekerasan di lingkungan pendidikan. Guru Bimbingan Konseling (BK) yang merupakan bagian dari sekolah dapat memberikan edukasi berkala di dalam kelas untuk meningkatkan pemahaman peserta didik terkait kekerasan, terutama hal ini dilakukan di kelas tujuh yang masih pada tahapan transisi dari Sekolah Dasar (SD) ke Sekolah Menengah Pertama (SMP). Selain itu guru BK juga secara intensif membuat kelompok diskusi yang akan membahas topik tersebut lebih mendalam. Guru BK juga bekerja sama dengan tutor sebaya dalam hal ini pihak OSIS dan PMR untuk memastikan pemahaman peserta didik mengenai kekerasan.

Hal penting yang dapat dilakukan tenaga pendidik adalah dengan memberikan pendidikan akhlak. Pengintegrasian pendidikan akhlak dalam pembelajaran sekolah merupakan suatu pengajaran yang dilakukan untuk menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga  peserta didik paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Pendidikan akhlak akan lebih efektif, jika  peserta didik mampu berpartisipasi aktif dalam lingkungan sosialnya (sekolah), kemudian mendapat dukungan secara aktif dari guru. Pendidikan akhlak dilakukan untuk mendorong dan mengembangkan kecerdasan dalam berpikir, penghayatan  bentuk  sikap, dan pengalaman berdasarkan nilai-nilai karakter  melalui  prinsip-prinsip moral yang berlaku sebagai bentuk jati diri peserta didik. Dengan demikian, pendidikan akhlak dapat berfungsi dalam konteks pengembangan, perbaikan, dan penyaringan untuk mencetak peserta didik  yang  mampu  mencerminkan karakter bangsa.

Pencegahan kekerasan dapat juga dilakukan dengan menciptakan sekolah ramah anak dengan memenuhi empat komponen. Pertama, membuat deklarasi atau komitmen tertulis dan program yang mendukung. Kedua, pendidik dan tenaga kependidikan terlatih untuk mengetahui dan memenuhi hak-hak anak. Keriga, pelaksanaan proses belajar yang ramah anak dengan adanya penerapan disiplin tanpa kekerasan, menciptakan pembelajaran di dalam dan di luar kelas, pelibatkan orang tua dan pihak lain sebagai guru/pemberi informasi, mengubah sistem poin yang tadinya mengukur kesalahan anak menjadi mengukur kebaikan anak. Keempat, sarana dan prasarana yang ramah anak, nyaman, tidak membahayakan anak, dan mencegah anak agar tidak celaka, Kelima, partisipasi anak dalam mengkomunikasikan , menjalankan, dan mengevaluasi program sekolah. Keenam, partisipasi orang tua, lembaga masyarakat, dunia usaha, stakeholder lainnya, dan alumni dalam mensosialisasikan SRA kepada sekolah dan mengajak orang tua mendukung SRA. Upaya pencegahan kekerasan di sekolah tentu harus melibatkan semua pihak. Oleh karena itu, dibutuhkan kerjasama dan komitmen bersama untuk mewujudkannya. Dengan lingkungan pendidikan yang aman diharapkan dapat menciptakan suasana belajar yang nyaman dan kondusif sehingga dapat menghasilkan generasi terbaik yang dapat berkontribusi pada kemajuan bangsa.