Artikel
Merajut Kasih dalam Perbedaan

Merajut Kasih dalam Perbedaan

Oleh : Rita Desturiana
Penyuluh Ahli Pertama KUA Kec. Maja Kab. Lebak

Seperti ibu-ibu rumah tangga lainnya saya berbelanja kebutuhan sehari-hari dapur pasti mencari lokasi yang terdekat dengan rumah. Kebetulan saya ada langganan toko khusus daging yang jaraknya lumayan dekat dengan rumah, awalnya saya mempunyai kesan baik kepada toko tersebut selain lengkap, penjualnya ramah juga pelayanannya memuaskan.

Suatu hari saya seperti biasa membeli daging dan kali ini untuk keperluan haul 10 tahun ibu saya wafat (Allahu yarham), waktu itu saya minta potongan dagingnya disamakan karena untuk haulan agak besar-besar potongannya, karena si penjualnya minta waktu untuk memotong dan dia bersedia untuk mengantar ke rumah, maka saya pulang dengan meninggalkan nomor telpon. Setelah daging saya terima tidak lama kemudian si penjual daging tersebut mengirim video ke WA yang membuat saya heran, terkejut, sedih, ingin marah bercampur jadi satu… Hal semacam ini semoga jangan sampai tersebar kepada khalayak umum, karena akan menyulut kemarahan masyarakat Islam lainnya dan yang akhirnya akan memicu permusuhan, menanamkan kebencian, memicu saling memaki bahkan akan saling mengatakan dirinya paling benar dan dan kemudian ini bisa seperti apa yang terjadi di Timur Tengah perang saudara karena menganggap pahamnya paling benar, ini bahaya dan sangat berbahaya.

Dalam video itu diceritakan bahwa orang Islam yang tidak sepaham dengannya dianggap KAFIR. Bagaimana bisa sekelompok manusia sesama Islam menganggap kafir kepada sesamanya sedangkan mereka bersaudara? Padahal Allah sudah memberikan peringatan tentang hal itu dalam Al-Quran surat Al-Hujurat ayat 10:

Artinya: “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”

Kaum muslimin merupakan satu saudara karena agama. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW dalam hadis Sahih Riwayat al-Bukhari: 2262

“Dari Abdullah ibn Umar radhiyallahu ‘anhu: Bahwa Rasulullah SAW bersabda: Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya disakiti. Barang siapa yang membantu kebutuhan saudaranya maka Allah akan membantu kebutuhannya, barang siapa yang menghilangkan satu kesusahan seorang muslim, maka Allah menghilangkan satu kesusahan baginya dari kesusahan-kesusahan hari kiamat.Barang siapa yang menutupi (aib) seorang muslim maka Allah akan menutupi (aibnya) pada hari kiamat.”

Oleh karena itu pahamilah agama secara baik dan menyeluruh dengan tidak memilah-milah sebuah pemahaman. Jika kita mempelajari masalah fikih misalnya, dalam hal memperlakukan orang yang sudah meninggal ada yang melakukan tahlil dengan hari pertama sampai hari ketujuh dan ada pula yang tidak melakukannya. Dalam sholat ada sebagian orang yang melaksanakan qunut dan tidak melaksanakannya, bahkan cara berwudhu yang berbeda dan bacaan takbiratul ihram yang berbeda. Demikian banyak pemahaman keagamaan di sekitar kita yang berbeda hanya berpegang kepada “katanya ustadz ……” atau “mengikuti yang diajarkan orang tua dulu”. Kadang sebagai muslim kita sendiri sering mengabaikan dengan menggali hukum dari sumber aslinya.

Dengan ada banyaknya perbedaan tersebut di masyarakat menjadikan sebuah opini pribadi yang menganggap diri paling benar dan orang lain salah bahkan diiringi oleh argumen debat kusir panjang yang pada akhirnya berujung kepada pengkultusan dari suatu kelompok dengan membangun sebuah tempat peribadatan masjid atau mushola demi kepentingan kelompok tertentu.

Sebuah faham keagamaan dalam amaliyah ibadah itu sangat beragam, maka pelajarilah faham yang satu dan lainnya dengan tidak memaksakan apa yang kita pilih kepada orang lain. Bisa jadi ibadah mereka yang berbeda faham dengan kita lebih baik karena mereka lebih khusyuk dan ikhlas daripada kita menjalankan ibadah dengan menganggap paling benar dan menyalahkan orang lain. Selama mereka muslim, Tuhan-Nya adalah Allah, Nabinya adalah Nabi Muhammad saw, maka kita adalah saudara.

Rasulullah Saw senantiasa memberikan contoh mengedepankan saling menghargai bukan saja sesama muslim bahkan kepada non muslim. Beliau amat sangat dicintai oleh orang Islam bahkan non muslim. Seseorang yang yang dicintai bukanlah orang yang menebar permusuhan dan kebencian, justru sebaliknya orang yang menebar kasih sayanglah yang akan dicintai oleh orang lain. Apa yang kita lakukan sebenarnya akan berbalik kepada diri sendri, kita menanamkan kebencian yang kita dapat adalah rasa benci dari orang lain, begitupun sebaliknya kita menebar kedamaian yang kita dapat adalah kebahagiaan karena orang merasa nyaman jika kita bersamanya.

Bukankah kita tidak pernah tau perbuatan baik mana yang akan diterima Allah sebagai sebuah kebaikan di sisi-Nya? Kita juga tidak pernah tahu ucapan atau perbuatan mana yang akan melukai hati teman, saudara, atau orang yang paling dekat dengan kita. Sebenarnya ‘hati’ kitalah yang merasakan bukan mulut atau perbuatan, ‘hati’ yang bersih mampu mengolah kebahagiaan atau kesedihan, ‘hati’ yang selalu bergantung kepada ‘Ilahi’ pasti  memiliki radar ucapan atau perbuatan baik atau buruk.

Menjaga ucapan dan perbuatan memang bukan hal yang mudah, seringkali untuk hal itu kita harus mengalahkan ego dalam diri kita dan bahkan membuat kita dongkol sendiri. Namun dibalik itu kita akan merasa bahagia kalau apa yang telah kita lakukan membuat orang lain damai dan bahagia. Karena inti kebahagiaan adalah apabila apa yang kita lakukan membuat orang lain bahagia.

Perbedaan dalam hal apapun terutama paham keagamaan, apabila didasari saling mengormati, menghargai, peduli dengan sesama, maka akan timbul saling tolong menolong. Kemudian akan mudah berbagi dengan orang lain tanpa harus dipaksakan.

Merajut kasih dalam perbedaan itu indah, keindahan yang akan menanamkan kedamaian dalam kehidupan. Karena kehidupan tidak akan pernah abadi, dan tidak akan pernah datang kembali.