Menyemai Moderasi Beragama di Sekolah
Oleh : N. Supriati
Guru pada MTs Negeri 1 Kota Tangerang Selatan
“Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”, bunyi peribahasa tersebut kini sudah banyak dilupakan. Persatuan bangsa kian tergerus oleh konflik-konflik yang lambat laun bisa memecah belah. Istilah persatuan bangsa sudah dinomorsekiankan, semakin terkalahkan oleh pemenuhan ambisi pribadi dan golongan. Keragaman yang dimiliki Indonesia seyogianya menjadi nilai tambah untuk mencapai kemajuan bangsa justru menjadi sumber konflik, sumber perpecahan, yang tentunya kemajuan bangsa yang menjadi cita-cita para pendiri bangsa ini menjadi “jauh panggang dari api”. Suatu kondisi yang membuat miris dan mengkhawatirkan, akan semakin mengancam keutuhan bangsa ini kalau tidak segera ditangani dengan langkah nyata.
Keragaman sesungguhnya merupakan sebuah keniscayaan, tidak bisa dihindari. Bukankah dalam salah satu ayat Al-Qur’an surat Al-Hujuraat ayat 13, disebutkan bahwa Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal? Jadi, keragaman merupakan fitrah bagi manusia supaya bisa saling belajar, saling melengkapi, saling membantu, dan saling memberikan manfaat. Indonesia sebagai sebuah negara yang dianugrahi keragaman, meliputi keragaman etnis, bahasa, agama, budaya, dan status sosial, sebetulnya bisa menjadi perekat persatuan yang membentuk sebuah mozaik indah yang bernama “Republik Indonesia”. Faktanya, keragaman tersebut sering kali menjadi dinding penyekat yang menghalangi manusia untuk saling membantu, saling berbagi, dan bergotong royong. Kebersamaan yang seharusnya menjadi ciri makhluk sosial terhalang oleh perbedaan baju etnis, baju agama, baju status sosial, dan baju-baju lain yang menonjolkan sisi perbedaan masing-masing. Keragaman justru menjadi penyebab terjadinya benturan dan gesekan yang berujung konflik. Di antara sekian banyak keragaman tersebut yang paling sering memicu konflik adalah keragaman agama. Konflik berlatar belakang agama tak jarang memunculkan kekerasan fisik yang mengancam perpecahan bangsa.
Sebagai sebuah negara yang berdasarkan pancasila, Pemerintah Indonesia harus mengayomi seluruh masyarakat, tanpa melihat perbedaan etnis, bahasa, agama, budaya, dan status sosial. Semua warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum. Negara wajib menjamin rasa aman seluruh rakyatnya. Kebebasan hak-hak asasi manusia dijunjung tinggi. Tindakan kekerasan yang berbentuk persekusi berlatar belakang agama bahkan perusakan rumah ibadah yang akhir-akhir ini sering terjadi, tentu saja berlawanan dengan pancasila yang menjamin kemerdekaan tiap penduduknya untuk memeluk agamanya masing-masing dan melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, seperti yang tertuang dalam Pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Menurut Pasal 29 ini setiap warga negara harus saling menghormati, saling menghargai, dan saling mengakui keberadaan pemeluk agama lain. Kebebasan beragama terkandung di dalam sila pertama pancasila, ketuhanan yang Mahaesa.
Konsep hak asasi manusia esensinya adalah menghormati sesama manusia tanpa ada diskriminasi, tanpa kecuali. Mengakui bahwa setiap manusia memiliki hak asasi yang tidak bisa ditawar lagi dan tidak bisa dirampas oleh siapa pun. Mengakui keberadaan hak asasi manusia melahirkan sikap saling menghargai dan saling menghormati. Sikap merasa paling benar, terlalu mementingkan diri sendiri, menganggap orang lain salah, tentu saja ini semua berlawanan dengan konsep hak asasi manusia. Pelanggaran hak asasi manusia di mana pun berada akan melahirkan konflik yang bisa memicu tindakan kekerasan. Salah satu yang sering terjadi berkaian dengan pelanggaran HAM adalah agama. Sikap menghina ajaran agama tertentu, menghalangi orang untuk melaksanakan ajaran agamanya, semua itu seringkali memicu konflik yang bermuara pada perpecahan.
Sejatinya agama merupakan tuntunan yang mengajarkan pemeluknya untuk berbuat baik. Menebarkan manfaat buat orang lain. Saling berbagi, saling membantu, dan saling mengasihi. Tidak ada satu agama pun yang mengajarkan pemeluknya untuk saling menyakiti dan saling membenci. Agamalah yang membuat manusia mulia, terjaga dari perbatan-perbuatan yang merendahkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk berakal. Agama dibutuhkan manusia sebagai pedoman dalam hidup supaya berada di rel kebenaran. Agama mengajarkan manusia peduli pada lingkungan sekitar, baik dengan sesama manusia maupun dengan hewan dan tumbuhan. Hidup berdampingan dengan sesama makhluk ciptaan Tuhan melahirkan kedamaian dan ketentraman. Konflik yang terjadi di lingkungan masyarakat apapun bentuknya, pastilah membuat ketidaknyamanan, keresahan, dan ketakutan.
Konflik berlatar agama akhir-akhir ini kerap terjadi di Indonesia. Intensitas konflik dari hari ke hari semakin meningkat dan semakin mengkhawatirkan. Biasanya, terjadinya konflik berlatar agama disebabkan oleh sikap keberagamaan yang ekslusif, saling menyalahkan tafsir dan paham keagamaan. Sikap merasa paling benar, menganggap salah semua pihak yang tidak sejalan dengan pemahamannya, tidak mau membuka diri pada pandangan dan keyakinan keagamaan orang lain, menjadi pemantik konflik. Yang paling mengkhawatirkan kalau sudah lahir sikap intoleransi, ekstrimisme, radikalisme, dan diikuti oleh terorisme. Kalau sudah seperti ini, agama tidak lagi menjadi aturan yang menyejukkan bagi semua manusia, tetapi berubah menjadi doktrin yang menakutkan dan mengancam persatuan bangsa. Bangsa Indonesia yang lahir berkat perjuangan para pendahulu kita dengan semangat persatuan di tengah keragaman, akan hancur, terkoyak, tercabik oleh konflik-konflik yang terus berulang. Perlu upaya nyata untuk merajut kembali semangat persatuan itu, perlu upaya untuk merawat “keindonesiaan”. Upaya itu bisa dilakukan salah satunya dengan menumbuhkan sikap beragama yang inklusif sejak dini pada siswa di sekolah. Menumbuhkan sikap beragama yang inklusif, yang terbuka dalam menghargai perbedaan, dan moderat merupakan langkah nyata untuk menghindari disharmoni dalam kehidupan keberagamaan. Sikap moderat dalam beragama ini selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan moderasi beragama. Lantas, apa yang dimaksud dengan moderasi beragama?
Moderasi beragama maksudnya adalah cara pandang kita dalam beragama secara moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem. Moderasi beragama merujuk pada sikap dan upaya menghindari perilaku yang ekstrem (baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri) dan selalu mencari jalan tengah dengan semangat mencari titik temu dari dua kutub dalam beragama tersebut. Sikap mengambil jalan tengah ini bukan tanpa alasan, sikap ini memiliki pijakan Al-Qur’an Surat Al-Baqoroh ayat 143, yang menjelaskan tentang ummatan wasathan (umat yang adil/umat pertengahan) merupakan konsep masyarakat ideal dalam pandangan Al-Qur’an, yaitu masyarakat yang mengambil posisi pertengahan yang mengantarkan manusia berlaku adil, seimbang, dan proporsional. Sikap seperti inilah yang menjadi dasar munculnya istilah Islam yang moderat.
Dalam menanamkan moderasi beragama, sekolah bisa menjadi tempat yang tepat untuk meletakkan batu pertama. Sekolah merupakan lahan yang tepat untuk menyemai tumbuhnya sensivitas keberagaman, tempat di mana sikap beragama yang inklusif, yang terbuka dalam menghargai perbedaan, mulai ditumbuhkan. Di sekolah, guru bisa menjadi agen moderasi beragama dengan banyak membuka wawasan siswa akan keberagaman dan manfaatnya untuk kemajuan bangsa. Ruang dialog tentang keberagaman bisa dibuka guru dalam pembelajaran di kelas atau dalam kelompok-kelompok ekstrakurikuler. Siswa diajarkan dan dibiasakan tentang sikap toleransi terhadap semua perbedaan atau keberagaman yang ada di lingkungan sekitarnya. Dari kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan siswa sejak dini sudah memiliki sikap toleransi karena sudah dibiasakan terbuka dalam menghadapi perbedaan. Siswa sudah terbiasa menghadapi segala bentuk keragaman sebagai akibat dari kondisi masyarakat Indonesia yang multikultural. Tentu saja, para siswa tetap ditekankan untuk kuat memegang teguh agama yang diyakininya, tetap menjalankan ajaran agama yang dianutnya. Menanamkan moderasi beragama tidak berarti hanya menekankan sikap menghormati ajaran agama dan kepercayaan orang lain, tetapi upaya menguatkan pemahaman siswa terhadap agama yang dianutnya juga harus dilakukan.
Sekolah bisa dilibatkan dalam penanaman moderasi beragama karena sekolah (khususnya sekolah umum) merupakan miniatur masyarakat yang di dalamya terdapat keragaman, khususnya untuk keragaman agama. Ibarat sebuah laboratorium, di sekolah bisa dipraktekkan sikap moderasi beragama dalam skala kecil, dibimbing dan diawasi oleh para guru. Guru agama, guru PKN, atau guru IPS sangat mungkin mengenalkan sikap toleransi beragama pada siswanya yang dikaitkan dengan materi pelajaran yang diampunya. Kasus-kasus intoleransi yang terjadi dalam masyarakat bisa diangkat menjadi isu yang menarik untuk menjadi bahan diskusi atau disampaikan dengan berbagai metode/pendekatan pembelajaran yang menyenangkan. Diharapkan ketika siswa sudah dewasa dan sudah hidup bermasyarakat, bisa menularkan semangat moderasi beragama tersebut bagi orang di sekitarnya. Sikap intoleransi yang akhir-akhir ini sudah menjalar pada kalangan muda di masyarakat diharapkan bisa diminimalisir dengan adanya gerakan menanamkan moderasi beragama di sekolah-sekolah. Tentu saja para guru di sekolah harus memiliki pandangan yang sama dalah hal pentingnya menanamkan moderasi beragama ini pada siswa. Para guru harus dibekali dulu tips dan trik yang bisa diterapkan di sekolah pada siswanya. Semua ini bisa dituangkan dalam sebuah buku pedoman penanaman moderasi beragama di sekolah yang disusun oleh pemerintah kemudian didistribusikan ke seluruh sekolah (harus merata sampai ke seluruh wilayah Indonesia). Hal ini penting supaya langkah yang dilakukan ada keseragaman.
Selain hal-hal yang disebutkan di atas, menumbuhkan moderasi beragama di sekolah bisa dilakukan dengan kegiatan unggulan sekolah, misalnya field trip ke tempat-tempat ibadah. Siswa dikenalkan bukan saja pada bangunan tempat ibadah, tetapi pada bagaimana setiap umat beragama tersebut beribadah. Bukan untuk mengajak siswa ikut melaksanakan ibadah berbagai agama, tetapi mengenalkan bahwa di sekeliling mereka ada juga agama-agama lain yang harus dihormati, tidak boleh diganggu. Menumbuhkan sikap terbuka menerima perbedaan sejak dini, akan menjadi pondasi untuk tumbuhnya moderasi beragama. Memang tidak mudah, akan tetapi proses itu harus dicobakan sebagai sebuah alternatif program yang bisa diagendakan sekolah dari mulai PAUD sampai tingkat SMP.
Upaya menanamkan moderasi beragama pada siswa di sekolah sama pentingnya dengan upaya yang sekarang sedang gencar dilakukan pemerintah (dalam hal ini Kementerian Agama) pada masyarakat. Para siswa di sekolah ibarat pohon yang akan tumbuh sesuai dengan dengan bibit yang disemai oleh para guru. Untuk menghasilkan pohon yang baik, tentu dibutuhkan bibit pohon yang berkualitas dan cara perawatan yang sesuai.