Pasangan Ideal

Oleh Saryono
Penyuluh Agama Buddha Kota Pontianak

Setiap orang memiliki kebebasan untuk menentukan masa depanya sendiri, termasuk tentang urusan perkawinan. Anda mau memilih untuk menempuh kehidupan berkeluarga, silahkan. Mau meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjadi bhikkhu, juga tidak apa-apa. Umat Buddha tidak harus kawin.

Di dalam Tipitaka tidak banyak ditemukan uraian yang membahas tentang perkawinan, tetapi dalam berbagai Sutta kita dapat menemukan ajaran tentang berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk membangun keluarga bahagia dan sejahtera (Hitaya Sukhaya). Karena itu, siapapun yang telah bertekad untuk mengarungi bahtera rumah tangga hendaknya selalu fokus untuk melaksanakan tugas dan kewajibanya masing-masing. Tidak usah gusar, apalagi tengok kiri dan  tengok kanan.

Keluarga merupakan organ terkecil yang menjadi cikal bakal lahirnya masyarakat multikultural, toleran dan moderat. Penanaman nilai-nilai kemoralan seluruh anak bangsa telah dimulai sejak dini di lingkungan keluarga secara berkesinambungan. Untuk itu, pendidikan informal patut menjadi pusat perhatian semua pihak.

Tidak semua laki-laki beruntung mendapatkan perempuan yang baik sebagai istrinya. Jika sembrono dalam mengambil keputusan, maka ia bisa saja mendapatkan seorang perempuan yang jahat, berperangai buruk sebagai istrinya, sehingga perkawinannya justru menjadi bencana bagi dirinya. Sebaliknya, tidak semua perempuan beruntung mendapatkan seorang laki-laki yang baik sebagai suaminya.

Dalam Anguttara Nikaya II. 53, terdapat empat pasang suami istri, yaitu: 1) Seorang pria jahat (Chavo) dengan seorang wanita jahat (Chava). Mereka merupakan pandangan yang buruk, senantiasa melanggar peraturan-peraturan moral, melakukan berbagai tindak kejahatan, mempunyai kebiasaan buruk, mementingkan diri sendiri, menghina orang suci dan orang lain, 2) Pria jahat (Chavo) dengan wanita baik (Devi), 3) Pria baik (Deva) dengan wanita jahat (Chava), dan 4) Pria baik (Deva) dengan wanita baik (Devi).

Dari empat pasang suami isteri tersebut dia atas, pasangan keempat merupakan pasangan yang baik dan dipuji oleh Sang Buddha.  Semua orang ingin memiliki pasangan ideal seperti itu tetapi tidak semua orang dapat merealisasikannya. Tidak sedikit pasangan suami istri yang pada mulanya indah tetapi seiring dengan berjalanya waktu ternyata mereka gagal di tengah jalan karena masing-masing memiliki karakter berseberangan. Untuk itu, mereka harus memiliki kesadaran untuk saling menerima kelebihan dan kekurangan pasangannya.

Unsur terpenting dalam kehidupan rumah tangga adalah adanya penyatuan antara dua jenis kelamin berbeda yang diikat melalui 'perkawinan'. Suami dan istri menjadi unsur utama dalam membentuk keluarga bahagia. Untuk mendapatkan kebahagiaan tersebut maka persyaratan utamanya adalah masing-masing anggota keluarga hendaknya saling menyadari bahwa dalam kehidupan ini seseorang tidak akan dapat hidup sendirian, saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya.

Setiap orang memiliki kriteria berbeda dalam menentukan pasangan hidup. Ada yang tidak mau hidup melarat, karena itu ia memilih orang yang kaya. Ada juga yang ingin menjadi orang terkenal, karena itu ia memilih calon pasangan hidup yang sudah memiliki popularitas, punya nama dan berbagai karier lainya. Kriteria apapun yang anda inginkan, silahkan.

Perkawinan antara pria dan wanita pujaan hati memang penting tetapi bukan jaminan kebahagiaan. Itu hanya sebagai sarana awal ikatan perkawinan yang saling mencintai. Mengapa? Karena dalam pandangan Buddhis, perkawinan bukanlah hadiah. Bukan sesuatu yang semata-mata datang begitu saja tetapi sebagai langkah awal dari perjuangan. Sebagai gerbang pembuka dalam memasuki kehidupan rumah tangga.

Konsep dasar terciptanya kebahagiaan keluarga adalah terbangunnya kesadaran yang saling mendukung dalam melaksanakan kewajiban masing-masing. Dalam Anguttara Nikaya I. 87 dikatakan : “Sebaiknya setiap orang selalu bersedia terlebih dahulu memberikan pertolongan sejati tanpa pamrih kepada pihak lain dan selalu bersedia terlebih dahulu memberikan pertolongan sejati tanpa pamrih kepada pihak lain dan selalu berusaha agar dapat menyadari pertolongan yang telah diberikan pihak lain kepada diri sendiri agar muncul keinginan untuk menanam kebajikan kepadanya”. Hubungan timbal balik seperti ini jika dilaksanakan dengan baik akan melahirkan ketenangan, keharmonisan, dan kebahagiaan keluarga.

Sang Buddha tidak hanya memperhatikan seorang suami tetapi juga istri. Sang Buddha menganjurkan kepada para istri agar tidak menjadi salah satu diantara tiga istri sebagai berikut : 1) Istri pembunuh (Vadhakasama) yang tidak kenal belas kasihan, batinnya kotor, membenci suami, menginginkan pria lain, dan ingin membunuh, 2) Istri perampok (Corisama) senang merampas hasil perolehan suami, dan 3) Istri putri (Ayyasama) yang malas, kaku, rakus, kasar bicaranya, suka bergunjing, menguasai suaminya (Anguttara Nikaya IV. 91).

Dalam Jataka V. 433 juga dikatakan bahwa di dunia ini terdapat beberapa sifat buruk yang harus dihindari oleh para istri, yaitu : istri yang tidak menghiraukan kehadiran, kepergian maupun kedatangan suami, tidak memujinya, namun senang menceritakan keburukan suaminya. Dengan watak yang tidak terbina dia merugikan suaminya, dan bertingkah laku buruk, bermalas-malasan, menghindari suaminya di tempat tidur, patuh pada kata-kata orang lain, menghambur-hamburkan kekayaan keluarga, senang bergaul intim dengan tetangga namun tidak menghiraukan dan tidak menghurmati suaminya, senang mendatangi tempat-tempat umum tanpa disertai suaminya, atau mendatangi rumah kenalan atau handai taulan, memakai perhiasan-perhiasan orang lain, senang bermabuk-mabukan, dan berdiri di pintu memandangi orang lain.

Tidak semua istri memiliki sifat buruk, masih banyak istri yang saleh, istri yang baik, istri yang ideal. Hal ini telah katakan bahwa dalam kehidupan rumah tangga, terdapat empat jenis wanita yang saleh, ideal dan patut didambakan oleh setiap pria untuk diambil sebagai seorang istri, yaitu : 1) Istri ibu (Matasama), seorang suci yang hatinya penuh kasih sayang, cinta kasih, sangat memperhatikan suami, menjaga kekayaan keluarga yang dikukpulkan oleh suami, 2) Istri saudara (Bhaginisama), seorang istri yang memperlakukan suaminya seperti adik terhadap kakak, melayani suami dan berhati lemah lembut, 3) Istri sahabat  (Sakhisama), menyenangi kehadiran suami seolah-olah baru bertemu setelah berpisah lama, berkepribadian anggun, lemah lembut dan setia kepada suami, dan 4) Istri pelayan (Dasisama), bersifat tenang, sabar, menerima semua perlakuan  yang wajar dan mendengarkan dengan rendah hati kata-kata suami, (Anguttara Nikaya IV. 93).

Kisah menarik di masa kehidupan Sang Buddha adalah sepasang suami istri yang saling mengasihi. Ketika sang suami menderita sakit keras, istrinya menghibur suaminya dengan mengatakan bahwa mati dengan gundah akan berakibat tidak baik, dan bahwa bila ia meninggal, si istri mampu memelihara anak-anak mereka dan meneruskan penghidupan keluarga. Ia menyatakan bahwa ia tidak akan menikah lagi dan akan meningkatkan iman terhadap Sang Tri Ratna, menjalankan sila, bermeditasi dan menjalankan kehidupan rumah tangga sesuai ajaran Sang Buddha. Setelah berkata demikian, ternyata suaminya sembuh kembali dan ketika dilaporkannya peristiwa itu kepada Sang Buddha, beliau kemudian bersabda: “Sungguh beruntung engkau, orang baik; sungguh beruntung engkau mempunyai istri yang begitu baik, yang telah menasehatimu dan menjadi gurumu, dan hatinya penuh kasih sayang serta hasrat yang tulus untuk kesejahteraanmu“ (Anguttara Nikaya I. 295).

Dalam Dihga Nikaya III. 31 Sigalaka Sutta terdapat lima kewajiban seorang istri yaitu : 1) Melakukan semua tugas dan kewajibannya dengan baik, 2) Bersikap ramah kepada keluarga dari kedua belah pihak, 3) Setia kepada suaminya, 4) Menjaga baik-baik barang-barang yang dibawa oleh suaminya, 5) Pandai dan rajin dalam melaksanakan semua pekerjaannya.                                                                                                                 

Hubungan timbal balik suami istri adalah kunci kesuksesan dalam merealisasikan pasangan ideal. Suami selaku kepala keluarga juga tidak boleh egois. Secara positif, para suami dianjurkan untuk memelihara istri mereka dengan cara : bersikap manis, menghormatinya, tidak membencinya, setia kepadanya, memberikan wewenang kepadanya, menghadiahkan perhiasan dan lain sebagainya. Selanjutnya, suami harus berbicara ramah kepada istrinya, membantunya dalam segala pekerjaan, membawanya menghadiri upacara-upacara dan pesta-pesta, mendorongnya untuk melakukan upacara keagamaan dan menasehatinya dalam hal kebaikan, (Khuddakapatha. 138).

Suami yang tidak mengusahakan hal-hal tersebut di atas akan dibenci oleh istrinya. Dalam Jataka V. 433 disebutkan tentang delapan hal yang menyebabkan para suami dibenci oleh istrinya sendiri, yaitu : apabila ia miskin, sakit-sakitan, tua, bermabuk-mabukan, bodoh, kurang perhatian, terlalu sibuk dan menghambur-hamburkan uang.

Lebih lanjut, dengan terang benderang Sang Buddha bersabda dalam Anguttara Nikaya II. 62 sebagai berikut : ”Bila sepasang suami istri ingin saling memandang, tetap bersama-sama dalam kehidupan saat ini dan dalam kehidupan yang akan datang, maka keduanya harus seimbang dalam keyakinan (Samma Saddha), seimbang dalam kemoralan (Samma Sila), seimbang dalam kemurahan hati (Samma Caga), dan seimbang dalam kebijaksanaan (Samma Panna).

Air di tengah samudera tidak selamanya tenang. Ada kalanya muncul riak-riak bahkan pada waktu tertentu muncul gelombang tinggi. Demikian halnya dengan keluarga. Tidak ada keluarga yang mulus tanpa masalah sedikitpun. Ada kalanya perbedaan pandangan muncul bersama kesulitan lainya. Tetapi,  kehidupan rumah tangga yang baik harus diperjuangkan secara berkelanjutan.

Pasangan yang baik tidak akan mempersoalkan tentang apa dan siapa. Juga tidak melihat tentang tinggi dan rendahya derajat, pangkat, dan kedudukan, tetapi lebih menitik beratkan pada peran masing-masing dalam menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya. Pasangan yang baik adalah pasangan “Deva dan Devi”, yaitu pasangan antara seorang suami yang bermoral dengan isteri yang baik hati. Pasangan ideal yang memiliki kesetaraan dalam keyakinan, kemoralan, kemurahan hati, dan kebijaksanaan inilah yang dicari oleh setiap insan.

Untuk menemukan pasangan suami istri yang serasi, seia sekata memang tidak gampang. Tidak semua laki-laki beruntung mendapatkan perempuan yang baik sebagai istrinya. Sebaliknya, tidak semua perempuan beruntung mendapatkan seorang laki-laki yang baik sebagai suaminya. Karena itu jangan sembrono dalam memilih pasangan.

Pasangan ideal adalah pasangan antara seorang laki-laki yang baik (Deva) dengan seorang wanita yang baik (Devi). Suami isteri yang saling mengerti, sama setia, pada saling hormat menghormati, saling percaya dan saling membantu. Pasangan yang berbahagia seperti ini bukan hanya menjadi idola setiap orang tetapi juga dipuji oleh Sang Buddha.