FIKIH IBADAH PERSPEKTIF COVID-19
Oleh: Dr. Hj. Riadi Jannah Siregar, M.A
Guru pada MAN 7 Jakarta
Fikih اْلÙقه٠secara bahasa berarti: الْعÙلْم٠) pengetahuan( atau الْÙَهْم٠(pemahaman) saja, baik pemahaman itu secara mendalam ataupun dangka. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah fikih mengacu kepada ilmu yang membahas masalah-masalah hukum Islam yang praktis.Sedangkan fikih adalah dasar untuk mengetahui tata cara menjalankan ibadah. Sedangkan ibadah adalah ketundukan atau penghambaan diri kepada Allah, Tuhan yang maha Esa. Ibadah meliputi semua bentuk perbuatan manusia di dunia, yang dilakukan dengan niat mengabdi dan menghamba hanya kepada Allah SWT. Semua tindakan orang mukmin yang dilandasi dengan niat yang tulus untuk mencapai ridho Allah SWT dipandang sebagai ibadah. Sesuia dengan Firman Allah SWT dalam QS. Al-Dza-riyat: 56 yang berbunyi,
وَمَا خَلَقۡت٠ٱلۡجÙنَّ وَٱلۡإÙنسَ Ø¥Ùلَّا Ù„ÙيَعۡبÙدÙون٠٥٦
Artinya :” Tidaklah ku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada ku. (Al-Dza-riyat : 56)
Ibadah tidak hanya memiliki fungsi ritual semata, selain sebagai kewajiban, kebutuhan dan sarana membangun koneksi dengan Sang Pencipta yaitu Allah SWT. Fikih ibadah merupakan pemahaman mendalam terhadap nash-nash yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang berkaitan dengan rukun-rukun dan syarat-syarat yang sah tentang penghambaan diri manusia kepada Allah SWT. Dalam fikih ibadah dikaji beberapa sistem ibadah hamba kepada Allah SWT, yaitu tentang wudhu, tayamum, istinja’, mandi janabat, shalat, zakat, puasa, haji dan dalil-dalil yang memerintahkannya. Pelaksanaan semua ibadah yang dimaksud, disertai dengan contoh yang datang dari Rasulullah SAW.
Berhubung Pandemi Covid-19 adalah realitas global yang menerjang tatanan kehidupan umat manusia dari level internasional, hingga rumah tangga. Dan kemunculannya menyerang siapa saja yang dapat terjangkiti, tanpa memandang negara, agama, suku, kesholehan, ataupun strata sosial lainnya. Ia menjadi musuh bersama yang harus dilawan dengan cara, salah satunya, memutus mata rantai penyebarannya. Berhubung dalam peribadahan ummat Islam, banyak ritual ibadah dilakukan dengan cara berkumpul. Maka sangat rentan untuk menjangkitkan virus ini kepada orang lain. Dengan demikian, untuk kondisi saat ini, khususnya di musim pandemi Covid-19, adanya perbedaan cara ritual yang biasa dikerjakan sehari-hari, menjadi tidak bisa dilaksanakan seperti biasanya dilakukan.
Memahami karakter virus ini yang menyebar sangat mudah di keramaian dan media singgahnya. Umat Islam yang beribadah di masjid, dapat dengan mudah terpapar Covid-19. Virus ini berpindah dan mencari tempat baru dalam tubuh manusia melalui droplet yang keluar dari mulut dan hidung orang yang terjangkiti. Setelah keluar, ia dapat bertahan hidup hingga beberapa jam di media singgahnya seperti metal (gagang pintu, rel tangga), garmen (baju, mukena, sajadah, karpet), lantai, kulit manusia, dan sebagainya. Masjid adalah salah satu tempat berkumpulnya umat Islam yang menjalankan silaturrahmi, pengajian, shalat jamaah, shalat Jumat, shalat ‘Ied, buka puasa Bersama, dan sebagainya. Karenanya, virus ini dapat dengan mudah menulari umat Islam yang berjamaah di masjid. Pandemi ini akhirnya mempengaruhi cara pandang dan strategi keagamaan Islam untuk mengatur bagaimana umat Islam menjalankan ibadahnya di masjid. Ini juga memaksa para ulama untuk meretas sebuah Fikih ibadah perspetif Covid-19 yang buat di masa pandemi.
Tujuan Beragama
Tujuan beragama adalah menjaga agama, akal, diri, keturunan dan harta. Karena kita diperintahkan menjaga diri, maka perlu memunculkan dinamika berfikih yang sangat produktif untuk segala situasi. Dalam situasi ini kita dapat mengingat hadis Nabi. “Jika kalian mendengar kabar tentang merebaknya wabah Tha’un di sebuah wilayah, janganlah kamu memasukinya. Dan, jika kalian tengah berada di dalamnya, maka janganlah kamu keluar darinya”. (HR. al-Bukhari & Muslim). Nabi pernah menganjurkan tinggal di rumah dari pada ke masjid hanya karena hujan lebat yang menakutkan. Nabi pernah berujar agar yang sakit tidak bercampur dengan yang sehat (HR. al-Bukhari dan Muslim). Rasa takut dan sakit juga diyakini sebagai uzur (alasan) untuk tidak shalat jamaah di masjid. Contoh-contoh seperti ini sejatinya dapat menjadi preseden yang baik bagi umat Islam untuk beribadah di masa wabah.
Meretas Fikih covid-19
Fikih pada dasarnya telah memberi ruang yang fleksibelitas yang sangat terbuka. Kita lihat contoh sholat, wajib dilaksanakan berdiri, tetapi jika tidak mampu maka boleh duduk, berbaring dan seterusnya. Dalam konteks wabah yang mengglobal, dibutuhkan sebuah Fikih Pandemi yang mengatur ibadah umat Islam di masa wabah seperti ini. Secara sederhana, buku ini hadir menawarkan Fikih Pandemi yang bersifat guidelines saja.
Masalah kebersihan misalnya, Fikih Pandemi dapat menghadirkan perspektif Fikih tentang thaharah atau kebersihan seperti mencuci tangan. Imbauan ahli kesehatan untuk sering mencuci tangan itu merupakan penegasan akan tradisi thaharah dalam Islam. Islam identik dengan kebersihan, bahkan diposisikan sebagai bagian dari iman. Kitab-kitab Fikih selalu diawali dengan uraian tentang thaharah (bersuci), disusul dengan uraian lainnya. Rasulullah SAW mengajarkan pola hidup bersih. Sebagai contoh, setelah bangun dari tidur, kita diminta untuk selalu mencuci tangan tiga kali sebelum mulai berwudhu, dengan dalih orang tidur tidak mengetahui posisi tangannya ketika tidur.
Ada anjuran Nabi untuk isbagh alwudhu’, yaitu melakukan wudhu dengan sempurna, termasuk mencuci tangan. Anggota tubuh yang dibersihkan ketika berwudhu pun adalah yang frekuensi aktivitasnya lebih dominan berpotensi bersentuhan dengan virus, seperti tangan, muka (termasuk mulut dan hidung), kepala (termasuk telinga), dan kaki. Pakaian dan tempat yang digunakan juga harus terbebas dari najis. Bahkan, ulama kita menganjurkan untuk sering dalam kondisi awam atau ada wudhu, meski hanya sekadar mau beraktivitas keseharian. Berwudhu ini adalah salah satu ritual dan kebiasaan yang dapat berfungsi preventif terhadap tertularnya penyakit.
Memprioritaskan Keselamatan Bersama
Ulama telah merumuskan sebuah pakem “la dharar wa la dhirar” yang menegaskan bahwa ibadah tidak boleh berbahaya bagi dirinya atau membahayakan orang lain. Apa pun yang melanggar pakem ini, mesti diatur lagi sedemikian rupa. Di masa pandemi seperti ini, dengan karakter Covid-19, maka shalat berjamaah di mesjid, dapat menjadi potensi besar tersebarnya virus mematikan ini. Karena potensi yang membahayakan diri dan orang lain, maka ulama dan pemerintah menganjurkan untuk shalat di rumah. Anjuran beribadah di rumah menjadi new normal yang sama sekali tidak menggugurkan pahala dan keutamaan berjamaah dalam ibadah. Ia bahkan mendapatkan kelebihan pahala karena kebersamaan turut menghindarkan orang lain dari bahaya.
Beribadah Di Masa Pandemi Covid-19
Salah satu ibadah yang paling derastis perubahannya adalah shalat Jumat. Shalat Jumat bagi umat Islam yang berjenis kelamin laki-laki, baligh, berakal, sehat (tidak sakit atau tidak terhalang uzur), muqim (bukan dalam perjalanan) hukumnya fardhu ‘ain. Ketika ada uzur seperti sakit, hujan lebat, ataupun pandemi maka kewajiban shalat Jumat gugur. Terkait merebaknya Covid-19, diharamkan bagi yang terpapar Covid-19 menghadiri shalat Jumat (termasuk shalat jamaah) dengan dalil hadits, “Jangan yang sakit bercampur-baur dengan yang sehat” (HR. al-Bukhari & Muslim). Hadits lain, “Jika kalian mendengar kabar tentang merebaknya wabah Tha’un di sebuah wilayah, janganlah kamu memasukinya. Dan, jika kalian tengah berada di dalamnya, maka janganlah kamu keluar darinya”. (HR. al-Bukhari & Muslim).
Bagi yang berhalangan shalat Jumat, ia menggantinya dengan shalat dhuhur empat rakaat. Adapun menggantinya dengan shalat Jumat di rumah itu tidak dibolehkan dengan pertimbangan bahwa tujuan shalat Jumat adalah berkumpulnya banyak orang di sebuah tempat (masjid), sebagaimana makna semantik dari kata jum’ah yang berarti “berkumpulnya banyak orang” (ijtima’ alnas). Jumatan di rumah juga tidak dibolehkan menurut Imam Abu Hanifah karena rumah bukanlah tempat umum. Imam Malik juga tidak membolehkan jumatan di rumah dengan mensyaratkan jumatan harus di masjid. Imam al-Syaf i’i dan Imam Ahmad juga tidak membolehkan jumatan di rumah karena mensyaratkan jumlah yang hadir minimal 40 orang yang berkategori wajib jumatan.
Kesimpulan
Tujuan beragama adalah untuk menyelamatkan ummat manusia, maka Fikih yang fleksibel sangat dibutuhkan. Dengan pemahaman beragama bisa kerja sama dalam menangani Covid-19 ini dan semoga menjadi perekat solidaritas berbangsa dan bernegara. Sifat kegotongroyongan yang menjadi karakteristik masyarakat Indonesia harus semakin terwujud dalam kesehariannya. Musibah Covid-19 ini meniscayakan kebersamaan dan solidaritas segenap pihak untuk mengatasinya. Pemerintah menjalankan perannya sebagai pengambil kebijakan, masyarakat mematuhi dan menjalankannya dengan baik adalah peran kewargaan yang sangat dibutuhkan. Terbentuknya Gugus Penanganan Covid-19 hingaa tingkat RW dan RT adalah wujud kebersamaan warga. Yang berpunya memberi bantuan, berupa sembako, makanan, uang, dan selainnya kepada yang terdampak Covid-19.