Artikel
SELAMATKAN GENERASI EMAS INDONESIA

SELAMATKAN GENERASI EMAS INDONESIA

Oleh : Erna Sari Agusta, S.Pd
Guru MTs Negeri 28 Jakarta

Generasi muda adalah aset yang akan membawa kemajuan suatu bangsa. Berdasarkan hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015, jumlah penduduk Indonesia pada 2045 diprediksi mencapai 318,96 juta jiwa. Jumlah tersebut terdiri dari 160,21 juta jiwa perempuan dan 158,75 juta jiwa laki-laki. Sementara jumlah penduduk tahun 2019 sudah mencapai 266,91 juta jiwa, yang berarti akan bertambah 52,05 juta jiwa dalam 26 tahun ke depan.

Jumlah penduduk produktif (15-64 tahun) mencapai 68,7% ketika kemerdekaan Indonesia genap berusia 100 tahun. Sementara populasi yang belum produktif (1-14 tahun) sebesar 24,8% dan tidak produktif (lebih dari 65 tahun) mencapai 6,51%. Artinya angka ketergantungan (dependency ratio) penduduk Indonesia mencapai 45,56%. Artinya setiap 100 orang usia produktif akan menanggung 46 juta orang usia tidak produktif. Semakin tinggi rasio ketergantungan mengindikasikan semakin berat beban yang harus ditanggung oleh penduduk usia produkrif untuk membiayai hidup penduduk usia tidak produktif. Inilah yang perlu diwaspadai agar tidak menjadi beban generasi yang akan datang.

Pada tahun 2045, diperkirakan Indonesia mempunyai 68,7% usia produktif, jika mereka berkualitas maka bangsa ini pun akan menjadi produktif. Bangsa produktif adalah masa emas Indonesia. Namun reality penduduk saat ini sangat mengkhawatirkan.

Berdasarkan data KPAI tahun 2018 tercatat 4.886 kasus. Kasus anak berhadapan dengan hukum berada pada urutan pertama, yakni 1.434 kasus. Urutan kedua terkait dengan keluarga dan pengasuhan anak sebanyak 857 kasus. Berdasarkan data kasus tersebut, sebanyak 679 kasus didominasi oleh pornografi dan kejahatan siber, 451 kasus terkait dengan pendidikan, dan 364 kasus terkait dengan kesehatan dan penyelahgunaan narkoba. Akibat pornografi, kasus perkosaan telah terjadi di 34 propinsi di Indonesia, kekerasan seksual di sekolah sudah terjadi di 19 provinsi di tanah air Indonesia, kasus insect terjadi di 23 propinsi.

Mereka yang menjadi korban umumnya adalah anak yang mengalami realita dunia modern, yaitu dunia dimana sudah terjadi pergeseran nilai-nilai moral, komunikasi antara orang tua dan anak sudah berkurang, sedikitnya waktu untuk keluarga, beban kurikulum yang berat, kecanduan gadget, mengakses konten tanpa filter, tekanan dari teman sebaya, merajalelanya pornografi, dan kekerasan (bullying). Ketidakmampuan anak menghadapi diri dan lingkungannya  menyebabkan ia mengalami BLAST.

Apa itu BLAST?

1. Bored, yaitu merasa bosan dengan rutinitasnya sehari-hari di rumah dan di sekolah

Anak yang kehidupannya hanya berkutat dari rumah ke sekolah dan sebaliknya, hanya akan menyebabkan mereka jenuh, ditambah lagi dengan segudang aktivitas yang membuat mereka kehilangan sebagian waktunya. Mari kita perhatikan lingkungan sekitar, berapa banyak anak yang sepulang sekolah langsung pergi les bimbel atau privat. Kemudian soren harinya, mereka harus pergi mengaji dan malam harinya setumpuk tugas sekolah sudah menanti untuk dikerjakan. Rutinitas inilah yang akhirnya menimbulkan kejenuhan pada setiap anak. Kejenuhan tersebut yang akhirnya membuat mereka malas untuk beraktiitas di rumah seperti mengerjakan PR maupun aktif dalam diskusi belajar di sekolah.

Menurut Slivar (2001) faktor penyebabnya terjadinya kejenuhan adalah adanya tuntutan yang besar dari sekolah, kurangnya penghargaan dari sekolah atas prestasi siswa, harapan orang tua dan keluarga yang terlalu tinggi, perbedaan nilai atau pandangan yang diberikan dari keluarga, guru, dan lingkungan sekitar utuk prestasi yang dimiliki oleh siswa. Sedangkan aspek-aspek kejenuhan menurut Nurwangid, Purwanti dan Fathiyah (2010) meliputi: kelelahan emosional, kelelahan fisik, kelelahan kognitif, dan kelelahan motivasi. Semua kelelahan tersebut akan berdampak pada kejenuhan seorang siswa.

2. Loneliness, yaitu merasa kesepian karena tidak dekat dengan orang tua baik secara kuantitas maupun kualitas.

Rasa kesepian sangat berbahaya jika melanda khususnya bagi anak yang sedang mengalami masa pubertas, yaitu masa peralihan dari anak-anak menjadi remaja. Santrock (2002) mengatakan kesepian adalah ketika seseorang merasa bahwa tidak ada seorang pun yang memahaminya, merasa terisolasi, dan tidak seorang pun dapat dijadikan pelarian saat dibutuhkan seseorang ketika berada dalam keadaan stres. Kesepian dapat diartikan juga sebagai suatu keadaan mental dan emosional yang disebabkan oleh adanya perasaan terasing dan perasaan tidak menyenangkan yang dipersepsikan seseorang akibat tidak terpenuhinya kebutuhan akan hubungan sosial ataupun hubungan interpersonal pada dirinya.

3. Angry, merasa marah karena adanya ketidakpuasan dengan situasi dan kondisi.

Marah adalah salah satu respon atas perbedaan antara kondisi yang terjadi dengan kondisi yang diharapkan. Menurut C.P. Chaplin (1993) Marah adalah reaksi emosional akut yang ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang merangsang, termasuk ancaman, agresi lahiriah, pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan, atau frustasi dan dicirikan oleh reaksi kuat pada sistem syaraf otomik. Marah bisa terjadi karena adanya tekanan untuk berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan. Marah sering muncul pada anak disaat dia tidak merasa nyaman dengan kondisi yang diharapkan.

4. Afraid, yaitu merasa ketakutan untuk bercerita karena tekanan teman sebaya.

Spielberger (dalam Gunarsa, 2008) mengatakan bahwa ketakutan adalah state anxienty yaitu suatu keadaan/kondisi emosional sementara pada diri seseorang yang ditandai dengan perasaan tegang dan kekhawatiran yang dihayati secara sadar serta bersifat subjektif. Menurut Gunarsa (2008) rasa takut ditimbulkan oleh adanya ancaman, sehingga seseorang akan menghindar darinya. Umumnya rasa takut timbul bila ada sesuatu hal yang tidak dapat diterima oleh pikiran dan perasaan. 

Komunikasi sebagai salah satu jalan yang sangat menentukan dalam menciptakan kehidupan keluarga yang harmonis. Anak-anak dengan intensitas komunikasi rendah dalam sebuah keluarga mempunyai peluang yang besar untuk menerima tekanan dari lingkungannya. Sikap orang tua yang sikap yang apatis dan masa bodoh sering kali membuat anak kehilangan kepercayaannya kepada orang tua. Sebaliknya sikap orang tua yang diktator dan egois membuat anak semakin tertutup untuk menceritakan tentang apa yang terjadi dengan dirinya dan apa yang ia inginkan. Kondisi inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk menekan si anak. Tekanan bisa dalam bentuk ancaman, bullying, atau isolasi. Minimnya komunikasi membuat anak harus menanggung tekanan dan rasa takut ini seorang diri yang pada akhirnya berdampak pada sikap traumatis.     

5. Stress, yaitu merasa tertekan dengan situasi dan kondisi yang ada disekelilingnya

Weinberg dan Gauld (2003) mendefisikan stress sebagai ketidakseimbangan antara tuntutan (fisik dan psikis) dan kemampuan memenuhinya.Tingginya tuntutan dan minimnya komunikasi dalam keluarga menjadi stress. Perlu diingat, seorang anak butuh untuk diberi pemahaman dan dibimbing agar apa yang mereka lakukan itu memang pantas dan mampu untuk dilakukan. Selain itu seorang anak harus diberi rasa kepercayaan agar apa yang mereka lakukan dapat dipertanggung jawabkan dengan baik. Orang tua dan guru hendaknya berada di sisi seorang anak ketika mereka mulai tumbuh remaja. Stress dapat terjadi akibat banyaknya tekanan sehingga seseorang tidak mampu melakukan apa yang diminta oleh lingkungannya.

6. Tired, merasa lelah akibat akumulasi semua permasalahan

Seorang anak yang jenuh dan merasa kesepian tentu tidak akan pernah merasa nyaman. Kesal dan amarah akan senantiasa singgah di hati tatkala lingkungannya sudah tidak lagi memperdulikannya. Akibatnya tekanan demi tekanan terus menghantam menyebabkan ketakutan yang luar biasa hingga menimbulkan stress dan traumatis. Hal inilah yang kemudian membuat seorang anak barada pada titik puncak kelelahannya. Dengan kondisi seperti ini, anak akan semakin dekat dengan maka berbagai tindak kriminal dan penyimpangan sosial.

Enam efek ketidakmampuan anak tersebut akan berdampak pada penurunan motivasi dan prestasi belajar anak. Untuk mengantisipasi hal tersebut, sudah saatnya kita memperlakukan satu aksi satu pola asuh. Menurut Masud Hoghughi (direktur dari Aycliffe Center for Children, Country Durham dan Professor Fakultas Psychology, Universitas of Hull, Amerika) pengasuhan merupakan hubungan antara orang tua dan anak yang multidimensi yang bertujuan agar anak mampu berkembang secara optimal dan dapat bertahan hidup dengan baik. Pengasuhan ini meliputi pengasuhan fisik, pengasuhan emosi, dan pengasuhan sosial. Hoghughi menambahkan komponen dan kunci pengasuhan meliputi: (1) Upaya memenuhi kebutuhan anak untuk kesejahteraan fisik, sosial, dan emosionalnya dengan melindungi anak dan menghindarkannya dari potensi penyimpangan atau pelecehan, (2) Upaya pemberian aturan yang terkontrol dan mampu ditegakkan, (3) Upaya dukungan terhadap anak agar mampu mengembangkan potensi dirinya.    

Berdasarkan pendapat di atas maka sebagai orang tua dan pendidik, kita harus mampu mengubah anak BLAST menjadi BEST. Hal ini dapat dilakukan dengan menanamkan sikap positif di bawah ini:

  1. Behave, yaitu menanamkan kebaikan kepada anak dengan contoh perilaku yang baik dari orang tua, guru, dan lingkungannya sehingga mereka merasa dapat menciptakan hal-hal yang baik. Ajari mereka untuk menghormati orang yang lebih tua, menyayangi orang yang lebih muda, dan menghargai sesamanya.
  2. Emphatic, yaitu menanamkan kepada anak agar bisa memposisikan diri pada kondisi orang lain. Rasa peduli dan welas asih terhadap sesama dapat menghindari anak dari perbuatan anarkis dan bullying. Orang tua atau guru dapat menanamkan rasa empati melalui kegiatan-kegiatan sosial keagamaan dan kunjungan ke panti (yayasan sosial).
  3. Smart, yaitu mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh anak. Orang tua atau guru dapat membantu anak dalam mengoptimalkan potensinya dengan memberikan berbagai kegiatan positif yang dapat mengalihkan perhatian mereka dari ketergantungan terhadap gadget. Orang tua atau guru harus dapat mengarahkan penggunaan gadget ke hal-hal yang positif, seperti sebagai sumber dan media pembelajaran.   
  4. Tough, yaitu melatih mereka agar menjadi anak yang tangguh dan berpegang teguh pada prinsip. Orang tua atau guru dapat membiasakan musyawarah untuk dengar pendapat dan saran. Ajari kepada anak cara untuk mengambil dan menerima keputusan dengan bijak. Buat aturan dan bangun komitmen bersama dalam menjalani rutinitas sehari-hari.   

Dengan empat pola asuh di atas, maka segala bentuk hambatan motivasi dapat diminimalisir. Hasil pendidikan tentu tidak dapat dirasakan secara langsung melainkan  merupakan suatu proses. Pola asuh yang baik dan terintegritas antara orang tua, guru, dan anak akan membuat pendidikan menjadi lebih baik. Dengan satu aksi satu pola asuh maka diharapkan pada tahun 2045 nantu, Indonesia mempunyai generasi emas yang produktif. Marilah para orang tua, guru, dan seluruh stakeholder pendidikan bersama-sama untuk menjadi pahlawan bagi setiap anak Indonesia.