PERAN PEMIMPIN DALAM PEMBANGUNAN ZONA INTEGRITAS
Cerita tentang reformasi birokrasi bukanlah sesuatu yang baru. Kisah reformasi birokrasi menjadi inti dari semua spirit perubahan yang diinginkan oleh semua lapisan masyarakat di negeri ini hingga saat ini. Menguatnya tuntutan terhadap reformasi birokrasi disebabkan karena birokrasi kita masih identik dengan kelambanan, bertele-tele dan koruptif.
Gagasan Reformasi Birokrasi yang telah disosialisasikan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dalam proses implementasinya belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Bahkan ketika gagasan itu telah diperkuat dengan keluarnya Peraturan Presiden Nomor 18 tahun 2010 yang menetapkan tentang Grand Design dan Road Map Reformasi Birokrasi yang menargetkan tercapainya tiga sasaran yaitu peningkatan kapasitas dan akuntabilitas organisasi, pemerintah yang bersih dan bebas KKN serta peningkatan pelayanan publik, perjalanannya belum memperlihatkan hasil yang signifikan.
Secara eksplisit, ultimate goal dari Grand Design akan menciptakan aparatur yang bersih, berintegritas, dan hal positif lainnya. Dalam konteks ini terlihat tantangan yang cukup besar dalam mewujudkan tujuan reformasi birokrasi tersebut. Salah satu tantangan utama adalah, pola pikir (mindset) dan budaya kerja (cultureset) birokrat yang stagnan sehingga belum sepenuhnya mendukung birokrasi yang efisien, efektif, produktif, dan professional. Hal itu salah satunya disebabkan karena para birokrat belum sepenuhnya memiliki pola pikir yang melayani, dan belum mencapai kinerja yang lebih baik (better performance), serta belum berorientasi pada hasil (outcomes).
Seiring dengan tuntutan masyarakat terhadap peningkatan mutu layanan instansi pemerintah maka reformasi birokrasi harus terus diakselerasi. Akselerasi harus dilakukan terhadap 2 komponen utama yaitu birokrasi bersih dan pelayanan bermutu. Akselerasi borokrasi yang bersih harus diakselerasi bukan hanya melalui penindakan terhadap membudayanya praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), melainkan juga harus melalui program pencegahannya. Akselerasi pelayanan dilakukan terhadap peningkatan tingkat efisiensi, efektifitas, produktivitas, transparansi, akuntabilitas, disiplin dan etos kerja pegawai.
Salah satu bentuk akselerasi pencapaian sasaran hasil tersebut maka saat ini regulasi menghendaki bahwa setiap instansi pemerintah perlu membangun pilot project Zona Integritas yang dapat menjadi unit percontohan penerapan bagi unit-unit lainnya. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menpan RB Nomor 52 tahun 2014 tentang pedoman pembangunan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) di lingkungan Instansi Pemerintah.
Zona Integritas (ZI) merupakan sebutan atau predikat yang diberikan kepada kementerian, lembaga dan pemerintah daerah yang pimpinan dan jajarannya mempunyai niat (komitmen) untuk mewujudkan WBK dan WBBM melalui upaya pencegahan korupsi, reformasi birokrasi dan peningkatan kualitas pelayanan publik.
Pada kenyataannya, meski sudah ada pendekatan sistematis yang dikembangkan, namun implementasi birokrasi yang didukung oleh upaya pembangunan Zona Integritas belum bisa berjalan secara maksimal. Penilaian Zona Integritas masih dipahami sebagai upaya dalam menghadirkan eviden-eviden substansial sebagai tolak ukur bukan pada perubahan pola pikir (mindset) dan budaya kerja (cultureset). Oleh karena itu tahapan yang paling penting dalam Zona Integritas adalah pembangunan itu sendiri. Pembangunan berarti membangun integritas pada unit instansi pemerintah melalui berbagai perubahan dan perbaikan yang terencana, masif, komprehensif, dan sistematis. Membangun integritas berarti membangun sistem, membangun manusia, dan membangun budaya.
Membangun sistem, membangun manusia, dan membangun budaya dalam organisasi tentunya tidak terlepas dari peran pemimpin. Sejarah membuktikan bahwa figur seorang pemimpin memegang peran kunci dalam sebuah perubahan. Secara sederhana, praktek implemantasi pembangunan Zona Integritas, sesungguhnya akan menjadi lebih akseleratif, jika pemimpin mampu menjalankan peran sebagai teladan atau figur yang mampu menginspirasi terjadi sebuah perubahan.
Suka atau tidak, seseorang pemimpin harus mampu menginsprirasi para bawahannya. Inspirasi paling nyata, bukanlah dengan retorika tapi justru dengan kerja nyata. Pemimpin memberikan keteladanan melalui tindakan. Keteladanan inilah yang sesungguhnya menempatkan dengan seorang pemimpin menjadi sumber inspirasi bagi bawahannya.
Dalam konteks pembanguna Zona Integritas, pemimpin harus menunjukkan bahwa seluruh tingkah laku, komitmen dan kebijakan yang keluarkannya selaras dengan semangat untuk menghasilkan instansi yang bebas dari korupsi serta birokrasi yang bersih dan melayani.
Zona Integrtitas dijalankan menggunakan panduan berbentuk dua indikator utama yaitu indikator pengungkit dan indikaotor hasil. Indikator pengungkit terdiri dairi 6 bagian yaitu manajemen perubahan, tata laksanan, manajemen SDM, akuntabilitas, pengawasan, dan kualitas layanan publik. Sedangkan indikator hasil terdiri dari 2 bagian yaitu pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, dan kualitas pelayanan publik. Seperti ditegaskan di muka bahwa dalam melaksanakan Zona Integritas, hakikatnya adalah pembangunan pada 6 indikator. Adapun indikator hasil merupakan dampak dari indikator pengungkit. Dalam pembangunan pada 6 indikator tersebut peran pimpinan sangat vital baik sebagai role model mapun sebagai motivator.
Indikator pertama yaitu manajemen perubahan merupakan jiwa dari 5 indikator pengungkit lainnya. Untuk menghasilkan suatu perubahan nyata dibutuhkan beberapa hal. Paling tidak ada beberapa hal yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin terkait dengan percepatan reformasi birokrasi atau pembangunan zona integritas. Pertama, Pemimpin sebagai lokomotif perubahan harus memiliki keyakinan bahwa ia mampu menjadi penggerak sekaligus pendorong pemecahan masalah yang dihadapi. Hal ini sejalan dengan prinsip kepemimpinan yang dibangun oleh Ki Hajar Dewantara “Ing Madyo Mangun Karso”.
Kedua, pemimpin senantiasa memberikan keteladanan bagi staf/bawahan (Ing Ngarso Sung Tulodo). Keteladanan juga berarti konsekuen dan mau memberikan pengorbanan untuk kepentingan yang lebih besar. Keteladan ini perlu datang dari dalam diri pemimpin. Bila pemimpin telah menjadi teladan, telah dipastikan sebagian atau bahkan semua staf terilhami untuk mengikuti perilaku yang baik itu. Jika pemimpin menjadi teladan dari perwujudan sikap professional, berintegritas dan akuntabel, staf atau bawahan akan malu untuk bertindak berlawanan dengan sikap yang ingin dianut. Tanpa contoh yang baik, kepemimpinan tak akan mungkin berhasil.
Dalam konteks ini jelas pemimpin dituntut untuk berbuat bukan hanya sekedar beretorika, berteori atau apapun namanya. Dia harus mengawali langkah dengan perbuatan yang nyata untuk mengubah keadaan yang sebelumnya kurang baik, menjadi lebih baik. Seringkali keadaan buruk bukan disebabkan oleh orang-orang yang buruk, tetapi karena orang baik tidak melakukan sesuatu alias NATO (No Action Talk Only).
Ketiga adalah kerja sama. Sudah tentu pemimpin tak bisa bekerja sendiri. Pemimpin hanya memiliki dua tangan, sementara perubahan menghendaki tangan-tangan yang bersinergi untuk membangun kekuatan untuk melahirkan perubahan. Seberapapun hebat dan kuatnya figur seorang pemimpin, dia tetap harus menyadari bahwa dirinya memiliki keterbatasan dan karenanya memerlukan dukungan dari orang atau pihak lain. Jika mampu membangun sinergi itu, pemimpin akan menjadi lebih mudah dalam melakakukan sebuah perubahan. Hanya dengan memobilisasi kekuatan sinergi yang dibangunnya, pemimipin akan lebih mudah dalam melhirkan sebuah perubahan.
Keempat, pemimpin itu juga bekerja lebih keras daripada staf/bawahan bukan sebaliknya. Dia bekerja sepenuh hati. Salah satu hal yang hatus dilakukan adalah mendorong setiap staf/bawahan untuk selalu keluar dari zona nyaman (comfort zone) dan bekerja dalam zona persaingan (competitive zone). Sebab. Pemimpin harus memberikan perhatian pada setiap orang yang terlibat dan mendukung upaya pembangunan Reformasi Birokrasi/Zona Integritas. Jangan pernah terjebak pada kelompok yang menentang karena umumnya seorang pemimpin cenderung memberi perhatian lebih banyak pada mereka yang mendukung dan mendengarkan mereka, serta menyalurkan aspirasi yang disampaikan.
Kelima, tentu saja pemimpin yang berorientasi pada perubahan senantiasa konsisten melakukan semua hal yang baik. Ia tetap bersemangat melakukannya di awal, tengah maupun akhir proses. Semua pimpinan harus berniat dan yakin mampu melakukan di awal, tengah maupun akhir proses. Semua pimpinan harus berniat dan yakin mampu melakukan yang terbaik, meski di masa lalu Ia belum memiliki track record yang baik dalam memimpin. Sebab, tak semua pemimpin itu lahir sebagai orang baik. Sebab itu pemimpin mutlak harus terus belajar dan terbuka terhadap gagasan-gagasan baru, sekalipun gagasan itu datang dari mereka yang dari sisi hirarki berada dibawahnya. Menghargai gagasan baru dari bawahan merupakan hal yang mutlak bagi seorang pimpinan. Karena prinsip átasan selalu paling benar tidak relavan lagi di era demokrasi ini.
Keenam, Keterkaitan peran pemimpin dengan pencapaian implementasi Pembangunan Zona Integritas maka pendekatan yang mesti dilaksanakan adalah keharusan seorang pemimpin terus mengkomunikasikan pembangunan Zona Integritas dilingkungan organisasinya. Pendekatan ini akan menjadi sangat efektif bila dikombinasikan dengan pendekatan pengawasan dan monitoring untuk memastikan bahwa seluruh proses pembangunan Zona Integritas itu memang dijalankan secara sistemik dan natural, dan bukan hanya ketika akan diperiksa atau diaudit. Dalam konteks pengawasan dan monitoring ini akan meminimalkan pimpinan cuci tangan atau mengkambinghitamkan bawahan terhadap kesalahan- kesalahan yang terjadi. Karena semua proses yang terjadi dilapangan akan sangat terbuka bagi pimpinan untuk diketahui.
Ketujuah, Berbagai success story pembangunan zona integritas di Indonesia menunjukkan bahwa komitmen menjadi prasyarat sebuah instansi yang berintegritas. Jika komitmen kuat, maka mewujudkan institusi yang bersih dan melayani melalui zona integritas akan menjadi sebuah keniscayaan. Namun jika komitmen lemah, cita-cita menjadi zona integritas hanya akan menjadi sebatas angan dan pencitraan dan hanya sebatas eviden-eviden.
Menurut Ross Perot tidak seperti investasi, orang tidak bisa dikelola, tapi harus dipimpin. Pendapat tersebut menegaskan fungsi pimpinan dalam menjalankan organisasi. Oleh karena itu, tugas pimpinan adalam memimpin.