PERAN AKTOR KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DALAM BINA DAMAI
Pendahuluan
Apakah kerukunan umat beragama itu?
Dalam BAB I Ketentuan umum Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Rukun bisa diartikan hidup damai, menjaga perdamaian menjadi tugas kita semua. Menjaga hidup damai (peacebuilding) dapat dilakukan dengan menekankan pada dua hal yaitu, pertama, mendorong para agamawan untuk mengartikulasikan pemahaman keagamaan yang moderat dan sejuk. Kedua, mendorong lahirnya sikap masyarakat pemeluk agama yang saling menghormati terhadap pemeluk dan kelompok lain. Di sinilah tantangan dalam membangun perdamaian dan kerukunan, di sini pulalah letak salah satu urgensi mengapa pengarusutamaan (mainstreaming) budaya damai (peacebuilding) perlu dilakukan bagi semua pihak terkait.
Peran Aktor Kerukunan dalam Bina Damai
Konsep bina damai (peacebuilding) pertama kali dipopulerkan oleh Bhoutros-Bhoutros Ghali, mantan Sekretaris Jendral PBB pada tahun 1992. Menurut Bhoutros-Bhoutros Ghali, definisi bina damai (peacebuilding) adalah: Upaya komprehensif untuk mengidentifikasi dan mendukung struktur yang mengkonsolidasikan perdamaian dan memajukan rasa percaya diri dan kesejahteraan di antara orang-orang. Melalui perjanjian yang mengakhiri perselisihan sipil, ini dapat mencakup pelucutan senjata dari pihak-pihak yang sebelumnya bertikai dan pemulihan ketertiban, penahanan dan kemungkinan pemusnahan senjata, pemulangan pengungsi, dukungan penasihat dan pelatihan untuk personel keamanan, pemantauan pemilihan umum, upaya memajukan untuk melindungi hak asasi manusia, reformasi atau memperkuat institusi pemerintah dan mempromosikan proses partisipasi politik formal dan informal”.
Peacebuilding terkait dengan dua hal esensial yaitu dekonstruksi struktur kekerasan dan merekonstruksi struktur perdamaian, bahwa tujuan utama dari peacebuilding adalah mencegah atau menyelesaikan konflik serta menciptakan situasi damai melalui transformasi kultur kekerasan menjadi kultur damai. (Andi Knight)
Pengembangan budaya damai sendiri, penting dilakukan oleh para pimpinan atau tokoh agama melalui dialog-dialog intensif lintas agama dan keyakinan. Hal tersebut efektif bagi penyelesaian berbagai persoalan hubungan antar umat beragama dan membangun saling pemahaman dari adanya perbedaan-perbedaan antar agama.
Peacebuilding umumnya dilakukan oleh aktor domestik seperti masyarakat, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), namun tidak dipungkiri aktor eksternal seperti organisasi internasional, negara donor, dan international non-governmental organizations (INGO’s) memiliki peranan penting dalam memfasilitasi dan mendukung upaya peacebuilding.
Untuk daearah di Indonesia baik provinsi maupun kabupaten/kota ada lembaga masyarrakat yang difasililitasi pembentukannya oleh pemerintah yaitu Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) , memiliki peran memelihara dan mengembangkan kerukunan umat beragama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Adapun tugasnya:
- Melakukan dialog dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat;
- Menampung aspirasi ormas keagaaan dan aspirasi masyarakat;
- Menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan kepala daerah;
- Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan KUB dan pemberdayaan masyarakat;
- Memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan atas permohonan pendirian rumah ibadat, dan memberikan pendapat tertulis untuk izin sementara pemanfaaatan bangunan gedung bukan rumah ibadah yang diberikan oleh kepala daerah;dan
- Memberikan pendapat atau saran dalam hal penyelesaian perselisihan pendirian rumah ibadat kepada kepala daerah.
Masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai agama dan suku bangsa. Secara sosiologis, Islam adalah agama yang banyak dipeluk mayoritas penduduk Indonesia. Namun di beberapa daerah, agama selain Islam seperti Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghuchu justru yang menjadi agama mayoritas. Tidak hanya di antara agama terdapat keragaman, di dalam setiap agama pun eksis beragam paham keagamaan dan sekte. Selain agama, masyarakat Indonesia juga terdiri dari ratusan suku bangsa dengan bahasa dan dialek yang berbeda-beda. Potret majemuk masyarakat Indonesia tersebut harus dipahami oleh masyarakat sebagai mozaik dan bukti kekayaan khazanah kehidupan masyarakat di Indonesia.
Sikap beragama yang ekstrim dan cenderung revolusioner bahwa keyakinannya yang paling benar dan memaksa orang lain yang tidak seagama atau sepaham untuk mengikutinya tidak mendapatkan tempat di masyarakat. Sebaliknya, beragama secara moderat yaitu menghormati agama dan paham keagamaan orang lain adalah sikap beragama yang harus diamalkan sehingga tercipta kehidupan yang harmonis. Nilai yang terkandung dalam moderasi beragama mampu mengharmonikan perjumpaan agama dan tradisi. Moderasi beragama mendorong adaptasi hingga akulturasi budaya dan agama, dengan tidak menghilangkan hal-hal pokok dalam agama. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, nilai-nilai moderasi beragama yang memandang antara agama dan negara terdapat hubungan yang simbiosis dan terbukti mampu menyatukan bangsa Indonesia dengan menyepakati berdirinya NKRI dengan berdasarkan Pancasila. Dalam perspektif ini agama membutuhkan negara dan negara membutuhkan agama, sehingga bentuk negara Ketuhanan menjadi pilihan yang paling realistis, sebagai penolakan terhadap bentuk negara sekuler dan teokrasi.
Pencegahan Konflik
Pembedaan konflik dan kekerasan itu menjadi landasan dari konsep pencegahan konflik dalam studi-studi konflik. Pencegahan konflik umumnya dipahami bukan sebagai upaya untuk meniadakan konflik, tetapi upaya mencegah penggunaan kekerasan dalam konflik. Istilah lain yang juga kerap digunakan para ahli untuk menyebut pencegahan konflik adalah respons dini (early response) konflik. Austin mendefinisikan respons dini (early response) sebagai “setiap upaya yang dilakukan pada tahap potensi terjadinya konflik bersenjata [kekerasan] yang bertujuan untuk mengurangi, menyelesaikan atau mentransformasikan konflik” (Austin 2004).
Konflik bersifat dinamis dan berkembang dari waktu ke waktu. Sifat dinamis konflik ini diilustrasikan oleh para sarjana pengkaji konflik ke dalam alur perkembangan yang disebut ‘siklus konflik’. Secara garis besar siklus konflik terbagi ke dalam beberapa fase atau tahap: laten, permulaan konflik, eskalasi, puncak atau krisis, de-eskalasi, dan akhir konflik. Fase laten adalah tahap ketika kondisi yang berpotensi melahirkan konflik belum disadari para pihak, atau sebagian pihak mungkin telah menyadarinya tetapi tidak tahu apa yang harus atau dapat diperbuat. Pada tahap inilah para pengkaji umumnya memandang penting peran pencegahan konflik (conflict prevention).
Jika pencegahan konflik atau respons dini tidak dilakukan atau gagal dilakukan, maka kondisi itu umumnya akan mendorong munculnya fase berikut, yaitu terbentuknya konflik (conflict formation). Fase lahir atau terbentuknya konflik adalah tahap ketika satu pihak mulai menyatakan keluhan atau keberatan terhadap pihak lainnya terkait isu konflik tertentu. Pada fase ini keluhan atau keberatan itu umumnya masih disampaikan secara individual, belum dilakukan secara kolektif atau terorganisasi. Fase ini juga ditandai dengan beredarnya rumor, berita yang belum bisa dipastikan kebenarannya atau bahkan informasi palsu. Dengan kemajuan pesat teknologi komunikasi informasi, rumor, informasi palsu atau berita yang belum bisa dipastikan kebenarannya dapat menyebar dengan sangat cepat dan, jika tak tertangani dengan baik, dapat menjadi pemicu eskalasi konflik.
Fase eskalasi adalah tahap ketika salah satu pihak berkonflik telah mengekspresikan tuntutan terhadap pihak lain dalam bentuk aksi yang lebih terorganisasi. Bentuk aksi untuk mengekspresikan tuntuan itu disebut Tilly (2008) sebagai cara laku bertikai (contentious performance). Dari segi jenisnya, cara laku bertikai dapat berupa aksi damai atau nirkekerasan, aksi disruptif dan aksi kekerasan. Dari segi bentuk, laku bertikai dapat berupa delegasi atau pengaduan, pernyataan/siaran/jumpa pers, dan demonstrasi/pawai. Seiring dengan meningkatnya situasi konflik, laku bertikai dapat berubah dari yang bersifat nirkekerasan menjadi disruptif, sebelum akhirnya berkembang menjadi kekerasan. Beberapa bentuk laku bertikai disruptif atau konfrontasional adalah pendudukan, blokade jalan, dan aksi mogok. Adapun beberapa bentuk laku bertikai kekerasan adalah penyerangan terhadap orang, seperti penganiayaan dan pembunuhan, maupun penyerangan terhadap barang, seperti pembakaran dan peledakan/pengeboman.
Jika kondisi eskalasi tidak tertangani, konflik akan berlanjut memasuki fase krisis. Apabila pada fase sebelumnya ketegangan telah ditandai dengan munculnya aksi-aksi kekerasan secara sporadis, fase krisis ditandai dengan aksi kekerasan yang massif dan meluas. Contohnya adalah huru-hara dan perang. Ketika konflik telah memasuki fase krisis, tindakan intervensi yang umum dilakukan adalah penghentian kekerasan (conflict termination) oleh aparat keamanan, baik dilakukan dengan penggunaan kekuatan (represi) atau melalui persuasi.
Apabila intervensi penghentian kekerasan berhasil, kekerasan mereda dan ketegangan antara para pihak berkonflik menurun, konflik memasuki fase de-eskalasi. Dalam fase ini, selain upaya memelihara perdamaian (peacekeeping), pihak ketiga (pemerintah maupun nonpemerintah) berupaya melakukan mediasi atau dialog dengan melibatkan para pihak berkonflik untuk mencapai kesepakatan penyelesaian konflik. Jika mediasi atau dialog dapat menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima para pihak berkonflik, konflik memasuki fase akhir konflik. Apabila kesepakatan tidak bisa sepenuhnya memuaskan para pihak berkonflik, kondisi itu akan menyediakan benih-benih baru bagi terjadinya konflik di masa mendatang.
Penutup
Kerukunan menjadi modal dasar bagi pembangunan Indonesia, maka memelihara kerukunan menjadi upaya kita bersama umat beragama dan pemerintah. Istilah pemeliharaan digunakan menunjukkan keaktifan masyarakat (umat beragama) untuk mempertahankannya, sesuatu yang telah ada yaitu kerukunan. Karena jika hal itu terganggu dan bahkan menyebabkan konflik kekerasan maka yang akan hancur dan rugi adalah kita semua sebagai bangsa. Mari menyongsong Indonesia Maju dengan memelihara dan mengembangkan kerukunan.
sumber foto ilustrasi : NU Online (https://www.nu.or.id)