PENYELENGGARAAN SEMINAR KEWIDYAISWARAAN INTERNASIONAL BDK JAKARTA TAHUN 2020
Dalam menyambut era 4.0, Balai Diklat Keagamaan (BDK) Jakarta kembali membuat gebrakan. Setelah genap menyelenggarakan delapan (8) tahun pelatihan e-learning melalui Diklat Jarak Jauhnya, kini BDK Jakarta sukses menggelar seminar kewidyaiswaraan internasional yang bertajuk “PENGARUSUTAMAAN MODERASI BERAGAMA DI INDONESIA (Mainstreaming Religious Moderation)”.
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu program prioritas Kementerian Agama berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 2020 adalah penguatan cara pandang moderasi beragama bagi seluruh lapisan masyarakat. Cara pandang moderasi beragama ini dilatarbelakangi oleh kenyataan kondisi dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Kemajemukan bagsa Indonesia apabila tidak dikelola dengan baik akan melahirkan konflik horizontal yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Salah satu upaya yang dilakukan agar gagasan, pengetahuan, dan pemahaman tentang moderasi beragama tidak disalahtafsirkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab adalah dengan dilaksanakannya seminar moderasi beragama bagi widyaiswara. Pemahaman dan pengetahuan moderasi beragama bagi widyaiswara sangat diperlukan mengingat tugas dan fungsi widyaiswara adalah mendidik, mengajar, dan melatih bagi pegawai sehingga dipandang memiliki peranan strategis untuk mendukung pengatusuatamaan moderasi beragama bagi aparatur negara.
Acara yang diselenggarakan pada hari Selasa, 24 November 2020 ini dilaksanakan secara daring (dalam jaringan) dengan menggunakan aplikasi zoom clouds meeting dan diikuti oleh lebih dari 60 orang widyaiswara, baik dari widyaiswara Kementerian Agama, Pusdiklat BSSN, Pusdiklat ANRI, Pusbang Kepegawaian ASN BKN, BPSDM Prov Riau, dan lainnya. Selain itu, hadir pula beberapa perwakilan dari kalangan guru, dosen maupun peneliti dari berbagai daerah di Nusantara. Seminar dimulai pukul 08.00 hingga 11.00 WIB.
Partisipasi aktif peserta dalam seminar ini diakui sangat baik, mengingat materi moderasi beragama kali ini dibahas oleh narasumber yang memiliki latar belakang kultur dan negara yang berbeda. Hal ini terbukti dari banyaknya pertanyaan baik melalui chat maupun secara langsung.
Seminar dibuka oleh Kapuslitbang Lektur Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi, Prof. Dr. M. Arskal Salim GP, M. Ag, yang dalam hal ini mewakili Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Beliau menyambut gembira akan terselenggaranya acara tersebut dan berharap ke depannya semakin banyak acara yang melibatkan widyaiswara terutama dalam kegiatan ilmiah berskala internasional. Dalam arahannya beliau menyampaikan pentingnya cara pandang moderasi dalam konteks kemajemukan bangsa Indonesia untuk terciptanya suasana kehidupan yang harmoni.
Sebagai narasumber pertama, Prof. Dr. Muhammad Adlin Sila, M.A selaku Kepala Pusat Litbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan menyatakan bahwa yang disasar dalam moderasi beragama adalah sikap, cara pandang maupun tindakan pemeluk agama yang ekstrim, bukan agamanya. Moderasi beragama berlaku bagi setiap pemeluk agama, yang memungkinkan berkurangnya kekerasan dan meningkatkan harmoni dalam hidup beragama.
Menurutnya menjadi moderat bukan berarti penganut agama menggadaikan ajaran agamanya sehingga terlalu liberal atau sebaliknya bersikap kompromis, melainkan seharusnya tetap teguh terhadap ajaran agama yang dianutnya dan sikap saling menghormati agama orang lain.
Pemaparan materi berikutnya oleh Prof. Paul Martens dari Departement of Religion Baylor University Texas Amerika Serikat. Sebagai narasumber moderasi, Prof Paul nampak lebih menekankan kepada sikap keberagamaan para pemeluknya, di mana terdapat fenomena ekstrim kanan dan ekstrim kiri di Amerika yang mengharuskan adanya moderasi dalam keberagamaan. Ekstrim kanan diketahui sebagai pemahaman beragama yang berlebihan dan kaku sehingga mudah menyalahkan bahkan mengkafirkan orang lain. Sedangkan ekstrim kiri merupakan pemahaman tentang kebebasan, kapitalisme, atau sosialisme yang berlebihan sehingga mengakibatkan kekacauan. Terdapatnya beberapa kelompok di Amerika yang melakukan kekerasan melahirkan beberapa diagnosa penyebab sekaligus solusinya. Dalam hal ini, menurut Paul, Pemerintah, studi sosial maupun analisa secara psikologis dapat berperan dalam mengurangi kekerasan di tengah masyarakat beragama. Intinya, moderasi merupakan salah satu solusi di mana pemeluk agama mampu bekerja sama dengan pemeluk agama lainnya, dan seharusnya pemeluk agama menjadi lebih baik daripada orang yang tidak memeluk agama.
Narasumber ketiga adalah Mowafg Abrahem Masuwd, PhD yang merupakan salah seorang dosen sekaligus peneliti studi Islam di Zawia University, Libya. Mowafg menyoroti tentang perbedaan kelompok beragama yang ada di Libya, dan menyebutkan tentang konsep moderasi Bin Mu’ammar yang menggarisbawahi tiga hal penting dalam moderasi, yaitu mengenal (knowledge/ma’rifah), memahami (acquaintance/at-ta’aruf), dan mengakui (acknowledgement/al-I’tirof). Perbedaan mazhab di antara ummat Islam di Libya harus difahami dalam suatu perspektif adanya persamaan (equality) di antara mazhab-mazhab ini, yaitu dalam suatu harmoni keimanan kepada Allah Swt.
Salah satu narasumber yang tidak kalah menariknya adalah Prof. Dicky Sofjan, MPP, M.A., Ph.D yang merupakan salah seorang peneliti studi Islam dari Univ. Gajah Mada Yogyakarta. Menurutnya, Moderasi beragama merupakan suatu potensi dalam kehidupan bersosial di Indonesia yang bukan hanya menjadi urusan pemerintah tetapi juga masyarakat. Beberapa prinsip dalam moderasi beragama hendaknya dapat senantiasa dipelihara, seperti berada dalam posisi pertengahan (Islam wasatiyyah), sikap seimbang dan adil, menghargai persamaan, toleransi, serta mengurangi pengelompokan sosial di tengah masyarakat. Dalam moderasi beragama, beliau menyarankan untuk berada di posisi pertengahan, maka sebaiknya dalam beragama dikembangkan budaya literasi beragama, pendidikan untuk masyarakat, pendalaman agama, berpikir kritis, serta ukhuwah dan harmoni keberagamaan.
Prof. Dicky juga menekankan beberapa hal penting dalam moderasi beragama di Indonesia, yaitu betapa Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan UUD 1945 sangat mengakomodir kehidupan ummat beragama. Untuk itu beberapa hal yang harus difokuskan dalam moderasi beragama yaitu pentingnya pendidikan dalam beragama, hubungan agama dan politik, serta hubungan antara pemerintah dan masyarakat yang dapat menjadikan moderasi beragama dapat direalisasikan.