Menanti si Buah Hati

Oleh : Arief Setiawan
Penghulu Ahli Pertama pada KUA Kec. Rangkasbitung Kab.Lebak

Memiliki keturunan adalah dambaan setiap pasangan suami istri. Kehadiran buah hati menghadirkan warna tersendiri bagi rumah tangga. Menambah semangat sang ayah untuk mencari rezeki, menegaskan sang istri akan statusnya sebagai seorang ibu. Yang kedudukannya sang Nabi lipatkan tiga tingkat lebih tinggi dari sang ayah untuk dimuliakan. “Ummuka, ummuka, ummuka, tsumma abuuka”. Sabdanya.

Kenapa kita mendambakan seorang buah hati? Banyak jawaban yang diberikan oleh pasangan suami istri atas pertanyaan ini. Melengkapi kebahagian, menambah semangat dalam mencari rezeki, ingin ada yang mengurusi di usia tua, ada juga yang menjawab karena berharap menerima tunjangan dari anak kelak di hari tua. Dan beragam jawaban lainnya.

Bagaimanakah Islam memandang keturunan? Sabda Rasulullah SAW : “Tatkala meninggal anak Adam, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara : 1. Sedekah jariah 2.Ilmu yang bermanfaat 3. Anak yang shalih yang mendoakannya”. Hadits ini mengisyaratkan bahwa keinginan seorang muslim untuk memiliki keturunan haruslah didasarkan pada poin ketiga yaitu ingin memiliki anak yang shalih yang kelak akan terus mengalirkan pahala baginya walau ia telah terbujur di liang kubur.  Kata shalih menjadi poin penting dalam sabda Nabi tersebut. Maka menjadi kewajiban suami dan istri untuk menjadikan anak yang kelak Allah titipkan pada keduanya menjadi anak yang shalih. Hitam putih anak tergantung pada kedua orangtuanya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Setiap anak terlahir dalam keadaan suci, kedua orang tuanyalah yang kemudian menjadikannya sebagai Yahudi, Nashroni atau Majusi”.

Bagaimanakah cara agar anak kita menjadi shalih atau shalihah? Banyak ikhtiar yang dapat kita lakukan, baik dari pendidikan formal ataupun non formal. Namun hal yang terpenting yang perlu kita ingat bahwa anak menyerap lebih kuat apa yang dia lihat daripada apa yang dia dengar. Berbuih kita menasihati anak dengan beragam kebaikan, tak akan berbekas jika tak dibarengi dengan keteladanan. Maka keshalihan kedua orang tua adalah hal utama yang perlu diperhatikan untuk menjadikan anak shalih dan shalihah.

Namun tak semua pasangan Allah takdirkan memiliki keturunan. Walau segala ikhtiar telah dijalani, namun tak kunjung jua hadir si buah hati.  Manusia hanya mampu berencana dan berdoa, Allah jualah yang menentukan hasil akhirnya. Dan tentu yang terbaiklah yang Ia gariskan. Firman-Nya : “Milik Allahlah kerajaan langit dan bumi. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia Menganugerahkan jenis laki-laki dan perempuan, dan menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui, Mahakuasa”. (Q.S.Asy-Syura :49-50) 

Kewajiban kita adalah menerima apa yang Allah gariskan. Karena cacian dan kekecewaan tidak akan merubah keadaan. Allah memberikan perumpamaan pada kisah perjalanan Nabi Musa dan Nabi Khidir alaihimassalaam.  Ketika mereka berjumpa dengan seorang anak kecil, kemudian Nabi Khidir tiba-tiba membunuh anak itu. Lihatlah penjelasan Nabi Khidir tentang alasan beliau melakukan itu. “Dan adapun anak muda itu, kedua orang tuanya mukmin, dan kami khawatir kalau dia akan memaksa kedua orang tuanya kepada kesesatan dan kekafiran”. (Q.S.Al-Kahfi : 80)

Tak kunjung hadirnya sang buah hati bisa jadi mengandung hikmah untuk kebaikan dunia dan akhirat kita. Kalaupun peluang aliran pahala dari anak solih tak mampu kita raih, masih ada dua jalan lain yang dapat kita maksimalkan untuk alirkan pahala walau nyawa telah tinggalkan raga : “shodaqotin jaariyatin, aw ‘ilmin yuntafa’u bihi.” Sedekah jariah dan ilmu yang bermanfaat.