KURIKULUM ANTITESIS
Ada yang menarik dari pernyataan (atau kebijakan?) Mendikbud berikut. “Kami mendorong para guru untuk tidak menyelesaikan semua materi dalam kurikulum. Yang paling penting adalah siswa masih terlibat dalam pembelajaran yang relevan seperti keterampilan hidup, kesehatan, dan empati”. Kutipan ini saya salin dari halaman berita di Sekertariat Negara dan juga dimuat berbagai media massa baik web maupun TV.
Tidak banyak pakar, politikus dan praktisi yang membahas pernyataan tersebut. Saya tidak tahu apakah banyak yang setuju, atau lebih banyak yang tidak setuju. Sepertinya isu ini tidak menguntungkan bagi para politisi untuk di-blowup. Mungkin juga isu ini kurang penting bagi pakar pendidikan di kampus-kampus karena tidak sesuai denga grand theory yang dianut. Diamnya para praktisi mungkin karena sudah bosan dengan perubahan yang tak berdampak. Para guru lebih sering mengatakan “Ganti menteri, ganti kurikuum. Yang lama belum tuntas, yang baru sudah mendesak”.
Menurut saya, ini penting untuk dibahas karena genting. Nyaris 96% satuan pendidikan tidak dapat menyelenggarakan pembelajaran reguler karena berada di zona kuning dan merah. Pada zona tersebut pembelajaran hanya dapat disajikan dengan pendekatan blended, atau daring penuh. Pada kondisi ini, paling untung hanya 50% waktu saja yang dapat dugunakan oleh satuan pendidikan dalam menyajikan proses pembelajaran. Selebihnya, peserta didik harus belajar secara mandiri di tempat tinggal masing-masing. Oleh karena itu tentu saja satuan pendidikan tidak bisa menyajikan pembelajaran dengan kurikulum regular. Saya memprediksi, hanya 50% rumusan kompetensi dasar yang dapat disajikan. Itu pun kalau pembelajaran disajikan dengan efektif dan efisien.
Solusinya adalah kebijakan seperti yang disampaikan oleh Mas Menteri di atas. Instansi penyelenggaran pendidikan setingkat pemerintah daerah kabupaten/kota, atau tingkat satuan pendidikan boleh menyajikan sebagian kurikulum. Kata Mas Menteri: Yang paling penting adalah siswa masih terlibat dalam pembelajaran yang relevan seperti keterampilan hidup, kesehatan, dan empati.
Bagi banyak orang, itu pernyataan aneh. Sebelumnya, Kurikulum Nasional bersifat Mastery. Seluruh peserta didik harus menyelesaikan semua kurikuum (dengan rincian kompetensi yang ada dalam rumusan Kompetensi Dasar (KD)) dan batas lulus tertentu (KKM). Bagi yang tidak dapat menyelesaikan kurikulum, maka tidak bisa memperleh ijazah. Tiba-tiba sekarang, guru tidak usah menyelesaikannya. Ini tentu tidak dapat dipahami dengan cara berpikir lama. Kita harus berpindah paradigma. Ini adalah sebuah antitesis.
Jadi apa yang dimaksud dengan “… mendorong para guru untuk tidak menyelesaikan semua materi dalam kurikulum”? Apakah guru boleh memilih-milih KD untuk diajarkan? Atau mengajarkan KD tidak sampai tuntas? Jawaban yang lebih baik adalah: Guru memilih KD substansial, namun pembelajaran disajikan secara mendalam dan kontekstual meyangkut pengetahuan, keterampilan hidup dan nilai-nilai kehidupan yang dialami siswa sehari-hari. Atau instansi pengelola pendidika/satuan pendidikan/guru membuat kurikulum yang relevan.
Pembelajaran seperti itu tidak bisa dilakukan apabila tidak mengubah paradigma. Menurut saya, konsep yang harus digunakan adalah “belajar untuk hidup dan kehidupan”; bukan belajar untuk lulus ujian melalui mengerjakan soal pilihan ganda semata. Pada paradigma alternatif ini peserta didik hanya dapat lulus dari sekolah apabila memiliki kompetensi untuk didup pada tingkatan tertentu sesuai dengan perkembangan usianya.
Target hasil belajar utama adalah, taat beribadah serta memiliki sikap mandiri, jurjur, persistent (ngotot/pantang menyerah), dan fleksibel. Menguasai pengetahuan substansial, bukan pengetahuan remeh temah yang tidak berdampak. Memahami konsep-konspes dasar yang dapat melandasi perkembangan intelektualitas untuk mempelajari konsep yang lebih tinggi. Memiliki keterampilan berpikir analitis, kritis dan kreatif. Memiliki kemampuan kolaborasi dan problem solving. Memiliki fisik yang sehat dan kuat. Dapat menggunakan peralatan yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Menguasai ICT untuk belajar dan berkomunikasi. Mas menteri sempat menyebutkan kompetensi 4C dalam beberapa kesempatan, yaitu collaboration (kerja bersama), communication (komunikasi), creativity (kreatifitas), critical thinking (berpikir kreatif). Itu adalah kompetensi Abad 21 yang harus menjadi kompetensi inti pada kurikulum “belajar untuk hidup dan kehidupan”.
Pada paradigma pendidikan tersebut materi ajar bukan target utama melainkan hanya jembatan saja. Artinya, apapun materi ajarnya, harus mengantarkan peserta didik untuk menguasai kompetensi tersebut. Dengan demikian, satuan pendidikan/guru dapat memilih tema materi menarik yang sesuai dengan muatan dan kondisi lokal. Bahkan, guru beberapa mata pelajaran dapat menyajikan pembelajaran tematik dengan tema terkini. Misalnya, tema utama pembelajaran adalah “Mengatasi Pandemi Covid 19”. Beberapa mata pelajaran digabungkan dalam rangka mengkaji tema tersebut.
Tentu saja strategi pembelajaran harus berbeda dari bisanya. Model pembelajaran yang diguakan adalah problem base, inquiry dan project base. Melalui model pembelajara tersebut peserta didik difasilitasi untuk belajar yang berawal dari masalah, kemudian melebar ke pencarian informasi untuk problem solving. Selanjutnya dapat disajikan projek. Kegiatan-kegiatan belajar seperti itu secara teoretis dapat membentuk watak, melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTs) dan melatih keterampilan brkomunkasi, merencanakan, menata keiatan, menyusun laporan, dan menkomunikasikannya dalam berbagai bentuk menggunakan ICT.
Tentu saja pembelajaran tersebut disesuaikan dengan tingkat perkembangan usia. Anak kelas 1 SD misalnya, memulai dari melakukan projek mengenai dirinya dan lingkungan keluargnya. Mereka dibimbing dari jarak jauh untuk menyebutkan nama dirinya, nama keluarganya, menggambar rumahnya, mengenalkan hewan peliharaannya, memvideokan teman-teamnnya, memoto kegiatan ibadah dirumah dan sejenisnya. Berbeda dengan kelas 10. Mereka melakukan proyek mengenai kegiatan sosial, politik dan ekonomi dan keagamaan di wilayah kelurahan atau kecamatan. Kemudian melakukan penelitian sain mengenai dampak kehidupan modern terhadap lingkungan.
Dalam paradigma belajar tersebut, apabila satuan pendidikan/guru masih memilih Kurikulum Nasional sebagai acuan, kaka satuan pendidikan/guru dapat memilih sebagian KD dari KD yang terdaftar. Apabila dalam setahun terdapat 10 Kompetensi Dasar (KD), maka guru harus memilih sebagian KD saja untuk disajikan. Kalau substansi KD besar-besar, maka dapat memilih 5 KD saja. Atau kalau dalam kasus KD substansi KD kurus maka dapat maka dapat memilih 6 atau 7 KD saja.
Lalu bagaimana cara memilih KD? Tentu saja beberap kirteri dapat diidentifikasi seperti kontkstual, up to date, mudah ditemui kaitannya dengan kehidupan lokal, berguna, lebih manarik dan memiliki kaitan dengan masa depan. Caranya, buatlah matriks ceklis pemetaan KD dengan kriteria tersebut. Pada kolom pertama dituluskan nomor dan rumusan setiap KD, kemudian di komom berikutnya cantumkan kriteria tersebut. Telaah satu per satu dan petakan terhadap kriteria. Rumusan yang memperoleh tanda ceklis pantas dipertimbangkan sebagai KD yang dipilah. Buatlah rengking dari KD yang mendapatkan ceklis terbanyak sampai yang palig sedkit.
Selanjutnya cobalah berkolaborasi dengan mata pelajaran lain. Cara ini banyak keuntungannya. Pertama mengajar bias berkolaborasi sehingga lebih ringan. Kedua waku bias digabungkan sehingga waktu belajar bertambah. Ketiga, mata pelajaran menjadi lebih sederhana. Dengan cara ini pembelajaran dapat dipangkas menjadi 50% sehingga memungkinkan untuk disajikan dengan pembelajaran blended atau fully online.
Gagasan ini merupakan alternatif solusi. Kurikulum dipangkas, namun harapanya hasil belajar meningkat. Ini aneh, namun dapat dilakukan. Perlu ada yang menginisiasi dan mencobanya. Namun demikian yang menjadi prasyarat adalah perubahan pola pikir. Dengan mengubah pola pikir maka sesuatu yang asing menjadi normal. Itulah yang dimaksud dengan new normal. Pernyataan Mas Menteri memang didedikasikan untuk era new normal.
Sumber:
- Bacaan: Inilah Perubahan Kebijakan Pendidikan Selama Masa Pandemi Covid-19 oleh Humas Sekretariat Kabinet Republic Indoneisa, dipublikasikan pada 15 Mei 2020, https://setkab.go.id/inilah-perubahan-kebijakan-pendidikan-selama-masa-pandemi-covid-19/
- Gabbar: https://prowritingaid.com/Antithesis, diambil 29-7-2020