Artikel
Ekoteologi dalam Perspektif Kurikulum Berbasis Cinta

Ekoteologi dalam Perspektif Kurikulum Berbasis Cinta

Oleh : Erna Sari Agusta, M.Pd
Guru pada MTs Negeri 28 Jakarta Timur

Krisis lingkungan hidup yang terjadi saat ini bukan hanya permasalahan ekologi, melainkan juga krisis spiritualitas dan moral. Eksploitasi alam, pencemaran, dan kerusakan ekosistem sering lahir dari pola pikir manusia yang memandang alam sekadar objek ekonomi tanpa mempertimbangkan nilai sakral di dalamnya. Untuk menjawab tantangan tersebut, dibutuhkan pendekatan pendidikan yang tidak hanya menekankan aspek kognitif, tetapi juga menyentuh sisi afektif dan spiritual siswa. Salah satu pendekatan yang relevan adalah ekoteologi yang dipadukan dengan kurikulum berbasis cinta.

Ekoteologi memandang bahwa alam adalah bagian dari ciptaan Tuhan yang harus dijaga, dihormati, dan dipelihara. Dalam perspektif Islam, hal ini tercermin dalam firman Allah bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi dengan tugas menjaga keseimbangan dan kelestarian alam. Dengan demikian, segala bentuk perusakan lingkungan berarti bentuk pengkhianatan terhadap amanah Ilahi. Ekoteologi tidak hanya membahas relasi manusia dengan Tuhan, tetapi juga menekankan pentingnya relasi manusia dengan alam. Relasi tersebut dibangun atas dasar cinta, kasih sayang, dan rasa tanggung jawab. Artinya, memelihara lingkungan bukan sekadar kewajiban moral, tetapi juga ibadah yang bernilai spiritual.

Kurikulum berbasis cinta adalah paradigma pendidikan yang menempatkan cinta sebagai fondasi utama proses belajar-mengajar. Dalam kurikulum berbasis cinta terdapat topik panca cinta yang mencakup cinta kepada Tuhan, diri sendiri dan sesama manusia, ilmu pengetahuan, dan alam semesta. Dengan kurikulum berbasis cinta, pendidikan tidak hanya dilihat sebagai transfer ilmu, melainkan juga proses pembentukan hati yang penuh kasih sayang, empati, dan kepedulian yang akan melahirkan perkataan dan perbuatan yang positif. Dalam praktiknya, kurikulum berbasis cinta mendorong guru untuk menghadirkan suasana belajar yang hangat, penuh perhatian, dan menumbuhkan kepedulian sosial maupun ekologis. Siswa dipandang bukan sekadar objek pembelajaran, melainkan subjek yang memiliki potensi untuk berkembang secara utuh baik akal, hati, dan tindakannya.

Mengintegrasikan ekoteologi dengan kurikulum berbasis cinta berarti menjadikan nilai-nilai cinta terhadap alam dan tanggung jawab ekologis sebagai bagian dari proses pembelajaran. Hal ini dapat diwujudkan dalam pembelajaran baik intrakurikuler maupun kokurikuler. Dalam pembelajaran intrakurikuler, guru menginternalisasi nilai-nilai spiritual dengan mengaitkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi kewajiban manusia untuk melarang berbuat kerusakan dan menjaga keseimbangan alam.

Guru juga dapat memperkuat kesadaran teologis siswa bahwa menjaga alam adalah bagian dari ibadah. Pembelajaran harus dirancang menggunakan pendekatan kolaboratif dimana pendidikan lingkungan tidak hanya menjadi tanggung jawab guru IPA, tetapi lintas mata pelajaran. Guru matematika dapat mengajak siswa menghitung data sampah harian, guru bahasa dapat mendorong siswa menulis cerpen atau puisi bertema lingkungan, sementara guru agama dapat menanamkan nilai spiritual dalam menjaga bumi dengan berpedoman pada akhlak Nabi. Dalam pembelajaran kokurikuler, siswa diajak membuat projek sederhana seperti bank sampah, hidroponik, atau penghijauan sekolah. Projek ini tidak hanya menumbuhkan keterampilan praktis, tetapi juga kesadaran bahwa menjaga alam adalah wujud cinta kepada ciptaan Tuhan.

Dalam penerapan kurikulum berbasis cinta, maka madrasah juga harus dapat membangun budaya ramah lingkungan dengan menekankan pembentukan budaya cinta lingkungan, seperti gerakan hemat energi, green school, zero waste, atau jum’at bersih. Dengan membiasakan hal ini, cinta kepada alam menjadi kebiasaan positif dalam kehidupan siswa.

Integrasi ekoteologi dengan kurikulum berbasis cinta sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) seperti: pendidikan berkualitas, konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab, penanganan perubahan iklim, serta melestarikan ekosistem daratan. Dengan pendekatan ini, madrasah bukan hanya mendidik siswa menjadi cerdas secara akademis, tetapi juga melahirkan generasi yang peduli, penuh cinta kasih, dan siap menjaga keberlanjutan bumi.

Ekoteologi dan kurikulum berbasis cinta merupakan solusi atas tantangan pendidikan di masa krisis ekologi. Dengan berangkat dari nilai spiritual dan moral yang diwujudkan dalam tindakan nyata yang penuh kasih sayang terhadap alam, maka kehidupan yang harmonis akan mudah terwujud. Jika diterapkan secara konsisten, penerapan ekoteologi berbasis kurikulum cinta ini akan melahirkan generasi madrasah yang bukan hanya berilmu, tetapi juga pemimpin bumi yang mencintai dan menjaga ciptaan Allah.

Editor : Ika Berdiati