Artikel
Budaya Flexing

Budaya Flexing

Oleh : Widya Sari Dewi
Guru pada MAN Bengkayang

Lagi viral banget nih, nge-post foto barang-barang mewah di sosmed? Mulai dari tas branded, mobil sport, sampai liburan ke luar negeri. Nah, ini nih yang kita sebut flexing. Tapi, kenapa sih orang-orang suka banget pamer kekayaan di dunia maya?

Flexing itu kayak gini nih, Sengaja nunjukkin ke orang lain kalau kita punya barang-barang mahal atau gaya hidup yang mewah. Tujuannya? Biar kelihatan keren, populer, atau sekadar pengen nge-trigger orang lain.

Dalam era digital ini, “flexing” udah jadi fenomena yang gak bisa dipandang sebelah mata. Kalau kamu sering scroll media sosial, pasti udah gak asing lagi dengan istilah ini. Flexing adalah cara orang-orang buat pamer atau menunjukkan kelebihan mereka, baik itu dari segi barang mahal, gaya hidup mewah, atau prestasi yang mengesankan.

Flexing bukanlah hal baru dalam sejarah manusia. Dulu, pameran status sosial sering dilakukan lewat acara-acara megah atau menunjukkan kekayaan melalui benda-benda berharga. Tapi sekarang, semua itu bisa dilihat langsung di layar ponsel kita. Mulai dari mobil sport, liburan ke destinasi eksotis, sampai makanan mahal, semua bisa jadi bahan flexing.

Dulu, pameran status sosial itu butuh usaha lebih. Kamu harus punya acara mewah atau barang-barang mahal buat bisa pamer. Sekarang? Semua bisa dilakukan lewat foto dan video di media sosial. Mobil mahal? Pamer. Liburan ke luar negeri? Pamer. Makan di restoran  fancy? Pamer lagi. Semuanya jadi bahan flexing yang bikin timeline kita penuh dengan pemandangan wow.

Dulu, pameran status sosial itu harus lewat acara super gede atau nunjukkin kekayaan lewat barang-barang yang harganya bikin keringat dingin. Tapi sekarang, semua itu bisa dilihat langsung di feed Instagram atau story TikTok. Mobil sport yang keren, liburan ke pantai eksotis, atau makanan mahal yang gak bisa kita bayangkan, semua itu bisa jadi bahan flexing yang bikin kita semua iri.

Ada banyak alasan kenapa orang suka flexing, nih, diantaranya, Pengen diakui, seperti orang sedanglomba, kita pengen jadi yang paling keren di antara teman-teman. Nutupin rasa insecure: Kadang, flexing jadi cara buat nutupin perasaan enggak percaya diri. Ikutan tren,  Ya iyalah, kalau semua orang lagi flexing, kita jadi ikutan pengen. Marketing diri,  Buat yang punya bisnis, flexing bisa jadi cara buat promosi produk atau jasa.

Apa sih yang sebenarnya terjadi di otak orang yang lagi flexing? Ternyata, ada beberapa faktor psikologis yang mendorong seseorang untuk flexing. Salah satunya adalah kebutuhan untuk merasa diterima dan dihargai oleh orang lain.

Flexing dan standar kecantikan: Flexing tidak cuma soal harta, tapi juga penampilan: Selain pamer harta, flexing juga seringkali dikaitkan dengan standar kecantikan yang tidak realistis. Banyak orang yang merasa harus punya tubuh ideal, wajah cantik,dan gaya hidup mewah untuk dianggap menarik.

Solusi mengatasi kebiasaan flexing. Bagaimana sih cara mengatasi kebiasaan flexing? Kalau kita merasa lagi keasyikan flexing. Coba deh untuk introspeksi diri. Tanyakan pada diri sendiri, apa sih yang sebenarnya kita cari dari flexing? Setelah itu, coba cari cara lain untuk mendapatkan kepuasan yang kita inginkan, misalnya dengan mengembangkan diri atau melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi orang lain.

Yang menarik dari budaya ini adalah bagaimana media sosial mempengaruhi cara kita pamer. Dulu, kita harus jadi orang kaya atau terkenal dulu baru bisa pamer. Sekarang, semua orang punya kesempatan yang sama buat menunjukkan sisi terbaik mereka, meski sebenarnya belum tentu sesuai kenyataan. Filter Instagram, misalnya, bisa bikin hidup sehari-hari kelihatan seperti film Hollywood.

Yang seru, flexing ini bisa bikin hidup kita kayak di film. Filter Instagram, misalnya, bikin semua hal kelihatan lebih wah daripada kenyataan. Jadi, meskipun kehidupan nyata kita lagi ribet, di media sosial kita bisa pamer seolah semuanya serba glamor.

Yang bikin flexing makin seru adalah teknologi. Filter dan editan foto bikin hidup kita kelihatan lebih glamour dari kenyataan. Jadi, walaupun kamu lagi makan mie instan di kosan, dengan sedikit editan, bisa kelihatan kayak makan di restoran bintang lima.

Tapi, flexing ini tidak selalu disambut positif. Ada yang bilang kalau flexing ini malah bikin orang lain merasa kurang atau iri. Di sisi lain, ada juga yang mikir kalau ini cuma cara orang buat mengekspresikan diri mereka, selama gak berlebihan dan tetap dalam batas wajar.

Meski kelihatan seru, flexing juga punya dampak negatif, diantaranya, dapat memicu perbandingan. Kita jadi gampang iri sama orang lain yang punya lebih banyak. Dapat meningkatkan tekanan.  Kita jadi merasa harus terus-terusan beli barang baru buat tetap terlihat kaya. Dapat merusak hubungan, Flexing yang berlebihan bisa bikin teman-teman jadi risih atau bahkan iri.

Yang pasti, flexing udah jadi bagian dari kehidupan digital kita. Kamu gak bisa melawan tren ini, tapi penting untuk tetap ingat bahwa kebahagiaan dan kepuasan sejati tidak cuma diukur dari seberapa banyak yang bisa kita pamerin. Nikmati aja perjalananmu, jadi diri sendiri, dan jangan sampe flexing bikin kamu lupa sama nilai-nilai penting dalam hidup.

Kenapa sih kita gampang terpengaruh sama postingan flexing? Ternyata, ada penjelasan ilmiahnya. Flexing itu bisa mengaktifkan bagian otak yang berhubungan dengan penghargaan dan status sosial. Makanya, kita jadi merasa senang dan puas saat berhasil mendapatkan banyak like dan komentar positif.

Yang penting, flexing udah jadi bagian dari gaya hidup modern. Kita tidak bisa hindarin pamer, tapi yang penting adalah cara kamu menanggapinya. Jangan sampai flexing bikin kita lupa sama hal-hal penting dalam hidup. Nikmati aja perjalananmu sendiri, tanpa harus bandingin sama orang lain. Toh, yang utama adalah jadi diri sendiri dan bahagia dengan apa yang ada.

Tapi satu hal yang pasti, flexing udah jadi bagian dari budaya modern yang tidak bisa dihindari. Mungkin kamu gak bakal bisa lari dari pamer, tapi yang penting adalah cara kita menanggapinya. Jangan sampai flexing bikin kita jadi lupa dengan nilai-nilai penting lainnya dalam hidup. Yang terpenting adalah tetap jadi diri sendiri dan menikmati perjalanan kita tanpa perlu banding-bandingkan  dengan orang lain.

Flexing itu fenomena yang menarik untuk dipelajari. Meski terlihat sederhana, ternyata ada banyak faktor psikologis dan sosial yang mempengaruhinya. Yang penting, kita harus bisa membedakan mana flexing yang sehat dan mana yang berlebihan. Jangan sampai kita terjebak dalam perlombaan untuk terlihat lebih baik daripada orang lain.

Tips untuk tidak flexing diantaranya, Jangan terpengaruh, Kita bisa ingat, kebahagiaan itu bukan tentang punya banyak barang, tapi tentang menikmati hidup bersama orang-orang yang kita sayang. Kita bisa fokus pada diri sendiri, misalnya daripada sibuk membandingkan diri dengan orang lain, lebih baik fokus pada pengembangan diri dan pencapaian pribadi. Dan kitab bisa bijak menggunakan media sosial. Kita jangan terlalu sering melihat postingan flexing, karena bisa bikin kita jadi enggak nyaman.

Yuk, kita jadi diri sendiri dan nikmati hidup dengan cara kita masing-masing!

Editor : Ika Berdiati