Artikel
Awas, Generasi Literasi Punah!

Awas, Generasi Literasi Punah!

Oleh Ahmad Hanapiyah, M.Pd.
Guru Bahasa Indonesia pada MTs Negeri 2 Tangerang

Indonesia mempunyai bonus demografi pada tahun 2045, sehingga disebut generasi emas oleh para ahli. Siapakah generasi itu? Tidak  lain adalah generasi saat ini yang duduk di bangku sekolah-kuliah. Kelak, di tahun 2045 mereka menjadi angkatan produktif yang akan mengisi pembangunan negeri. Namun karena pandemi Covid-19 melanda saat ini, mereka terhenti belajar di sekolah dan harus belajar secara jarak jauh dengan banyak kendala. Padahal, mereka harus menguasai kecakapan pembelajaran abad 21 di era revolusi industri 4.0. seperti literasi dan numerasi sebagai bekal menjadi generasi emas nanti. Jika saat ini mereka tidak dibimbing secara intensif, kita akan kehilangan satu generasi emas ini. Apakah kita akan membiarkan mereka “punah”? Tentu tidak! Lalu, bagaimana upaya kita dalam menyiapkan generasi literasi?

Pendidikan pada Abad 21 merupakan pendidikan yang mengintegrasikan antara kecakapan pengetahuan, keterampilan, dan sikap, serta penguasaan terhadap Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Kecakapan tersebut dapat dikembangkan melalui berbagai model kegiatan pembelajaran berbasis pada aktivitas yang sesuai dengan karakteristik kompetensi dan materi pembelajaran. Kecakapan Abad 21 yang tercakup dalam kecakapan pengetahuan, keterampilan dan sikap serta penguasaan tik dapat dikembangkan melalui: (1) kecakapan berpikir kritis dan pemecahan masalah; (2) kecakapan berkomunikasi; (3) kecakapan kreatifitas dan inovasi; dan (4) kecakapan kolaborasi. Semua kecakapan tersebut diawali dengan kemampuan berliterasi yang baik. Namun, fakta berbicara berbeda dari semua harapan tersebut. Hasil studi internasional menggambarkan kondisi prihatin tentang prestasi literasi membaca, matematika, dan sains siswa sekolah berusia 15 tahun dalam Programme for International Student Assessment (PISA) yang diselenggarakan oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). Peringkat siswa negara kita masih rendah daripada negara-negara lain di dunia yaitu berada di posisi 71 dari 78 negara pada tahun 2018. Posisi ini bahkan menurun dari tahun-tahun sebelumnya sejak tahun 2000. Sebagai data perbandingan, mari kita periksa grafik berikut!

Nah, ketika negara kita bersiap-siap menghadapi tantangan PISA melalui rencana Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) 2021 dan  menyiapkan pembelajaran abad 21 menuju generasi emas, tiba-tiba pandemi Covid-19 menghantam negara-negara, termasuk Indonesia. Duh, nestapa berkepanjangan melanda, memorak-porandakan segi-segi ekonomi, hingga tatanan sosial! Lalu, bagaimana nasib pendidikan kita? Ya, siswa dirumahkan, bersama Bapak Ibunya yang juga dirumahkan oleh perusahaan yang bangkrut. Jadilah siswa dan guru belajar dari rumah (BDR) dalam program pembelajaran jarak jauh (PJJ) baik secara daring dan luring. Tujuannya baik: mencegah penularan virus antarsiswa, sesuai amanat surat edaran Mendikbud  bahwa keselamatan adalah utama, tapi pembelajaran harus terus berlangsung. Akhirnya, sejak Maret 2020 hingga kini siswa belajar dalam kelas virtual. Ini pilihan terbaik di masa darurat. Apakah mereka jenuh? Ya, curhatan siswa mengatakan begitu. Belum lagi mereka terkendala sinyal, tidak punya kuota, interaksi terbatas, pola guru mengajar yang monoton, serta pemahaman materi yang kurang. Kemdikbud dan Kemenag menangkap kegelisahan ini dengan pengucuran dana kuota internet bagi siswa, mahasiswa, guru, dan dosen dengan jumlah dana hampir mencapai 9 triliun. Jika kendala teknis tersebut sudah teratasi, apakah proses pembelajaran akan meningkat? Gurulah yang tampil menjawab tantangan ini. Mari kita obrolkan sambil menyeruput jahe merah penambah stamina!

Dua Masalah Besar PJJ: Hilangnya Ruh Pendidkan dan Literasi
Ada dua masalah besar yang harus diselesaikan pada masa PJJ ini yaitu menyelamatkan ruh pendidikan dan menyelamatkan generasi literasi. Ruh pendidikan yang dimaksud adalah ruh yang memberi napas, memberi semangat, serta membentuk akhlak siswa, guru, kepala madrasah, serta orang tua. Ruh pendidikan ini telah kita rasakan pada pembelajaran di kelas pada masa normal. Apakah ruh pendidikan ini dapat Anda rasakan pada masa PJJ ini? Antara ada dan tiada, seperti kata salah seorang peserta bimtek implementasi kurikulum madrasah beberapa waktu lalu se-Jawa, Bali, Sumatera, Sulawesi dalam webinar. Upaya mengatasi masalah itu dengan membentuk ruang komunikasi intensif siswa, guru, dan paguyuban orang tua. Selain itu, perlu dibentuk ruang spiritual, dan ruang emosi. Di madrasah, pembiasaan baik seperti salat duha, tadarus, membaca senyap, aktivitas sosial membantu orang tua, banyak dilakukan di masa PJJ ini. Selain itu, ruang emosi siswa juga perlu dibentuk dengan memberi umpan pembelajaran bernuansa sosial emosi. Tulisan kesedihan, kegundahan, hingga rasa empati menjadi ruang ekspresi mereka yang tersumbat karena pandemi dan muatkan ke instagram, wattpad, facebook. Untuk membentuk kedekatan siswa dan guru, adakan video conference E-learning, video call, zoom meeting, google meet, atau aplikasi lain. Dengan upaya ini, guru telah menerapkan pembentukan spiritual dan akhlak baik, literasi membaca, menulis, kerja sama, dan pembelajaran literasi informasi. Harapannya, terbentuk suasana nyaman, tidak mekanis, dan perlahan-lahan ruh pendidikan terasa dalam PJJ.

Apakah dengan terasanya ruh pendidikan, pembelajaran jarak jauh dalam rangka membentuk dasar mental generasi emas 2045 dapat dikatakan berhasil? Belum! Masih sangat banyak komponen yang harus disiapkan secara bertahap dan bertahun-tahun. Setelah menyiapkan siswa dengan bekal spiritual-sosial-emosi itu, mari kita penuhi koper mentalnya dengan kecakapan literasi. Apakah literasi lebih penting daripada kecakapan berpikir kritis dan pemecahan masalah, kreativitas dan inovasi, serta kolaborasi? Seperti yang diuraikan sebelumnya, literasi merupakan kunci pembuka pengetahuan dan teknologi dalam proses pembelajaran. Apa jadinya, jika Anda kehilangan kunci motor atau mobil ketika akan berangkat kerja? Begitu pulalah dengan literasi, yang menjadi kunci pembuka agar siswa dapat memahami isi pokok informasi, memahami strukturnya, menangkap tujuan dan pesan utama informasi, serta berbagai keterampilan lainnya baik secara lisan maupun tertulis yang dapat diterapkan dalam semua mata pelajaran.

Upaya Pembelajaran Literasi
Lalu, tugas siapakah pembimbing literasi dan bagaimana upayanya? Semua komponen bangsa ini harus bergerak bersama dalam gerbong literasi. Guru yang menjadi penumpang gerbong pertama bertanggung jawab untuk membimbing kecakapan literasi ini. Secara teknis, guru Bahasa Indonesia menjadi juru kunci literasi membaca, guru Matematika sebagai juru kunci numerasi, serta guru IPA sebagai kuncen Sains. Secara khusus, guru Matematika membekali siswa dengan aljabar, statistika, dan berbagai konsep lain dengan moto Matematika dalam kehidupan. Begitu pula guru Sains memberi jurus menyelamatkan lingkungan, pemanasan global, dan isu-isu lain. Bagaimana dengan guru Bahasa Indonesia? Ia memberi bekal dan jurus kepada siswa dan guru. Guru diajari guru? Jeruk makan jeruk? Ya, tidak apa-apa, ini konsep simbiosis mutualisme. Kita juga tak perlu berdebat, karena kecakapan literasi ini menjadi kewajiban semua guru untuk menerapkannya dalam pembelajaran.

Guru menjadi lokomotif gerakan literasi madrasah. Ia koki yang menyajikan bacaan bergizi. Ia menjadi koki yang cantik dan genit melayani siswa agar termotivasi membaca. Hidangkan sarapan pagi dalam waktu pembiasaan membaca buku fiksi dan nonfiksi tentang perjalanan ke bulan, ada apa dengan bumi, tips menjaga kesehatan dari virus, dan sebagainya. Pembiasaan ini untuk menumbuhkan kecintaan anak kepada buku. Kalau sudah cinta, siswa tidak akan merasa berat untuk membaca tamat satu buku tebal novel sastra atau buku iptek popular. Lebih sulit membiasakan anak membaca buku daripada handpone padahal sumber utama ilmu ada di buku, yang belakangan ditranfer secara digital ke dunia internet. Selain pembiasaan itu, dalam pembelajaran guru dapat mengajari siswa tentang sikap yang baik dalam membaca, teknik memilih bacaan, dan berbagai teknik membaca cepat, membaca mendalam, menangkap gagasan utama, memahami tabel, grafik, teks panjang, serta menelaah struktur teks, menentukan ciri-ciri teks, membedakan fakta, opini, hoaks, atau teknik meringkas bacaan.

Siswa juga belajar untuk menulis paragraf yang padu, judul, kerangka teks, berbagai jenis teks, laporan, makalah, majalah, buku,  serta mengubah bentuk teks menjadi berbagai moda: poster, grafis, tabel, grafik, kolase foto, video, film. Ajari juga siswa untuk berlatih presentasi dengan power point, laporan, atau makalah, muhadoroh, berpidato, berceramah, bercerita, monolog, dialog, drama, sosiodrama, stand up comedy,  podcast, diskusi, debat, seminar, video conference E-Elearning Madrasah, zoom meeting, google meeting, webinar. Berbagai jenis teks dan moda komunikasi itu hadir pada abad ini dan telah dekat dengan siswa. Intinya, pembelajaran literasi tersebut membelajarkan siswa untuk memiliki kecakapan komunikasi berupa keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis baik jenis fiksi, nonfiksi, maupun materi yang diterapkan pada berbagai mata pelajaran dipadukan dalam model pembelajaran aktif sesuai dengan karakter teks atau materi pelajaran. Pada masa pembelajaran jarak jauh ini, guru dapat menyesuaikan berbagai bentuk pembelajaran berbasis teks tersebut dengan pemanfaatan teknologi informasi sesuai kondisi dan situasi siswa.

Harapan Generasi Emas
Lalu, bagaimana kondisi kemampuan membaca saat ini? “Hasilnya, dari interval 200-800, rata-ratanya 489. Artinya tingkat kemampuan anak Indonesia sebesar 61%. Dalam satu kabupaten diambil maksimal 10 sekolah. Penelitian ini lebih komprehensif dari hasil penelitian PISA yang hanya mengambil sampel dari 2 kabupaten saja di Indonesia, di mana kita memperoleh angka 397,” kata Dadang di Kantor Kemendikbud, Jakarta, Kamis 25 April 2019. Ia menyatakan, perbaikan yang sedang dibenahi antara lain terkait kualitas teks dan ketersediaan buku bacaan di sekolah. Menurut dia, para siswa Indonesia harus mulai dikenalkan dengan teks yang lebih kompleks yang membutuhkan penalaran tinggi. Selain itu juga perlu disediakan bahan bacaan yang lebih eksploratif dan argumentatif. “Karena kelemahan anak-anak kita ada di sana, yaitu tidak terbiasa membaca data, peta, grafik, teks panjang, dan sebagainya. Oleh karena itu, ini harus dimulai,” katanya. Hasil penelitian Kemdikbud ini menjadi data pembanding hasil PISA dan kabar optimis bagi kita dalam membangun budaya literasi siswa. Guru berbagai mata pelajaran saatnya bangkit bersatu membangun budaya literasi di masa PJJ ini, walau berjarak tetap bergerak!

Berbagai upaya bimbingan literasi tersebut merupakan upaya agar siswa memiliki kecakapan abad 21 yaitu komunikasi, berpikir kritis dan memecahkan masalah, kreatif dan inovatif, serta dapat berkolaborasi walaupun dalam masa pandemi. Pihak pimpinan madrasah/sekolah memberikan dukungan penyediaan wifi sekolah, dan kuota internet selama masa pandemi. Pimpinan madrasah juga perlu mengarahkan guru untuk terus mengup-grade kompetensinya dengan mengikuti berbagai webinar pembelajaran jarak jauh. Pihak orang tua dapat berperan sebagai pembimbing dan penasihat bagi anaknya. Di luar ketiga pihak itu, lembaga pengayom pendidikan harus pro-aktif membina institusi pendidikan melalui pengadaan atau pengordinasian bimtek pembelajaran jarak jauh, evaluasi implementasi kurikulum darurat, serta apreasiasi kepada institusi. Dengan berbagai kolaborasi tersebut, generasi literasi pada masa darurat pandemi ini insyaallah terselamatkan, tidak akan punah. Ia akan memiliki bekal dasar kecakapan abad 21 dan akhlak baik. Dua puluh lima tahun kemudian, insyaallah anak-anak generasi emas ini telah memegang boarding pass dengan flight number GE-2045. Di antara awan-awan, ia memejamkan mata sejenak lalu membaca Al-fatihah untuk guru-gurunya. Anak yang saleh, cendikia, dan literat. Amin.***