Artikel
Anak-anak Selalu Benar Kecuali Contohnya Salah

Anak-anak Selalu Benar Kecuali Contohnya Salah

Oleh : Asip Suryadi
Widyaiswara BDK Jakarta

Kita sering mendengar gunjingan: Pantaslah anak-anaknya malas, karena ayahnya juga malas. Itu mungkin benar. Tapi apakah anak-anak dilahirkan dengan gen pemalas dari ayahnya? Ataukah watak-watak tersebut terbentuk akibat interaksi sosial dalam keluarga, teman-teman sekitar rumah dan sekolah?

Mari kita ingat-ingat lagi tokoh Tarzan dalam film Tarzan of The Apes, atau tokoh Mowgli dalam film Jungle Book. Kedua tokoh tersebut adalah anak manusia namun karena diasuh oleh hewan maka mereka bertingkah dan berbahasa seperti hewan. Cerita ini tentu saja sebuah fiksi, namun dikembangkan dari teori psikologi dan sosiologi bahwa karakter manusia dibentuk melalui lingkungan. Dalam Islam ada hadis riwayah Bukhari Muslim yang menjelas bahwa setiap anak lahir dalam fitrahnya, tergantung orang tuanya mau dijadikan Yahudi, Majusi atau Nasrani. 

Fitrah yang dimaksud adalah kecenderungan untuk menjadi makhluk Allah yang baik. Artinya setiap anak manusia lahir membawa gen dari orang tuanya. Tentu tidak mungkin Allah memberikan gen buruk kepada makhluknya. Gen itulah yang merupakan potensi kemanusiaan dari setiap anak. Selanjutnya potensi tersebut akan berkembang ditentukan oleh lingkungan.

Tarzan dan Mowgli memiliki gen manusia yang berpotensi untuk dapat berdiri dan berbicara. Tapi karena Tarzan dibesarkan oleh kera, maka ia bergerak berayun di pohon seperti kera. Karena Mowgli diasuh oleh keluarga serigala maka bergerak dengan cara merangkak dan berbahasa seperti serigala.

Anak-anak kita sering kali berperilaku buruk. Dari mana belajar berperilaku buruk? Tentu saja dari lingkungannya. Kalau di lingkungan sekitarnya tidak ada yang berkata kasar, maka anak-anak tak akan berkata kasar. Kalau orang-orang di sekitarnya tidak membuang sampah sembarangan, maka anak-anak tak akan membuang sampah sembarangan. 

Kalau orang di sekitarnya tidak membaca, maka ia juga tidak akan membaca. Kalau orang-orang di sekitarnya nongkrong di HP maka ia akan ikut nongkrong di HP. Makanya sebuah prinsip dalam pembentukan watak mengatakan bahwa “Tidak ada anak yang salah, yang salah adalah contohnya”. Jadi kita dapat mengatakan bahwa watak dan perilaku anak adalah cerminan lingkungannya.

Lalu bagaimana cara membentuk watak dan perilaku anak-anak? Tentu saja dengan membangun lingkungan yang baik. Banyak alternatif langkah yang dapat dilakukan. Mari kita coba langkah berikut. Langkah pertama membuat memahamkan makna dan manfaat dari perilaku. Kedua membangun komitmen bersama untuk memperbaiki perilaku tertentu dan perangkatnya. 

Kalau diperlukan menyepakati sanksi tertentu. Ketiga, orang tua/guru memberi contoh baik yang tidak pernah berhenti. Keempat orang tua/guru memaksa anak-anak untuk mengikuti contoh dan menjalankan komitmen. Kelima orang tua/guru tidak bosan menegur dan membetulkan apabila anak-anak melanggar kesepakatan. Keenam, orang tua/guru memantau terus proses pembiasaan dan internalisasi.

Beberapa hal yang harus dicatat. Dalam sebuah lingkungan seperti keluarga dan sekolah, contoh atau teladan tidak cukup seorang, melainkan harus keroyokan. Dalam keluarga, tak cukup contohnya hanya ayahnya, tapi juga ibu dan kakaknya. Apalagi dalam sebuah sekolah/madrasah, semua komponen dimulai dari kepala sampai Satpam harus menjadi teladan. Selanjutnya para teladan harus konsisten dan tak pernah bosan. Ketika para teladan tidak konsisten atau berhenti, maka pembentukan watak akan berakhir pula. Penting juga menggunakan sistem reward (penghargaan) dan punishment (sanksi).

Banyak teman saya yang meragukan langkah tersebut: It will not work anyway. Namun saya lihat alasan mereka kebanyakan karena mereka belum melakukan. Ada juga yang melakukan namun kurang konsisten. Ada juga yang mengatakan, “Orang Indonesia memang budayanya begitu”.

Alasan yang terakhir di atas menyakiti hati nurani bangsa. Menurut saya watak orang Indonesia mudah dibentuk. Mari kita buktikan. Bagi yang pernah berkunjung ke sebuah negara dengan karakter kolektif yang baik, misalnya yang paling dekat Singapura dapat melihatnya. Ketika kita masuk ke lingkungan yang serba bersih, teratur dan tertib maka kita akan ikut. 

Orang Indonesia yang biasanya membuang puntung rokok sembarangan tidak akan berani, karena akan terkena sanksi. Aparat Singapura pernah menjatuhkan denda sebesar S$19.800 (Rp. 232.541.651,63) kepada seorang perokok karena membuang puntung rokok dari jendela apartemennya. Kalau orang Indonesia yang biasa membuang puntung rokok sembarangan tinggal di Singapura selama 3-6 bulan maka wataknya akan terbentuk. Mungkin dia akan menjadi pelopor bagi teman-temannya Ketika pulang ke bumi pertiwi.

Mari kita lihat contoh sukses lainnya. Saya ingat sebuah reality show di Channel 4, sebuah siaran TV di Inggris pada tahun 2004 sampai 2008 yang bertajuk Supernanny. Reality show ini pernah ditayangkan di salah satu TV swasta nasional kita. Dalam serial ini Jo Frost, membantu keluarga yang berperilaku abnormal. Misalnya dalam keluarga tersebut anak-anak berperilaku kasar. 

Jo Frost membantu keluarga tersebut sampai berhasil merehabilitasi keluarga tersebut. Jo Frost telah berhasil menolong puluhan mungkin ratusan keluarga. Kita masih bisa melihat serial tersebut di YouTube dengan kata kunci supernanny. Reality show ini memberi contoh pada kita bahwa perilaku anak-anak dapat dibentuk dan direhabilitasi. Jadi tidak benar kalau ada anak yang berperilaku buruk maka kita mengatakan “Sudahlah, itu memang wataknya”.

Contoh yang lebih ekstrim, ada sebuah serial televisi dengan tajuk Dog Whisperer with Cesar Millan. Cesar menerima konsultasi dan terapi rehabilitasi perilaku anjing yang tidak diinginkan. Dengan bimbingan Cesar memiliki anjing dapat merehabilitasi anjingnya dalam waktu beberapa bulan secara beragam. Kalau Anda ingin melihatnya, reality show tersebut masih bisa ditonton di YouTube dengan kata kunci Cesar Millan. Dengan contoh ini kita dapat mengatakan “Watak anjing saja bisa dibentuk, apalagi manusia”.

Pembentukan watak dan perilaku tentu lebih mudah di usia anak-anak. Pembentukan atau rehabilitasi watak dan perilaku pada orang yang sudah dewasa membutuhkan upaya keras dan harus ada kehendak/niat yang kuat pada dari dirinya. Kalau tidak, maka tipis harapan untuk membentuk atau merehabilitasinya. Kehendak dan niat berubah pada orang dewasa kadang-kadang harus menunggu hidayah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Seperti yang sudah kita bahas di artikel sebelumnya, pembentukan watak dan perilaku lebih penting dari pengetahuan dan keterampilan. Tidak ada alasan bagi keluarga dan satuan pendidikan di semua tingkatan untuk mengabaikan pekerjaan ini. Dengan demikian saya mengajak kepada setiap keluarga untuk dengan sengaja membangun lingkungan keluarga yang memiliki komitmen untuk membentuk watak dan perilaku akhlakul karimah. 

Demikian juga untuk satuan pendidikan, mari kita merumuskan visi pendidikan yang mengarusutamakan pembentukan watak dan perilaku akhlakul karimah. Selanjutnya keluarga dan satuan pendidikan bersinergi dengan tujuan yang sama.

Mari kita meningkatkan keyakinan bahwa kita bisa melakukannya dengan komitmen dan keteladanan (contoh). Semua perilaku anak-anak adalah cerminan dari perilaku keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jangan harap anak-anak kita disiplin apabila lingkungan di sekitarnya tidak memperlihatkan perilakun disiplin. Jangan salahkan anak-anak keranjingan HP, karena dia hanya mencontoh anggota keluarga dan lingkungan di sekitarnya. Jadi watak dan perilaku mereka akan berkembang sesuai dengan contoh yang mereka lihat. Anak-anak kita akan selalu memiliki watak dan perilaku yang baik, kecuali contohnya yang salah.

Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Anak-anak Selalu Benar Kecuali Contohnya Salah”, Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/asip02449/65b638e5de948f731431fc22/anak-anak-selalu-benar-kecuali-contohnya-salah?page=all#section1

Kreator: Asip Suryadi