Artikel
Refleksi Zona Integritas

Refleksi Zona Integritas

Perjalanan hidup manusia punya banyak kisah, baik suka maupun duka. Rasa suka dan duka tercipta dari gerakan kehidupan yang seringkali dibatasi oleh kepercayaan-kepercayaan atau keyakinan keliru atas kemampuan dirinya, membiarkan kemampuannya dibatasi oleh rantai-rantai yang sebenarnya bisa diputus. Diri terpenjara dalam pikiran dan keyakinan yang keliru. Mengejawantahkan rasa percaya diri pada kemampuan yang dimiliki menjadi energi untuk meniti hidup.

Sebaliknya ada juga yang over confident, tidak dapat mengukur kemampuannya melakukan sesuatu diluar kemampuan diri, mengkamuflase penampilan yang bukan dirinya. Alih-alih rasa suka yang didapat, malah duka dan mencelakakan karena kebohongannya. Citra diri supaya tampak tampan atau cantik yang seolah akan memposisikan dirinya menjadi superior di antara yang lain, memaksakan penampilan yang tidak biasa pada wilayah yang tampak pada bagian wajah atau depan. Bagian-bagian tertentu yang dipandang akan menurunkan kredibilitasnya ditutupi dan dinihilkan.

Rasa superioritas seringkali meninabobokan untuk tidak bersikap komprehensif dalam menampilkan kesatuan utuh diri hanya satu aspek saja. Cermin kejujuran menggambarkan secara utuh bagian tubuh tidak hanya dari tampak depan, tapi seluruh sudut bagian tubuh tidak hanya belakang, tetapi samping kanan kiri bahkan atas bawah.

Kecenderungan pencitraan, relatif melawan cermin kejujuran. Perumpamaan pada sebuah organisasi, mereka cenderung mempercantik ruang bagian depan di kantornya lobby atau ruang tamu. Sedangkan ruang tengah atau ruang belakang kantornya terlupakan atau memang tidak dibenahi. Idealnya pembangunan dan pembenahan itu bersifat totalitas bahkan kontinuitas maintenance dan pengawasannya. Nilai 96 keatas saja belum cukup, jika tidak didukung dengan fakta, data, dan realita, sehingga hal itu sudah membudaya.

Rasa superior atau ego sektoral bisa saja melakukan perilaku “buruk rupa cermin dibelah”, ketika bercermin bayangan yang ditampilkan tidak sesuai dengan yang diharapkan, bisa juga menyalahkan cermin.  Sikap itu sebagai sebuah mental blok yang dapat menghambat kesuksesan diri dan organisasi dapat memojokan orang lain yang menjadi tertuduh atas ketidaksadarannya.

Paling tidak ada tiga macam mental blok, yaitu: Pertama, Blime. Ketika mengalami kegagalan seseorang tidak segera mengintrospeksi diri melainkan akan mengatakan: “gara-gara sistem yang tidak benar maka saya mengalami kegagalan”. Mental blok blime ini yaitu  menyalahkan keadaan dan orang lain atas ketidaksuksesan dirinya. Kedua, Excuse, contohnya adalah ungkapan: ”saya ini kan orang kampung yang miskin dan tidak pintar, sulit rasanya untuk menjadi pejabat”.  Mental blok jenis ini merendahkan kemampuan diri sendiri. Ketiga, Justify. Ungkapan mental blok ini misalnya, ”ya wajar saja dia berhasil,  dia kan anak pejabat!”. Mental blok semacam ini mengklaim dan mengadili secara sepihak. (Bandingkan dengan  Endi K.  Prihadhi, 2009:63-65)   Blame, Excuse, dan Justify sepeti itu merugikan dan hanya akan membuat dinding bernama mental blok untuk menahan kemampuan kita.

Sikap menyalahkan atas kekurangan diri pada di luar dirinya saja sudah termasuk perbuatan negatif, apalagi melakukan stigmatisasi negatif terhadap cermin dan seluruh penopangnya. Cerminnya dipecah atau dihilangkan. Mereka yang punya jaringan dan kekuatan membangun kekuatan baru dengan membuat cermin yang memaksakan seolah-olah menjadi cantik atau tampan, sehingga membuatnya membuang peluang untuk menciptakan keunggulan baru dari potensi yang dimiliki.

Jalan hidup terbaik dan terkuat manusia adalah jalan hidup berdasarkan fitrah bukan berdasarkan emosi-emosi dan dorongan-dorongan individual dan sosial. Manusia yang terbentuk dari dua unsur, unsur tanah liat dan unsur ruh, kedua unsur jasmaniah dan rohaniahnya hadir secara berbarengan. Tarik-menarik antara dua unsur dalam hidup manusia  inilah yang menimbulkan ketimpangan atau ketidakseimbangan.

Proses perkembangan ketika memulai hidupnya di dunia, sejak seorang bayi manusia minum air susu ibunya lalu diasuh dan dibesarkan oleh lingkungannya dalam bertingkah laku dan berkeyakinan akan dipengaruhi oleh segenap hiruk pikuk keduniaan yang menggiringnya pada kondisi penyimpangan, kelalaian dan keterlenaan. Kondisi ketakberdayaan dan tantangan hidup yang dapat membawanya pada ketidakseimbangan bahkan penyimpangan membutuhkan sesuatu yang dapat membawa  manusia kembali kepada fitrahnya, maka Islam menjadi pembimbing dan memiliki syari’at untuk memecahkan masalah ketidakseimbangan tersebut.

Fokus perhatian manusia terhadap Allah (hati yang telah disinari cahaya Tauhid) yang menafikan semua bentuk syirik merupakan hakikat fitrah. Ketika manusia telah bermakrifat pada Allah baik sifat-sifat-Nya maupun af’al-Nya, niscaya totalitas hati tertuju dan menghadap hanya kepada agama Allah, ibadah secara utuh dan kemampuan menghidupkan rasa syukur kepada-Nya, rasa malu dan khusuk kepada Allah tercermin di dalam hati sehingga perjumpaan dengan Allah menjadi utuh inilah menjadi kesempurnaan fitrah.

            Tauhid memiliki celah-celah lubang yang dapat mengerogotinya, yaitu berupa syirik besar dan kecil. Jika syirik besar mewujud maka  seluruh cahaya fitrah akan padam. Dan wujud syirik kecil, seperti  berprilaku bukan karena Allah melainkan karena  cinta materi, pangkat  ataupun kedudukan dapat membekukan kegelapan dalam hati.  Lenyapnya cahaya tauhid dapat menimbulkan penyakit qolbu, seperti ujub, congkak, riya, dengki, hasud, sombong, dan lain sebagainya yang dapat menghilangkan kesadaran diri sebagai hamba Allah sehingga timbullah perebuatan kekuasaan dan pelanggaran terhadap perintah-Nya.

Cermin kejujuran menjalani fitrah apa adanya, sambil berusaha sekuat tenaga untuk berlomba dalam kebaikan dan kemanfaatan bersama. Menjadikan keselarasan antara hati, pikiran, perkataan dan perbuatan dengan peraturan. Semoga Zona Integritas (ZI) menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBK) menjadi cermin kejujuran kita. Mari berusaha bersama-sama mewujudkannya.