Artikel
Politik Nilai KKM, Disorientasi Pendidikan,  dan Generasi Karbitan

Politik Nilai KKM, Disorientasi Pendidikan, dan Generasi Karbitan

Retno Widyastuti
Guru pada MTs Negeri 22 Jakarta

Kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang diterapkan dalam kurikulum 2013 sebenarnya adalah target sekolah untuk pencapaian kompetensi peserta didiknya. Penetapan nilai KKM sendiri sudah ditentukan dengan kriteria: kompleksitas materi dan kompetensi yang harus dikuasai peserta didik, kemampuan awal rata-rata peserta didik (intake) dan daya dukung sekolah. Nilai KKM ini menjadi acuan dari pencapaian belajar peserta didik. Sebelum ada penetapan nilai KKM berdasarkan Kurikulum 2013. Penetapan nilai batas bahwa peserta didik memenuhi kriteria ketuntasan belajar dapat dilihat pada rapor yang melaporkan hasil belajar peserta didik.


Gambar 1. Format penentuan KKM

Pada rapor terbitan tahun 1980-an hingga 1990-an tertera keterangan angka skala nilai 1-10. Angka 1 artinya buruk sekali, angka 2 artinya buruk, angka 3 artinya kurang sekali, angka 4 artinya kurang, angka 5 artinya hampir cukup, angka 6 artinya cukup, angka 7 artinya lebih dari cukup, angka 8 artinya baik, angka 9 artinya baik sekali, dan angka 10 artinya istimewa.


Gambar 2. Raport kurikulum tahun 1990

Standar ketuntasan minimal pada saat itu sudah ditentukan oleh pemerintah di angka 6 yang artinya cukup. Pada masa itu diberikan pembedaan warna tinta pada angka. Angka enam ke atas dengan tinta hitam sedangkan angka lima ke bawah dengan tinta merah sebagai tanda peringatan bagi guru, peserta didik dan orang tua untuk memperhatikan kegiatan belajar peserta didik. Peserta didik yang dirapornya banyak angka merah dipastikan tidak naik kelas atau tidak lulus sekolah.

Penetapan nilai KKM pada kurikulum 2013 diserahkan kepada masing-masing sekolah, dalam pelaksanaannya membuat disorientasi sekolah, antara lain guru tidak biasa menetapkan batasan minimal di atas angka enam atau enam puluh pada skala nilai 10-100. Sedangkan pemerintah menggalakan kenaikan nilai ketuntasan belajar di atas enam puluh. Penetapan nilai KKM ini alih-alih untuk kepentingan peserta didik malah menjadi ajang prestise bagi sekolah dan pihak-pihak yang terkait. Prestise itu mencakup banyaknya peserta didik yang naik kelas dan lulus dengan nilai rerata memenuhi nilai KKM. Semakin tinggi penetapan nilai KKM menunjukkan kesuksesan sekolah tersebut menghasilkan lulusan yang cerdas dan sesuai harapan pemerintah. Dilain sisi peserta didik pun dipacu untuk memenuhi nilai KKM. Jika peserta didik tidak mencapai nilai KKM maka peserta didik itu harus melakukan remedial untuk mengejar kekurangannya hingga nilai KKM tercapai jika belum tercapai juga maka peserta didik diberikan tugas tambahan agar nilai KKM nya tercapai. Jika belum tercapai juga? Maka jawabannya adalah tidak mungkin tidak tercapai jika guru pengampu mata pelajaran mengulang kembali pelajaran yang belum tuntas dipelajari oleh peserta didik, karena begitulah secara teoritis dan konseptual yang menjadi latar belakang penetapan nilai KKM.

Namun apakah ketidaktuntasan belajar itu bisa dikejar dalam waktu terbatas? Dalam praktiknya untuk mengejar prestise, sekolah menaikan kelas seluruh peserta didik yang tidak mencapai nilai KKM dan meluluskan seratus persen peserta didiknya dengan nilai rapor memenuhi nilai KKM. Hal ini tidak menggambarkan kebijakan yang berdasarkan pertimbangan akademis (demi kepentingan pendidikan), menafikan adanya perbedaan diantara peserta didik dalam hal penguasaan pengetahuan, perilaku, motivasi, dan keterampilan. Pada akhirnya menjadi kebijakan yang berdasarkan pertimbangan politis, kebijakan tersebut berhasil secara signifikan ditandakan dengan banyaknya peserta didik yang naik kelas atau lulus seratus persesn. Walhasil tidak naik kelas dan tidak lulus sekolah adalah hal yang tabu sehingga hal tersebut tidak menjadi opsi agar peserta didik mengulang ketidaktuntasannya karena memang tidak memiliki kompetensi yang diharapkan.

Nilai KKM pada dasarnya berkaitan dengan evaluasi pendidikan. Menurut Arikunto (Suharsimi Arikunto, 2018: 1-6) bahwa setiap saat orang melakukan evaluasi untuk mencari dan menentukan sesuatu yang terbaik yang ingin didapatkan. Arikunto mengilustrasikannya dengan menentukan jeruk yang dipilih untuk dibeli. Sebelum memilih seseorang akan mengevaluasi apa yang akan dipilihnya. Untuk menentukan apa kriterianya maka diadakan penilaian dan untuk menentukan apa yang menjadi kriteria penilaian maka harus dilaksanakan pengukuran. Selanjutnya Arikunto menjelaskan ada tiga hal dalam perbuatan tersebut:

  1. Mengukur adalah membandingkan sesuatu dengan ukuran. Pengukuran bersifat kuantitatif.
  2. Menilai adalah mengambil keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik dan buruk. Penilaian bersifat kualitatif.
  3. Mengadakan evaluasi meliputi langkah diatas yaitu mengukur dan menilai.

Arikunto mengemukakan pendapat Ralph Taylor bahwa tujuan evaluasi adalah pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan bagian mana dari tujuan pendidikan sudah tercapai. Dalam hal ini dikaitkan dengan prestasi belajar peserta didik. Definisi lebih luasnya Arikunto mengemukakan pendapat Cronbach dan Stufflebeam, bahwa tujuan evaluasi tidak sekedar mengetahui sejauh mana tujuan pendidikan tercapai tetapi juga digunakan untuk mengambil keputusan yang terkait dengan pendidikan. Arikunto lebih lanjut menuturkan menurut pandangan lama bahwa evaluasi pendidikan hanya untuk melihat prestasi belajar yang merupakan hasil kegiatan belajar dan mengajar semata, sedangkan dalam pandangan baru bahwa evaluasi belajar untuk melihat apakah hasil dari pendidikan itu sudah mengubah peserta didik yang sebelumnya “belum tahu atau belum dapat” menjadi “sudah tahu atau sudah dapat” sehingga dapat digunakan atau berguna bagi masyarakat dan negara.
    Penilaian belajar peserta didik harus mencerminkan pencapaian kualitas tingkah laku, usaha, dan prestasi belajarnya. Menurut Anderson dalam Herman dan Yustiana, harus memenuhi kriteria sebagai berikut (Herman Yoseph Sunu Endrayanto dan Yustiana Wahyu Harumurti, Penilaian Belajar Siswa di Sekolah, Yogyakarta, Kanisius, 2014:19-20) :

  1. Memiliki makna dengan artian bahwa siapapun yang berkepentingan terhadap hasil penilaian dapat membaca makna dibalik hasil penilaian yakni penguasaan pengetahuan, perilaku, motivasi, dan keterampilan.
  2. Transparan atau keterbukaan maksudnya adalah siapapun yang membutuhkan informasi hasil belajar peserta didik dapat mengetahui bagaimana guru melakukan kegiatan penilaian belajar dan hasil penilaiannya.
  3. Adil bahwa setiap peserta didik memperoleh nilai sesuai dengan kemampuan belajarnya.

Mari kita lihat kebijakan politik pendidikan pemerintah pada kurikulum 2013 sebagaimana dituangkan dalam Permendikbud Nomor 66 tahun 2013 mengenai standar penilaian (Sunarti dan Selly Rahmawati, 2014:12):

  1. Objektif, penilaian berbasis pada standar dan tidak dipengaruhi oleh faktor subjektivitas penilai.
  2. Terpadu, penilaian dilakukan secara terencana, menyatu dengan kegiatan pembelajaran, dan berkesinambungan.
  3. Ekonomis, penilaian yang efisien dan efektif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporannya.
  4. Transparan, prosedur penilaian, kriteria penilaian dan dasar pengambilan keputusan dapat diakses oleh semua pihak.
  5. Akuntabel, penilaian dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak internal maupun eksternal sekolah untuk aspek teknik, prosedur, dan hasilnya.
  6. Edukatif, penilaian tersebut bersifat mendidik dan memotivasi peserta didik dan guru.

Terlihat dalam permendikbud tersebut, pemerintah menginginkan hasil pembelajaran peserta didik mencerminkan hasil sesungguhnya dari pencapaian pembelajaran peserta didik di sekolah, bahwa keberhasilan proses pendidikan yang diharapkan oleh negara secara langsung dan tidak langsung bertumpu pada kepentingan pendidikan itu sendiri bukan sekedar menampilkan angka-angka ketidaknaikan kelas, kelulusan, dan peserta didik yang putus sekolah/atau keluar dari sekolah. Tapi dapat dipertanggungjawabkan darimana angka-angka itu diambil. Sebuah data riil bukan “data salon” atau data yang dimodifikasi untuk kepentingan menyenangkan atasan.

Mari kita lihat karakteristik penilaian pada kurikulum 2013 (Sunarti dan Selly Rahmawati, 2014:4-5) sebagai berikut:

  1. Belajar tuntas (mastery learning), penilaian mencerminkan ketuntasan belajar minimal peserta didik. Peserta didik tidak diperkenankan mengerjakan pekerjaan berikutnya atau kompetensi berikutnya jika belum mampu menyelesaikan pekerjaannya atau kompetensi sebelumnya sesuai prosedur yang benar dan hasil yang baik.
  2. Penilaian autentik/otentik, penilaian yang dilakukan secara komprehensif untuk menilai masukan, proses, dan hasil belajar. Selain mengukur apa yang diketahui oleh peserta didik juga mengukur apa yang dapat dilakukan peserta didik.
  3. Penilaian berkesinambungan, penilaian yang dilakukan terus-menerus dan berkelanjutan untuk mendapatkan gambaran yang utuh mengenai perkembangan hasil belajar peserta didik.
  4. Menggunakan teknik penilaian bervariasi, teknik penilaian dapat dipilih secara tertulis, lisan, produk, portofolio, unjuk kerja, proyek, pengamatan, dan penilaian diri.
  5. Berdasarkan acuan kriteria, penilaian berdasarkan ukuran pencapaian kompetensi yang ditetapkan atau berdasarkan kriteria ketuntasan minimal (KKM).

Dari hal-hal yang disebutkan diatas, evaluasi pendidikan atau penilaian belajar peserta didik secara teoritis dan konseptual serta dalam kurikulum 2013 mencerminkan pencapaian peserta didik dalam melakukan kegiatan belajar di sekolah, selain itu juga mencerminkan pencapaian pengetahuan dan keterampilan menggunakan pengetahuan tersebut. Harapannya terbentuk generasi yang mampu menjawab tantangan kehidupan secara nyata di masyarakat dan tentunya bagi negara adalah modal sumber daya manusia bagi keberlangsungan pembangunan negara. Namun pada prakteknya hal-hal tersebut diredusir hanya pada penetapan nilai KKM (semakin tinggi dianggap semakin prestise) dan terpenuhinya nilai KKM (tidak adanya yang tinggal kelas atau tidak lulus sekolah serta tingginya nilai rapor) atau dapat dikatakan sebagai “politik nilai KKM” yang mengakibatkan disorientasi pendidikan dan yang mengkhawatirkan adalah munculnya “generasi karbitan” yaitu generasi yang naik kelas dan lulus karena memang sengaja dinaikkan dan diluluskan demi prestise sekolah dan pihak-pihak yang terkait.