Peranan Bahasa Indonesia dalam Revolusi Mental di Indonesia
Oleh : Muhammad Catur Joko Putranto, S.Pd.
Guru pada MAN 1 Tangerang
Istilah “Revolusi Mental”, kembali digaungkan oleh Presiden Jokowi di setiap beliau memberikan pidato kenegaraan pada awal periode kepemimpinan beliau sampai periode kedua ini. Dalam pidato Presiden Jokowi, beliau berpendapat bahwa pada kehidupan sehari-hari, praktek revolusi mental adalah menjadi manusia yang berintegritas, mau bekerja keras, dan punya semangat gotong royong. Beliau begitu menggaungkan bahwa revolusi mental perlu ada di setiap nurani warga Indonesia. Bukan hanya jadi sekedar jargon di era kepemimpinannya, tetapi menjadi program pokok yang harus selalu didengungkan
Gagasan revolusi mental sebenarnya sudah ada sejak lama, jauh sebelum era Presiden Jokowi sekarang, yakni lebih tepatnya dicetuskan oleh salah satu founding father Indonesia, Presiden Soekarno, pada saat Peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1956. Makna revolusi mental bagi Presiden Soekarno yaitu suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala. Pada masa itu, revolusi nasional sedang mandek, padahal tujuan kemerdekaan Indonesia yang seutuhnya masih jauh dari kata tercapai. Revolusi di zaman kemerdekaan adalah sebuah perjuangan fisik, perjuangan ketika para pahlawan nasional berkorban mengusir para penjajah dari tanah air, demi mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, setelah 76 tahun Indonesia merdeka, perjuangan itu sebenarnya belum berakhir dan masih akan terus berlangsung. Kita semua masih harus melakukan revolusi, namun dalam konteks yang berbeda. Dahulu para pahlawan bangsa perlu mengangkat senjata untuk berevolusi, akan tetapi sekarang yang kita perlukan yaitu membangun jiwa bangsa.
Menilik hal di atas, kenapa membangun jiwa bangsa sangat penting bagi Indonesia yang sudah merdeka pada era sekarang ini? Membangun suatu negara tidak hanya sekedar pembangunan fisik saja, namun harus dibarengi dengan modal utamanya yaitu membangun jiwa bangsa, seperti itulah konsep pemikiran Presiden Soekarno. Inilah ide dasar digaungkannya lagi gerakan revolusi mental pada masa kepemimpinan Presiden Jokowi. Jiwa bangsa yang terpenting adalah jiwa merdeka, jiwa kebebasan untuk meraih kemajuan. Jiwa merdeka disebut Presiden Jowoki sebagai positivisme. Gerakan revolusi mental ini sendiri sudah ada payung hukumnya yaitu berdasarkan Instruksi Presiden No. 12 Tahun 2016, yang dikhususkan untuk memperbaiki serta membangun karakter bangsa Indonesia dalam melaksanakan revolusi mental. Gerakan revolusi mental terbukti berdampak positif terhadap kinerja pemerintahan Presiden Jokowi. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, ada banyak prestasi yang diraih berkat semangat integritas, kerja keras, dan gotong royong dari aparat negara dan juga masyarakat.
Lantas bagaimana peran bahasa Indonesia sendiri dalam menyukseskan gerakan revolusi mental ini? Seperti yang kita ketahui bahwa bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa negara pada 18 Agustus 1945. Ketetapan ini tercantum dalam pasal 36 UUD 45 yang berbunyi “bahasa negara adalah bahasa Indonesia.” Sejak Sumpah Pemuda diikrarkan, bahasa Indonesia menjadi sarana merevolusi mental bangsa. Alinea yang berbunyi “ Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia,” menegaskan bahwa untuk mempersatukan Indonesia maka diperlukan bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya Kongres Bahasa Indonesia I yang mengukuhkan peran bahasa Indonesia sebagai sarana revolusi mental bangsa. Peran bahasa Indonesia sebagai sarana ekpresif revolusi mental semakin terlihat ketika penulisan teks proklamasi menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang memang menjadi bahasa persatuan, bisa menjembatani komunikasi antara tiap-tiap suku di Indonesia yang punya bahasa dan dialeknya masing-masing.
Namun, miris sekali melihat keadaan bahasa Indonesia sekarang. Penggunaan bahasa Indonesia semakin tergeser dengan tren penggunaan bahasa asing oleh kalangan anak muda, yang tak khayal adalah generasi penerus Indonesia. Di dalam negeri saja, kita banyak menemukan sajian informasi dalam bahasa asing, bukan bahasa Indonesia. Pada beberapa kegiatan seminar ataupun ajang perlombaan, penggunaan bahasa asing masih marak tanpa mengedepankan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Keadaan ini semakin diperparah dengan munculnya arus K-Pop yang banyak digandrungi oleh kalangan anak muda dewasa ini, yang secara tidak langsung membuat generasi penerus kita menjadi ingin mendalami bahasa asing secara lebih dalam alih-alih menggiatkan penggunaan bahasa Indonesia yang benar. Hal inilah yang bisa mengancam rusaknya revolusi mental melalui terbatasnya penggunaan bahasa Indonesia yang baik oleh generasi muda di Indonesia.
Jika bahasa adalah sarana pembentuk mental bagi penuturnya, maka merevolusi mental melalui penguatan bahasa Indonesia di dalam dan luar negeri adalah cara yang paling efektif. Seperti yang diimpikan oleh Mendikbud Ristek, Nadiem Makarim, beliau ingin menjadikan bahasa Indonesia sebagai lingua franca (bahasa pengantar) di kawasan Asia Tenggara. Riset penggunaan bahasa melaporkan bahwa bahasa Indonesia masuk ke peringkat sebelas di dunia dalam daftar bahasa yang paling banyak digunakan di dunia. Jumlah penutur tersebut bukan hanya oleh penutur sebagai bahasa ibu (native speaker) melainkan juga oleh penutur sebagai bahasa kedua (second language). Bahasa Indonesia sendiri mempunyai kekayaan leksikal yang luar biasa. Bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu pada perkembangannya menjadi semakin kaya kosakata dengan terjadinya penyerapan bahasa, baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing. Bahasa kita memiliki 440 ribu kosakata dan istilah (90 ribu dalam KBBI dan 350 ribu kata dan istilah untuk 41 bidang ilmu). Penutur bahasa Indonesia sendiri hampir sebesar tiga per empat dari jumlah penduduk di ASEAN. Penutur bahasa Indonesia ini tidak hanya dari Indonesia sendiri, akan tetapi di negara ASEAN yang lain seperti Malaysia, Singapura, Timur Leste, Brunei Darussalam serta digunakan oleh para diaspora di seluruh dunia dengan dialek yang berbeda.
Sangatlah mungkin bagi bahasa Indonesia untuk terus melanjutkan ambisinya untuk menjadi bahasa pengantar di Asia Tenggara. Alasannya: Pertama, banyak negara di Asia Tenggara memiliki kepentingan dengan Indonesia mulai dari politik, sosial, budaya, sampai ekonomi. Kepentingan politik bisa dilihat dari hubungan diplomatik bilateral Indonesia dengan negara di Asia Tenggara. Bantuan sosial kerap diberikan oleh pemerintah Indonesia tatkala negara di Asia Tenggara tertimpa musibah, begitu pula sebaliknya. Pertukaran kebudayaan sering terjadi saat ada pertukaran pelajar asing dari dan ke luar Indonesia. Selain itu, pertukaran budaya bisa juga terlihat dari program acara tv ataupun music yang disukai di negara tetangga, seperti Malaysia. Hubungan perekonomian juga terlihat dari banyaknya neraca perdagangan antara Indonesia dengan negara di kawasan Asia Tenggara. Kedua, bahasa Melayu, yang merupakan asal muasal bahasa Indonesia, dapat menjadi media penyebaran yang efektif. Hal ini diperkuat dengan bukti sejarah bahwa selama berabad-abad bahasa Melayu Kuno telah digunakan oleh banyak masyarakat di kawasan Asia Tenggara. Ketiga, perkembangan teknologi pada era digital saat ini dapat menjadi mediator dalam penyebaran bahasa Indonesia. Peran serta dari youtuber serta influencer Indonesia untuk ikut serta dalam menggiatkan pengunaan bahasa Indonesia dalam rangka gerakan revolusi mental menuju bahasa Indonesia sebagai lingua franca di kawasan Asia Tenggara sangat diperlukan. Para youtuber serta influencer ini bisa mengedukasi follower serta viewernya baik dari Indonesia maupun luar negeri untuk penggunaan bahasa Indonesia yang bijak. Keempat, bahasa Indonesia mempunyai struktur yang sederhana. Oleh karea itu, bahasa Indonesia sangat mudah dipelajari oleh penutur asing. Di samping itu, bahasa Indonesia juga mempunyai daya serap kosakata yang kuat. Keenam, sektor ekonomi makro di Indonesia yang berkembang pesat menjanjikan lahan investasi bagi para investor asing. Itulah pintu gerbang mengenalkan bahasa Indonesia kepada dunia, khusunya kawasan Asia Tenggara.
Kendala yang bisa menghambat untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai lingua franca di kawasan Asia Tenggara yaitu sikap sebagian masyarakat Indonesia yang belum menghormati dan bangga menggunakan bahasa Indonesia. Banyak masyarakat Indonesia yang justru bangga menggunakan bahasa asing yang dikuasai pada saat percakapan formal ataupun non formal serta di saat situasi berhubungan dengan pendidikan ataupun non pendidikan. Selain itu, masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa bahasa Indonesia hanya sekedar sebagai alat komunikasi saja. Padahal, sejatinya bahasa Indonesia merupakan jati diri bangsa sebagai kebanggaan dan alat pemersatu bangsa. Bahasa Indonesia sebagai perekat bangsa dari Sabang sampai Merauke, penyatu perbedaan berbagai suku dan bahasa yang ada di Indonesia. Terakhir, seperti yang diungkapkan oleh Nadiem Makariem, cara yang perlu dilakukan salah satunya dengan berinovasi di bidang bahasa, termasuk mengadaptasi bahasa dan kultur negara lain agar menjadi jembatan bahasa Indonesia dengan mancanegara. Akan tetapi, apabila tidak dapat membendung lalu menyeleksi budaya serta bahasa lain yang masuk ke Indonesia, hal itu justru akan merusak jati diri bangsa Indonesia sendiri. Di akhir tulisan ini, kemungkinan untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai lingua franca di kawasan Asia Tenggara menggantikan bahasa Inggris pada saat pertemuan negara ASEAN sangat terbuka peluangnya, tergantung dari sikap pemerintah untuk mengawalnya sampai terwujud.
Belum terlambat menegakkan peran bahasa Indonesia sebagai sarana merevolusi mental jiwa bangsa, khususnya para generasi milineal, sebagai penutur asli atau bahasa ibu. Mari kita bangga menuturkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional di setiap momen kesempatan, dibandingkan membanggakan menggunakan bahasa asing. Bangga berbahasa Indonesia dapat menjadikan bangsa dan negara ini menjadi bangsa besar sesuai yang diimpikan para pendiri bangsa. Menjadikan bangsa Indonesia lebih diperhitungkan lagi dalam kancah internasional tanpa dipandang sebelah mata oleh bangsa lain yang lebih superior. Revolusi mental melalui penggunaan bahasa Indonesia baik di dalam negeri atau luar negeri sebagai upaya untuk mengangkat martabat bahasa Indonesia secara khusus, serta martabat bangsa Indonesia pada umumnya. Sekali lagi, mari kita bangga berbahasa Indonesia.