Penyuluhan Agama dengan Spirit Multikultural
Oleh : Cecep Hilman
Widyaiswara Ahli Madya Balai Diklat Keagamaan Jakarta
Pendahuluan
Penyuluhan agama yang dilakukan oleh Penyuluh Agama seyogyanya dapat membimbing, mengayomi dan menggerakkan masyarakat untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan terlarang, mengajak kepada sesuatu yang menjadi keperluan masyarakatnya dalam membina wilayah baik untuk keperluan sarana kemasyarakatan maupun peribadatan. Pada intinya tugas utama Penyuluh Agama yaitu membimbing umat dalam menjalankan ajaran agama dan menyampaikan tentang pembangunan kepada masyarakat dengan bahasa agama.
Keberadaan Penyuluh Agama menjadi tempat bertanya dan mengadu bagi masyarakatnya untuk membantu memecahkan dan menyelesaikan persoalan dengan bimbingan dan penyuluhan yang menjadi bagian dari tugasnya. Penyuluh Agama sebagai pemimpin masyarakat bertindak sebagai aparatur dalam masalah agama dan kemasyarakatan dan begitupun dalam hal kenegaraan dengan usaha mensukseskan program pemerintah.
Persoalannya adalah masyarakat yang menjadi sasaran binaan, seringkali memiliki latar belakang situasi dan kondisi budaya yang heterogen dan kompleks dengan karakteristik dan kecenderungan budaya yang berbeda-beda. Masyarakat yang multikultural dengan beragam suku, bahasa, ras dan budaya bahkan agama. Perbedaan sistem nilai dan pola pikir yang menimbulkan reaksi sikap atau perilaku termasuk peribadatan yang beraneka ragam. Kondisi seperti ini membutuhkan metodologi dan pedekatan yang tepat dalam menghadapinya.
Kondisi Multikultural
Masyarakat kini dan yang akan datang seringkali mendapat sebutan atau nama: Masyarakat canggih, maju, pasca industri, informasi, neo modern, pasca modern dan post modern. Sesungguhnya apapun namanya masyarakat kita sekarang dan yang akan datang sangat didominasi oleh keberadaan teknologi informasi dan komunikasi.
Teknologi komunikasi menghilangkan batas ruang dan waktu, kejadian yang terjadi di seluruh negeri bahkan dunia akan cepat kita terima dan mempengaruhi reaksi kita. Misalnya: Bencana gempa bumi di Sumatera Barat tahun 2009 atau gempa bumi di Palu tahun 2018 yang diikuti tsunami. Kesedihan, kepedihan, belasungkawa dan orang-orang berbondong-bondong untuk memberikan perhatian dan peduli dengan berbagai aksi. Kejadian itu dengan mudah bisa kita lihat di media informasi baik cetak maupun elektronik. Hal itu menjadi contoh kecil bahwa dari pengaruh informasi-komunikasi terhadap sikap dan pola pikir sangat kuat.
Selain itu, keanekaragaman budaya sangat dipengaruhi oleh pandangan dan sistem nilai yang dijadikan landasan berpikir, itu semua menjadi tantangan bagi Penyuluh Agama di masa kini yang berupaya melaksanakan tugas dan fungsi pokoknya dengan pendekatan metodologi dan manajemen yang tepat. Kesiapan strategi itu sebagai antisipasi atas seringkalinya konflik yang timbul di masyarakat diakibatkan oleh kompleksitas budaya yang beraneka ragam. Karena itu setiap Penyuluh Agama juga dituntut untuk memiliki kemampuan manajemen konflik yang baik, menjadikan perbedaan budaya yang ada menjadi tenaga pembebas, karena merupakan sunatullah.
Kegiatan di bidang penyuluhan agama, dakwah, jurnalistik, kajian agama, perbaikan masyarakat dan sosial kemasyarakatan lainnya akan lebih efektif dan berhasil secara efisien apabila didukung pula oleh Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Sama halnya dengan keberbedaan budaya, tetapi dalam satu kesatuan iman dan agama yang oleh nabi dikatakan sebagai suatu bangunan jasad yang satu, dapat diwujudkan dengan pendekatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Lebih jauh lagi, seorang Penyuluh Agama dalam melakukan gerakan dakwah menurut pendapat Jalaluddin Rahmat harus mampu melakukan gerakan dakwah yang terapeutis/bersifat menyembuhkan (Islam Aktual, 1992:70), yaitu tidak hanya memberikan wawasan keagamaan yang lebih luas atau bukan hanya memberikan hiburan untuk melupakan persoalan dan meredakan tekanan psikologis, tetapi juga harus mampu membantu orang-orang dalam memahami dirinya, memahami realitas, memaksimalkan potensi yang mereka miliki dan akhirnya mengembangkan kepribadian mereka.
Proses pengayaan diri dengan pengenalan kepribadian melalui tatanan moral akan sedikit demi sedikit membuka wawasan kehidupan bermasyarakat yang tidak lagi melakukan truth claim atau mengklaim dirinyalah yang paling benar atau kelompok budayanyalah yang paling unggul dan paling benar. Rasa fanatisme ini akan pudar manakala seorang Penyuluh Agama memberikan keteladanan dan penjelasan yang tepat tentang agamanya itu sendiri.
Hal besar yang kini dihadapi oleh Penyuluh Agama yaitu bersaing dengan agen-agen hiburan dari berbagai media global. Mungkin seorang Penyuluh Agama dengan tantangan multikultural ini harus lebih “gaul” dengan perkembangan budaya, yang tidak cukup hanya membacakan kisah-kisah dari kitab suci, sejarah nabi, atau kitab klasik tetapi juga dituntut untuk mengemasnya dengan memanfaatkan teknologi informasi mutakhir.
Pendekatan metodologi dan manajemen yang dimiliki seorang Penyuluh Agama pada masyarakat yang multikultural harus mampu melatih diri dan pengikutnya untuk mengembangkan kemampuan menerima, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi. Oleh karena itu, tepat sekali apabila para Penyuluh Agama selain menguasai bidang-bidang keagamaan juga dituntut untuk menguasai media lokal dan global. Pelatihan keterampilan teknik menulis menjadi penting, sudah saatnya literacy digital melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi menjadi bagian integral penyampaian materi Penyuluh Agama.
Dalam hal kemajuan teknologi dengan munculnya persoalan-persoalan baru dalam berbagai bidang kehidupan, kaidah ushul fiqh mengatakan: “memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik”. Para Penyuluh Agama tidak seharusnya bertindak pasif melainkan aktif menyambut tantangan-tantangan ke depan dengan perencanaan yang baik dan matang.
Agama dan Multikulturalisme
Indonesia sebagai negara pluralis dan religius berdasarkan Pancasila. Hal pertama yang harus dikatakan adalah bahwa negara Indonesia tidak membenarkan dan tidak mentolerir adanya paham, budaya dan orang-orang yang anti agama/anti tuhan. Negara Indonesia juga tidak membenarkan dan tidak mentolerir berbagai upaya yang ingin memisahkan agama dari negara (kecenderungan sekularistik). Kedua hal ini dapat ditolerir pada negara-negara asal multikulturalisme seperti Amerika Serikat. Inilah antara lain yang dapat dipandang sebagai kelemahan multikulturalisme.
Multikulturalisme yang diterapkan di Indonesia perlu diberi ciri khas, yaitu religiusitas. Dengan kata lain, yang kita kembangkan adalah multikulturalisme religius. Multikulturalisme yang meniscayakan adanya perbedaan itu sesungguhnya mengusung semangat untuk hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence) dalam perbedaan kultur yang ada.
Sesungguhnya ada hal yang menghubungkan agama-agama, yaitu pada nilai-nilai universal yang diajarkan antara lain kebenaran, kejujuran, keadilan, kebajikan, kesucian, ketulusan, kasih sayang, tolong-menolong kerukunan, kedamaian, keselamatan, kesejahteraan dan kebahagiaan yang hakiki dan abadi. Nilai-nilai ini yang dapat dikembangkan menjadi semangat hidup berbangsa dan bernegara yang secara nyata ada dalam keniscayaan yang heterogen.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa perbedaan dalam perspektif multikulturalisme bukanlah sesuatu yang bersifat negatif, tetapi justru karena adanya perbedaan itulah manusia bisa saling memberikan warna satu sama lain dalam kehidupan mereka. Tanpa perbedaan, hidup akan terasa hambar.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, benih-benih multikulturalisme sesungguhnya telah ada sejak dahulu, sebab negeri ini terdiri dari beraneka ragam suku bangsa sebagaimana terangkum dalam semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.
Suku-suku bangsa tersebut bagaikan sebuah mozaik yang hidup berdampingan dengan damai. Masing-masing suku mempunyai corak budaya sendiri-sendiri yang sangat jelas dan belum tercampur oleh warna budaya dari suku lain. Tentu saja mozaik kebudayaan diharapkan akan tetap seperti itu, bahkan kalau bisa lebih dari sekadar hidup berdampingan secara damai. (Firman Nugraha, Wawasan Multikultural, 2010)
Penutup
Masyarakat Indonesia sekarang idealnya tidak lagi sebagai masyarakat yang eksklusif dan fanatisme sempit, sekalipun hal ini tidak sepenuhnya hilang karena kenyataannya Indonesia memang masyarakatnya terdiri dari berbagai latar belakang dan situasi kondisi yang beraneka ragam. Oleh karenanya seorang Penyuluh Agama dituntut untuk terbuka dan bersikap luas dada terhadap pandangan-pandangan yang bermacam-macam.
Menutup diri dalam pemahaman dan pemikirannya tanpa meluaskan wawasan pemahaman dan intelektualitas keilmuan justru menjadi kontra-produktif bagi Penyuluh Agama dalam melakukan penyuluhan agama pada masyarakat multikultural. Di Indonesia, beragama pada hakekatnya adalah ber-Indonesia dan ber-Indonesia pada hakekatnya adalah beragama. Wallahu a’lam.