Artikel
Penyuluh Agama Mengajak Rukun

Penyuluh Agama Mengajak Rukun

Tantangan di depan kita sejumlah permasalahan yang dihadapi oleh umat beragama yaitu terjadinya proses perubahan masyarakat transisi, munculnya berbagai perilaku menyimpang akibat deviasi endemic, adanya kekhawatiran terhadap tendensi kerusakan serta perilaku korup agama akibat dari perilaku penganutnya. Akibatnya bukan hanya masyarakatnya semakin sulit untuk hidup rukun akan tetapi juga muncul berbagai perilaku menyimpang dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Hal itu apabila dikaitkan dengan tugas dan fungsi Penyuluh Agama maka disinilah urgensi kegiatan program Penyuluh Agama yaitu melaksanakan kegiatan dialog di dalam intra dan antar umat beragama (fasilitator), menjadi perantara atau penengah dan ikut serta mendamaikan perbedaan dan konflik umat beragama (mediator), mendorong umat bergama untuk mengembangkan dan memelihara kerukunan (motivator).

Penyuluh Agama sebagai jabatan yang memiliki tugas bimbingan dan penyuluhan agama, salah satunya melakukan program sosialisasi berbagai peraturan maupun perundang-undangan yang berkaitan dengan pemeliharaan kerukunan umat beragama. Ada hal yang tidak kalah penting untuk dilakukan, yaitu pemberdayaan masyarakat. Karena masyarakat yang semakin berdaya baik secara ekonomi, politik, pendidikan, hukum dan lain sebagainya akan mengantarkan mereka menjadi kelompok umat yang semakin rukun dan lebih menyadari keseimbangan hak dan kewajibannya selaku umat beragama maupun sebagai warga-bangsa Indonesia.

Akibat dari penetrasi berbagai informasi serta kemudahan dalam bidang teknologi komunikasi maka hampir bisa dikatakan tidak ada lagi sekat-sekat yang membedakan masyarakat (borderless society) baik di bidang budaya maupun ideologi. Dan apabila hal itu juga bersinggungan dengan agama maka kebenaran agama menjadi relatif. Apabila situasi dan kondisi ini tidak diantisipasi maka dampaknya akan semakin dirasakan yaitu atas nama keterbukaan maupun demokratisasi setiap orang atau kelompok menyuarakan kebebasan tanpa merasa ada yang bisa membatasinya. Dan apabila hal tersebut tidak bisa diarahkan maka kemakmuran di bidang ekonomi bukannya semakin mensejahterakan manusia dilihat dari aspek spiritual akan tetapi yang terjadi adalah munculnya berbagai penyimpangan dalam tatanan kehidupan sosial.

Dengan demikian kesejahteraan di bidang materi justru akan membawa akibat sampingan yaitu semakin keringnya kesadaran terhadap pentingnya spiritualitas. Hal penting yang lain adalah akibat dari proses transisi yang sekaligus mulai merubah cara berpikir masyarakat. Apabila sebelumnya kesadaran teologi begitu penting sekalipun mereka tidak termasuk pengamal ajaran agama yang taat akan tetapi kemudian karena berbagai pengaruh pragmatisme, positivisme, hedonisme, sekularisme dan berbagai aliran kefilsafatan lainnya maka pertimbangan terhadap relevansi nilai spirituaitas semakin dikesampingkan. Deviasi itu diperkirakan akan memicu konflik yang semakin kentara. Konflik yang terjadi bukan hanya antar agama tetapi juga intern agama sebagai akibat dari kedangkalan penghayatan terhadap ajaran agamanya.

Penyuluh Agama diharapkan ke depan semakin memperluas jangkauan wilayah garapan mereka yang diarahkan kepada dua hal yaitu memperkuat kerukunan umat beragama dan mendorong penguatan kesadaran spiritualitas masyarakat. Sehingga di tengah kebingungan masyarakat terhadap semakin melebarnya  jarak yang memisahkan agama dalam cita dengan agama dalam realita.

Agama dalam cita adalah sebagai pedoman hidup yang memuat ajaran yang penuh kedamaian, kesantunan, kerukunan dan semangat yang selalu mendorong kepada kebenaran (hanifiyyah). Agama dalam realita adalah seringkali tampilnya persepsi keagamaan yang cenderung lebih berciri egoisme sehingga lahir pandangan kekerasan agama, terorisme yang semuanya bertentangan dengan cita-cita agama. (M. Ridwan Lubis, 2015)

Amartya Sen dalam bukunya Identity and Violence menyebutkan bahwa salah satu tantangan terberat abad modern salah satunya ialah mengelola keragaman identitas. Sen menjelaskan bahwa fenomena globalisasi di era modern tidak lantas benar-benar mencairkan perbedaan budaya dan agama antarwarga dunia. Sebaliknya, di banyak tempat di dunia, persoalan identitas bahkan berkembang menjadi kian kompleks, untuk juga mengatakan kian sulit diselesaikan. (Sivana Khamdi Syukria, Detiknews selasa 10 Maret 2020, 12.40 wib)

Kekerasan antar pemeluk agama yang berbeda juga membuka kembali pertanyaan klasik, mengapa agama yang mengajarkan cinta kasih di saat yang sama bisa menjadi sumber inspirasi lahirnya sektarianisme?

Secara sederhana, sektarianisme bisa kita pahami sebagai semacam bigotry alias fanatisme yang menjurus pada kebencian terhadap kelompok lain yang berbeda pandangan, baik dalam hal agama maupun politik. Dalam konteks agama, sektarianisme bisa terjadi di antara pemeluk agama yang berbeda dan sesama agama yang berbeda aliran atawa mazhab.

Ada pandangan secara khusus tentang wajah Islam, menurut Stephen Sulaiman Schwartz (2007) dalam bukunya “The Two Faces Of Islam” menyebutkan adanya dua wajah yang merupakan manifestasi sosio-kultural ajaran Islam yang tidak bisa dilepas dari pola epistemologis yang dilaluinya. Dua wajah sosio-kultural ini bisa dibedakan secara kategoris: pertama, wajah Islam yang ramah, bersahabat, toleran, dan inklusif yang siap berdampingan dengan para penganut keyakinan yang berbeda dan dengan sendirinya melihat perbedaan sebagai rahmat. Kedua, wajah Islam yang garang, mudah marah, tidak toleran, dan ekslusif, yang menjadi antagonis bagi wajah Islam yang pertama (Schwartz. 2007: xi). Pernyataan Schwartz ini bukan berarti bahwa doktrin agama itu ambigu, Khaled Abou el-Fadl menyatakan bahwa “makna sebuah teks suci kerap kali bergantung pada moral pembacanya. Jika pembacanya intoleran dan penuh kebencian, maka demikianlah hasil penafsirannya atas teks tersebut.” (el-Fadl. 2002: 23). Harus diakui, dilema agama- agama yang paling serius adalah tatkala berhubungan dengan kalangan di luar komunitasnya. Hampir semua agama memandang pihak lain lebih rendah, bahkan cenderung mendiskreditkan ketika berbicara komunitas di luar dirinya. Karena itu, tantangan yang dihadapi umat beragama dewasa ini adalah menjalankan misi keagamaan, tanpa menimbulkan benturan dan kerusakan, tapi justru membawa kemaslahatan; menebarkan kebaikan kepada semua kalangan, tanpa mengkompromikan keyakinan, tapi justru memperkokohnya.

Mengembangkan dan memelihara kerukunan dengan membawa kemaslahatan, menebarkan kedamaian menjadi ajakan Penyuluh Agama dalam menampilkan wajah agama yang ramah bukan marah, karena sejatinya Penyuluh Agama itu “Pence-ramah” bukan “Pence-marah”. Wallahu a’lam