Artikel
Penyelarasan Agama Dan Budaya

Penyelarasan Agama Dan Budaya

Oleh Ahmad Hidayat
Penyuluh Agama Ahli Pertama pada Kantor Kementerian Agama Kab. Serang

Agama dan budaya? Bukanlah hal yang asing bagi kedua telinga ini. Seringkali kita mendengar dua kosa kata ini diperbincangkan oleh lisan bahkan jadi sebuah perdebatan bagi sebagian kalangan. Dua kosa kata yang tak hanya sekali berjalan berdampingan dan selalu dipadupadankan. Ini menunjukkan bahwa ada relasi diantara mereka. Padahal jika ditelisik, agama dan kebudayaan adalah hal yang berbeda. Agama merupakan segala sesuatu yang didapat atau bersumber dari Tuhan, sedangkan kebudayaan merupakan segala sesuatu yang diciptakan atau produk (cipta, rasa, karsa) dari manusia. Meskipun berbeda, agama dan kebudayaan tetaplah dikaitkan dan memiliki relasi yang kuat. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj menyampaikan sambutan jelang waktu buka puasa di acara buka bersama di kediaman pribadi Ketua DPD RI Oesman Sapta Odang. Dalam kesempatan itu ia menyinggung soal amanah yang tersemat dalam pundak setiap insan, yakni amanah diniyah (agama) dan amanah wathoniyah (kebangsaan). Dalam Islam, terdapat amanah untuk mempertahankan budaya yakni Islam Nusantara. “Kita jadikan budaya sebagai infrastruktur agama. Jangan kebalik,” kata Said Aqil, Selasa (6/6/2017). Kompas.com.

Relasi antara agama dan budaya menurut pandangan penulis yaitu agama menyebarkan ajarannya salah satunya melalui budaya dan budaya membutuhkan agama untuk melestarikannya. Agama tidak serta-merta menghapus budaya dalam masyarakat, yang beberapa memang tidak sesuai dan bertolak belakang dengan nilai-nilai agama. Akan tetapi, agama lebih menggunakan budaya untuk media dakwah sekaligus masuk dalam budaya dengan menyesuaikan apa yang boleh atau sesuai dengan ajarannya  Di sini agama berperan untuk memfiltrasi berbagai norma dan nilai dari kebudayaan, misalkan: budaya wayang, tumpengan, Sedekah laut, budaya ’nganteuran’ dan sebagainya. Ini juga meliputi relasi antara manusia dengan alam, atau antara manusia dengan makhluk lainnya, seharusnya bukan merupakan relasi antara penakluk dengan yang ditaklukan, hamba dengan tuannya, melainkan sebuah relasi harmonis, yang mengutamakan kebersamaan, cinta dan kasih sayang. Hal ini pun pada dasarnya telah diajarkan oleh agama, interaksi yang bersifat harmonis itu, adalah interaksi yang saling memperhatikan perkembangan situasi antara satu dengan yang lainnya. Ini merupakan prinsip pokok yang merupakan landasan interaksi antara manusia dengan makhluk lainnya, termasuk kepada alam, dan keharmonisan hubungan ini pula yang menjadikan tujuan dari segala etika agama (Haidi Hajar Widagdo, Sebuah Upaya Penyelarasan antara Budaya Mistis dengan Pelestarian Lingkungan,2012).

Adanya relasi antara agama dan kebudayaan diperkuat oleh salah satu argumen budayawan bangsa ini, Didik Nini Towok, saat pentas di Universitas Brawijaya Malang begitu memesona. Selepas menari, beliau mengatakan, “Kesenian terutama tarian di Nusantara dipengaruhi oleh agama. Seperti tarian Bali dipengaruhi oleh agama Hindu, tarian Jawa dipengaruhi oleh Kejawen, dan tarian Aceh dipengaruhi oleh agama Islam, sehingga para penari harus mengikuti tata cara dan adab menari” (Widianto, Eko. 2016. Seni Budaya Nusantara Dipengaruhi Agama. Terakota.id). Hal ini menegaskan bahwa agama mampu memengaruhi budaya yang ada.

Seperti halnya yang dikatakan KH. Said Aqil Siroj, Beliau mengatakan pula bahwa pakaian batik itu budaya, tetapi orang sah sholat dengan memakai batik sebagai sarana untuk menutup aurat. Artinya budaya bisa mendukung tegaknya agama. Dan begitupula agama mendukung lestarinya budaya, seperti halnya di daerah penulis, semasa penulis kecil di Kp. Cicayur 1 Pagedangan Tangerang, ketika masih banyak persawahan dan setelah panen diadakan acara membuat laksa dipinggir sawah bersama-sama, dan setelah acara tersebut dilanjutkan dengan acara “ngeriung” dengan membaca tahlil tahmid dan do’a lainya secara bersamaan sebagai bentuk syukur. Inipun membuktikan adanya relasi antara agama dan budaya.

Bukan hanya itu saja, masalah juga terjadi saat budaya dibenturkan dengan nilai-nilai agama. Bernostalgia sejenak dengan menilik peristiwa pada bulan Oktober 2018 (Nurrhochman. 2018. Memaknai Relasi Agama dan Budaya. Beritagar.id) yaitu adanya pembubaran yang dilakukan oleh pihak-pihak/sekelompok orang terhadap warga yang melakukan kegiatan sedekah laut di Pantai Baru, Bantul. Sebenarnya, sedekah laut merupakan budaya yang sudah turun temurun dan memang perlu untuk dilestarikan. Pembubaran ini sangatlah disayangkan bisa terjadi di bangsa yang katanya berbudaya dan beragama ini.

Mengapa sampai ada pembubaran? Hal ini dikarenakan ada sekelompok oknum beragama yang mana mereka membenturkan budaya dengan agama. Di sini terlihat ada perbedaan dalam penginterpretasian budaya. Pihak yang pro menilai bahwa budaya sebagai tradisi yang harus dilestarikan sedangkan pihak yang kontra memiliki penafsiran lain. Pihak yang kontra membenturkan budaya dengan ajaran agama sehingga mereka merasa kegiatan tersebut sesat, syirik, dan betentangan dengan ajaran Islam.

Memiliki pandangan yang berbeda di negara yang majemuk ini sah-sah saja. Akan tetapi output atau tindakan yang mengekor setelahnya adalah masalahnya. Di mana dengan adanya oknum yang membenturkan budaya dengan ajaran agama yang berbuntut pada aksi pembubaran budaya sedekah laut di pantai Baru bisa memecah belah bangsa. Perlu diingat bahwa Indonesia bukan negara agama, tetapi negara yang beragama. Jadi dalam hal ini, akan lebih elok apabila setiap insan sadar untuk menanamkan jiwa toleran dalam dirinya. Indonesia sendiri juga tidak hanya mengakui satu agama saja melainkan enam agama, yakni Islam, Hindu, Buddha, Katholik, Kristen Protestan, dan Kong Hu Cu. Selain itu, juga ada aliran kepercayaan lain yang sudah menyatu dengan penduduk seperti Sunda Wiwitan, Kejawen, Marapi, dan sebagainya.

Kembali pada pembubaran kegiatan budaya sedekah laut di Pantai Baru, Bantul. Budaya ini oleh sebagian oknum dianggap syirik. Padahal budaya ini adalah ungkapan syukur pada Tuhan akan karunia yang telah diberikan. Di Indonesia, budaya yang serupa juga ditemui, seperti Larung Sesaji di Lereng Gunung Kelud, Kediri dan lainya. Budaya yang dilakukan masyarakat dengan memberikan hasil panen dari gunung baik berupa sayur-sayuran maupun buah-buahan untuk dibagikan sebagai rasa syukur masyarakat lereng gunung Kelud terhadap Sang Pencipta. Di mana Tuhan Yang Maha Esa telah memberikan kebutuhan hidup yang melimpah pada penduduk sekitar. Budaya ini juga diikuti oleh umat antar agama, termasuk aliran kepercayaan/kejawen.

Beragam budaya yang ada di daerah lain terlihat damai-damai saja bukan? Ini menunjukkan bahwa sebenarnya agama dan kebudayaan itu bisa berjalan berdampingan, tidak perlu dibenturkan. Bukankah lebih indah dan damai apabila setiap elemen masyarakat memahami hal ini? Menurut hemat penulis, budaya-budaya tersebut merupakan kegiatan positif, di mana sedekah berarti beramal, dalam maksud ingin “membersihkan” agar menjadi lebih baik ataupun sebagai ucapan syukur pada Sang Pencipta. Lalu siapa yang disalahkan atau bertanggung jawab atas pembubarpaksaan budaya di Pantai Baru? Ya hanya oknum yang melakukan hal tersebut, bukan agama yang dianutnya. Di daerah-daerah lain “fine-fine” saja dengan adanya tradisi sedekah-sedekah itu. Jadi, boleh saja menjadi orang agamis, akan tetapi harus tahu situasi dan kondisi, jangan sampai terlalu fanatik dalam beragama lalu membubarpaksakan budaya yang memang sudah di lestarikan turun temurun.

Kesimpulannya, agama dan budaya memanglah dua hal yang berbeda. Akan tetapi perbedaan ini bukanlah hal yang perlu dibenturkan. Kita sebenarnya bisa berjalan berdampingan  dan sama-sama memperoleh kedamaian dalam menjalani kehidupan. Hanya saja, masih diperlukan kesadaran setiap insan untuk menerapkan nilai toleransi. Penulis yakin, kita sebagai bangsa yang majemuk bisa berjalan berdampingan, tanpa perlu untuk saling membenturkan perbedaan yang ada. Seperti kata guru bangsa, Gus Dur mengatakan “agama melarang adanya perpecahan, bukan perbedaan”. Salam… (kang BH)