Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya; Kisah Sufi dari Madura
Judul Buku | Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya; Kisah Sufi dari Madura |
Pengarang | Rusdi Mathari |
Penerbit | Buku Mojok |
Tahun | 2016 |
Halaman | 226 Halaman |
Deskripsi |
|
| Terdiri dari 30 kisah pendek yang terinspirasi dari cerita Syekh Maulana Hizboel Watahny Ibrahim dan Cak Nun dengan fokus cerita seputar kisah antara Cak Dlahom dan Mat Piti serta warga sekitar tempat mereka tinggal, dengan latar belakang cerita dalam suasana bulan Ramadhan. Buku ini menceritakan tentang berbagai kisah kehidupan sehari-hari yang dekat dengan masyarakat Indonesia, dalam buku ini terdapat beberapa tokoh yang memiliki watak yang berbeda-beda. Tokoh-tokoh tersebut merupakan perwakilan dari berbagai karakter manusia. Kelompok tokoh pertama terdiri dari warga biasa dengan pewatakan yang berbeda, seperti Mat Piti dan Cak Dlahom yang memiliki watak protagonis, sebagai perwakilan dari warga biasa yang kerap menghadapi permasalahan biasa dalam bertetangga. Dalam satu kisah diceritakan bagaimana warga tempat Cak Dhalom tinggal sangat giat sekali melakukan pembangunan masjid, pengurus masjid mengajak warga sekitar untuk menyumbang. Pada satu hari dengan kenyelenehan Cak Dlahom, di depan masjid ia berteriak sambil membawa seember air, di hari yang lain ia berteriak sambil membawa obor dengan api menyala. Warga yang melihat kelakukannya tentu saja heran karena tidak mengetahui maksud dari perilaku Cak Dlahom. Pengurus masjid memanggil dia, dan duduk bersama untuk menjelaskan apa maksud Cak Dlahom bertingkah seperti itu, rupanya maksud Cak Dlahom adalah apakah manusia akan tetap membangun masjid ketika mereka memiliki kemampuan untuk memadamkan api neraka atau membakar isi surga? Cak Dlahom menjelaskan, ketika warga sibuk membangun masjid, ada seorang anak yatim piatu di tempat mereka tinggal yang bingung bagaimana menghadapi hari demi hari dalam hidupnya. Tidak ada tetangga atau warga sekitar yang peduli dengan keadaan anak tersebut. Kisah ini mengunggah pembaca untuk berlaku adil dalam beragama, penting mengurus urusan ukhrowi, tapi seharusnya urusan dengan sesama manusia tetap dapat seimbang, jangan sampai kita melupakan esensi seseorang dalam beragama. Jauh dari kesan menggurui, membaca buku ini merupakan refleksi diri, bagaimana selama ini kita beragama, apakah sudah kaffah atau malah belum ada apa. Banyak hikmah yang kita ambil dari kisah-kisah yang ada dalam buku ini. |