MENEGAKKAN MARWAH BAHASA INDONESIA DI HATI MILENIAL
Oleh: Sarkim
Guru MTs Negeri 28 Jakarta
Kurang lebih satu tahun yang lalu CNN Indonesia melalui salah satu televisi swasta mengupas salah satu topik yang menjadi trending topic di dunia maya terutama twiter yaitu #AnakJaksel. Kenapa #AnakJaksel setahun yang lalu menjadi trending topic? Hal itu bisa terjadi karena bahasa anak Jaksel mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris untuk gurauan atau candaan. Lihat saja salah satu tweet di #AnakJaksel berikut, “Which is karena aku manusia literally literan bengsin ku hilang, jadi nga tau itu gone gone gitu aja, which is semua people tau hidup tanpa love, bagai taman tak berflowers.”
Penggunaan bahasa ala AnakJaksel ini sampai sekarang masih berlangsung bahkan merambah ke berbagai kalangan termasuk kalangan public figure seperti aktris dan politisi entah tidak sengaja atau disengaja hanya sekedar agar terlihat lebih membaur dengan masyarakat dengan ‘tujuan tertentu’. Penggunaan bahasa campur-campur tersebut atau ‘campur kode’ bila kita meminjam istilah para ahli linguistik, tentu tidak salah bila hanya dilihat dari fungsi bahasa secara umum seperti yang dikemukakan oleh Keraf (1997:3) bahwa bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang yaitu sebagai alat komunikasi, alat mengekspresikan diri, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu, dan sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial.
Bila dilihat dari kedudukan bahasa Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan maka penggunaan bahasa Indonesia yang dicampur-campur dengan bahasa lain termasuk bahasa Inggris adalah masalah yang perlu kita cermati dan kritisi keberadaanya apalagi dilakukan oleh beberapa kalangan khususnya generasi muda sekarang yang biasa disebut dengan generasi milenial.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan disebutkanbahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi negara yang berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah. Sebagai warga negara yang baik tentunya kita sudah seharusnya menempatkan bahasa Indonesia sesuai kedudukannya dalam hati, sikap dan perilaku kita sehari-hari. Kita seyogyanya bangga berbahasa Indonesia dengan baik dan benar karena akan menunjukkan kepada bangsa lain jati diri kita bahwa kita adalah orang yang berkebangsaan Indonesia.
Adanya sebagian masyarakat yang mencampur penggunaan Bahasa Indonesia dengan bahasa lain khususnya bahasa Inggris tentu menjadi pertanyaan, kira-kira apa yang melatar belakangi hal itu bisa terjadi. Peristiwa ini bisa terjadi karena sikap bahasa yang tidak tepat. Kridalaksana dalam E. Zaenal Arifin, dkk (2014:50), mengatakan sikap (language attitude) bahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain. Tidak semua orang senang atau bangga terhadap bahasa ibu atau bahasa nasionalnya. Dengan adanya penggunaan bahasa dalam #AnakJaksel memaksa kita harus mengakui bahwa genarasi muda di negeri ini cenderung menyenangi bahasa asing (khususnya bahasa Inggris). Sikap bahasa mereka sedang melencang kalau tidak dikatakan salah.
Menurut Arifin dan Tasai dalam E. Zaenal Arifin, dkk (2014:50), sikap bahasa setidaknya mengandung tiga ciri pokok, yaitu kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa, dan kesadaran akan norma bahasa. Kesetiaan bahasa adalah sikap yang mendorong suatu masyarakat tutur mempertahankan kemandirian bahasanya, meskipun apabila perlu, sampai terpaksa mencegah masuknya pengaruh asing. Kebanggaan bahasa merupakan sikap yang mendorong seseorang atau sekelompok orang menjadikan bahasanya sebagai lambang identitas pribadi atau kelompoknya, dan sekaligus membedakannya dari orang atau kelompok yang lain. Adapun kesadaran akan adanya norma bahasa adalah sikap yang mendorong pengguna bahasa untuk menggunakan bahasa Indonesia secara cermat dan tepat sesuai dengan kaidah kebahasaan yang berlaku (ejaan, diksi, struktur, kalimat, danpenalaran), serta santun. Kesadaran demikian itu merupakan faktor yang sangat menentukan perilaku penutur dalam wujud pemakaian bahasa.
Perilaku penutur dalam pemakaian bahasa di #AnakJakarta jelas sangat memprihatinkan. Dengan mencampur penggunaan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris yang sepotong-sepotong tersebut menunjukkan tanda bahwa mereka terindikasi tidak memiliki kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa, dan kesadaran akan norma bahasa. Lebih memprihatinkan lagi malah dipopulerkan oleh tokoh/publik figur baik artis maupun tokoh masyarakat bahkan tokoh politik.
Kita tentu mempertanyakan motif dari sebagian masyarakat terutama generasi muda berbuat demikian, bahkan semakin menjalar seperti penyakit menular. Apakah hanya sekedar iseng atau ada motif lain? Entah sekedar iseng atau ada motif-motif lainnya tetapi yang jelas sikap tersebut adalah sikap negatif terhadap bahasa Indonesia yang jika tidak mendapat perhatian yang serius akan memberi dampak negatif pula terhadap eksistensi bahasa Indonesia justru di negara Indonesia itu sendiri. Menurut Moeliono dalam E. Zaenal Arifin, dkk (2014:51) menyimpulkan bahwa adanya enam sikap negatif terhadap bahasa Indonesia di kalangan orang Indonesia. Keenam sikap negatif itu adalah (1) sikap meremehkan mutu, (2) sikap yang suka menerabas, (3) sikap tunaharga diri,(4) sikap yang menjauhi disiplin bahasa, (5) sikap yang enggan memikul tanggung jawab, dan (6) sikap yang suka melatah.
Diakui atau tidak jelas bahwa penggunaan komunitas masyarakat dalam #AnakJakarta dan sebagian kalangan masyarakat yang belakangan semakin marak mencampur-campur bahasa Indonesia dengan potongan-potongan kata atau kalimat bahasa Inggris adalah sikap negatif sebab terindikasi meremehkan mutu bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi nasional. Mereka menerabas kaidah dan tata bahasa indonesia yang telah ditentukan atau dibakukan, merasa lebih percaya diri dan merasa dihargai dengan berbahasa campuran yang dipotong-potong tersebut daripada menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mereka mengabaikan aturan dan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar serta tidak peduli dalam menjaga dan mengembangkan bahasa Indonesia sebagai Bahasa resmi negaranya.Penomena ini tentu tidak dapat dibiarkan tanpa adanya langkah-langkah yang konkret dan sistematis untuk menegakkan kembali kebanggaan berbahasa Indonesia yang merupakan bahasa resmi negara di hati sikap dan perilaku masyarakat Indonesia khususnya generasi milenial yang akan memegang tongkat kepemimpinan di masa yang akan datang. Langkah konkret artinya nyata dan harus segera dilakukan tidak hanya sebatas wacana dan angan-angan. Langkah sistematis artinya terencana dan dilakukan secara berkesinambungan dengan melibatkan berbagai pihak yang bekerja bersama-sama saling mengisi dan melengkapi untuk mencapai tujuan yaitu penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar yang dilakukan dengan sadar dan bangga.
Setidaknya ada 5 langkah-langkah nyata dan sistematis yang perlu dilakukan oleh berbagai pihak untuk menegakan marwah bahasa Indonesia di hati, sikap dan perilaku masyarakat Indonesia khususnya generasi milenial. Pertama pemerintah wajib lebih serius dalam peningkatan pembinaan dan pengembangan Bahasa Indonesia sampai menjangkau seluruh lapisan masyarakat, bila perlu sampai ke tingkat RT.
Kedua, pemerintah memberikan klarifikasi secara resmi melalui pusat bahasa terkait isu dan penomena perkembangan bahasa di masyarakat khususnya yang mereduksi mutu dan wibawa bahasa Indonesia untuk memberi pemahaman kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat membentengi diri agar tidak terseret.
Ketiga, para guru, dosen, ustadz dan setiap orang yang terlibat dalam dunia pendidikan dalam berinteraksi dilingkungan pendidikan, baik di dalam kelas maupun di luar kelas hendaknya menggunakan bahasa Indonesia formal sehingga para siswa/santri yang umumnya generasi muda mendapat contoh riil penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Keempat, Para pejabat, tokoh masyarakat, tokoh politik yang merupakan panutan bagi masyarakat termasuk dalam cara mereka berbicara hendaknya dengan penuh kesadaran ketika berbicara di ruang publik menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sebelum berbicara lebih baik menata dan menyaring kata-kata dan kalimat yang akan disampaikan di depan masyarakat.
Langkah kelima, adalah peran media massa baik cetak, elektronik, maupun media online sangat besar dalam mempublikasikasan bahasa Indonesia yang baikdan benar sesuai dengan keperluan tanpa harus mengesampingkan kaidah dan norma berbahasa indonesia yang baik dan benar. Publikasi ini tentunya dapat dilakukan baik secara langsung yaitu melalui program-program khusus tentang pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia maupun secara tidak langsung yaitu penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar melalu tayangantayangan program lainya seperti film tv, sinetron, talkshow, berita dan lain-lain.
Di samping sebagai media publikasi media massa juga berperan sebagai media kontrol bila ada perkembangan penggunaan bahasa yang menyimpang’ Langkah keenam yang paling mendasar adalah kesadaran dan kemauan seluruh masyarakat untuk ikut melestarikan dan mengembangkan Bahasa Indonesia dengan penuh kebanggaan dan tanggung jawab serta rasa memiliki.
Dengan demikian maka masyarakat dapat dengan sukarela dan otomatis tergerak untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Di Era Globalisasi arus masuknya informasi termasuk bahasa tidak dapat dibendung oleh seluruh negara di dunia termasuk Indonesia yang tentunya membawa dampak baik positif maupun negatif. Dari segi bahasa menurut Sudarsono dalam E. Zaenal Arifin, dkk (2014:79) masuknya bahasa asing ke negara kita mempunyai dampak positif dan dampak negatif terhadap masyarakat dan bahasa Indonesia. Dampak positif yang diperoleh adalah bertambahnya kosakata melalui penyerapan bahasa asing yang memang diperlukan karena kosakata itu tidak ada dalam bahasa Indonesia. Dampak negatifnya terlihat, terutama dalam dasawarsa terakhir ini, pada sikap sebagian masyarakat yang merasa bangga menggunakan bahasa asing secara sepotong-sepotong, alih-alih menggunakan bahasa Indonesia secara utuh dalam bekomunikasi dengan lawan bicaranya.
Sikap positif terhadap bahasa Indonesia harus terus ditumbuhkan di setiap dada masyarakat Indonesia terutama kaum milenial. Menurut E. Zaenal, dkk (2014: 52) Menumbuhkan sikap terhadap bahasa Indonesia yang merupakan tujuan upaya pembinaan itu sama sekali tidak boleh ditafsirkan bahwa kita dilarang menggunakan bahasa asing. Kita bahkan dianjurkan untuk menguasai dan memanfaatkan bahasa asing untuk (1)memperlancar komunikasi denganbangsa lain, (2)menyerap informasi ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern untuk keperluan pembangunan nasional, (3)memperluas wawasan dan cakrawala pandang bahasa kita.
Penggunaan bahasa Inggris dalam masyarakat global memang mutlak diperlukan, tetapi penguasaan bahasa tersebut, baik secara lisan maupun tulisan, tidak berarti bertabrakan dengan kepentingan nasional lainnya yang lebih tinggi prioritasnya, yaitu pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Kita hendaknya bijak dalam menggunakan bahasa yang kita kuasai dengan utamakan bahasa Indonesia, lestarikan Bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing.