MEMBANGKITKAN DAYA NALAR PESERTA DIDIK
Oleh : Yayat Supriatna, M.Pd.
Guru pada MAN 2 Kota Bogor
Tahun 2019 sampai dengan 2020 merupakan tahun yang dapat dikatakan sebagai masa naiknya suhu politik Indonesia, walaupun pesta gelaran demokrasi pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan legislatif baik tingkat nasional maupun Kota/Kabupaten serta propinsi telah usai, kenaikan suhu terjadi karena adanya aksi demonstrasi yang dilakukan oleh elemen masyarakat seperti kelompok masyarakat, organisasi buruh, mahasiswa bahkan pelajar.
Demonstrasi dilakukan sebagai bentuk reaksi terhadap adanya kebijakan yang dianggap tidak sesuai dengan harapan masyarakat, seperti penolakan terhadap RUU KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), Revisi UU KPK pada tahun 2019, serta penolakan terhadap ditetapkannya Omnibuslaw UU Cipta Kerja oleh DPR pada tanggal 5 Oktober 2020.
Kegiatan Demonstrasi yang paling menarik perhatian dalam kurun waktu dua tahun terakhr adalah adanya keterlibatan para pelajar, bahkan melalui kegiatan demonstrasi tersebut para pelajar yang selama ini saling bersitegang dan melakukan aksi tawuran sementara waktu melakukan semacam moratorium terhadap aksi tawuran, penulis yang kebetulan adalah anggota satgas pelajar Kota Bogor dapat melihat secara jelas mereka bergandengan tangan seolah olah tidak ada persoalan apapun, padahal selama ini mereka adalah dua kelompok pelajar yang tidak pernah mengenal istilah damai yang pada akhirnya menimbulkan korban luka bahkan jiwa diantara kedua kelompok yang berseteru.
Para pelajar yang terlibat demonstrasi tersebut seolah olah memiliki nyali yang luar biasa, mereka memblokade jalan, menaiki pagar bahkan melakukan ejekan dan perlawanan terhadap aparat kemanan yang sedang bertugas melakukan pengamanan.
Tindakan para pelajar tersebut tentunya mengundang keprihatinan dan komentar dari berbagai kalangan diantaranya adalah guru besar fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada Prof.Drs. Koentjoro, MBSc., Ph.D. sebagaimana yang dilansir oleh media Kompas.com pada tanggal 25 September 2019 menyebut bahwa aksi pelajar tersebut merupakan bentuk konformitas dengan kelompoknya sebagi bentuk kesetiakawanan, sehingga atas dasar tersebut mereka berangkat ikut unjuk rasa karena takut tidak disebut sebagai bagian dari kelompoknya. Sementara pengamat Pendidikan Darmaningtyas sebagaimana dilansir oleh media yang sama pada tanggal 2 Oktober 2019 mengatakan bahwa unjuk rasa yang melibatkan siswa sekolah, adalah merupakan bentuk pelanggaran terhadap perlindungan anak, sehingga apapun alasannya tidak bisa diterima oleh akal sehat, sekolah yang terlibat layak diberikan sanksi.
Peristiwa unjuk rasa atau demonstrasi dalam rangka penolakan omnibuslaw UU Cipta Kerja yang berujung rusuh, Polda Metro Jaya sebagaimana dilansir oleh media Viva.co.id pada tanggal 14 Oktober 2020 menyatakan bahwa 80% yang diamankan merupakan pelajar termasuk pelajar SMP, bahkan di kota Bogor yang di amankan oleh satgas Pelajar Kota sebanyak 240 pelajar, diantaranya adalah kelas 6 SD, selain pelajar SMP/MTs, SMA/SMK dan MA.
Maka berkaitan dengan aksi pelajar tersebut tentu saja menjadi bahan pertanyaan dikalangan masyarakat, apakah Tindakan mereka melakukan demonstrasi adalah merupakan hasil insiatif mereka sendiri atau ada kekuatan tertentu yang mengorganisir mengingat aksi mereka dilakukan secara masif hampir di seluruh wilayah yang menjadi tempat terjadinya kegiatan demonstrasi.
Kegiataan demonstrasi yang dilakukan oleh pelajar tentunya mengandung dua implikasi baik positif maupun negatif, implikasi negatif yang akan terjadi adalah rentan dengan adanya penyusupan terhadap mereka untuk kepentingan tertentu yang berdampak pada Tindakan yang merugikan sebagai akibat kepolosan mereka yang tidak memahami situasi sesungguhnya, di sisi lain hal postif adalah munculnya kesadaran mereka terhadap hak dan kewajiban sebagai warga negara.
Namun demikian aksi unjuk rasa atau demonstrasi yang dilakukan oleh para pelajar yang bersamaan dengan orang dewasa tentunya bukan tindakan yang dapat dibenarkan, karena demonstrasi yang dilakukan menimbulkan adanya kerawanan yang dapat berujung pada kekerasan yang dapat terjadi kepada para pelajar atau peserta didik yang mengikuti aksi tersebut, selain itu mereka masih memiliki kewajiban yang paling utama yaitu belajar dibawah bimbingan dan pengawasan orang tua dan guru, apalagi aksi yang dilakukan ditengah pandemi covid 19 yang tentu saja sangat rentan dengan penularan virus tersebut yang berakibat sangat membahayakan Kesehatan dan keselamatan mereka.
Terhadap pelajar yang terlibat aksi bahkan sampai melakukan perusakan tentunya menjadi bahan perbaikan untuk kita sebagai guru, pemberian sanksi terhadap pelajar yang melakukan aksi bukanlah solusi efektif, karena bagaimanapun mereka harus tetap mendapatkan arahan dan bimbingan yang baik dari sekolah maupun madrasah.
Berdasarkan Permendikbud No 82 tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di lingkungan satuan Pendidikan pada pasal 8 ayat (1) huruf c menyatakan bahwa satuan Pendidikan wajib menjamin keamanan, keselamatan dan kenyamanan bagi peserta didik dalam pelaksanaan kegiatan/pembelajaran di sekolah maupun kegiatan sekolah di luar satuan pendidikan, Kemudian dalam huruf d dinyatakan satuan pendidikan wajib segera melaporkan kepada orangtua/wali termasuk mencari informasi awal apabila telah ada dugaan/gejala akan terjadinya tindak kekerasan yang melibatkan peserta didik baik sebagai korban maupun pelaku
Maka dengan demikian sangat jelas bahwasannya keterlibatan pelajar pada aksi unjuk rasa atau demonstrasi yang bergabung dengan orang dewasa atau dengan kelompok massa lainnya, sangatlah rawan jika dilakukan karena dapat menjadi objek eksploitasi kepentingan tertentu yang ingin aksi berjalan secara anarkis, dengan demikian satuan Pendidikan baik sekolah ataupun madrasah memiliki kewajiban untuk melakukan tindakan pencegahan.
Satuan Pendidikan melalaui tenaga pendidik atau guru memilki peranan yang sangat berarti terhadap persoalan tersebut, berdasarkan fakta dilapangan yang ditemukan oleh penulis hampir rata-rata mereka yang akan ikut serta melakukan demonstrasi tidak memahami betul apa yang menjadi inti persoalannya, mereka hanya berbekal pesan dan informasi dari media social seperti Facebook, Instagram, WA group, line ataupun media social sejenis lainnya.
Tentunya ini menjadi persoalan tersendiri bagi guru yang berada di lapangan, bahwasannya mereka tidak dapat memamahi sepenuhnya informasi yang mereka terima, untuk itu peranan guru sangat berarti dalam mengatasi sikap dan pemahaman para peserta didik, sehingga besar harapan kedepan mereka bersikap didasarkan atas dasar kerangka berfikir atau nalar yang baik dalam memahami setiap persoalan, bukan karena adanya paksaan atau informasi yang sifatnya hoax dan menyesatkan.
Tindakan Pelajar untuk melakukan aksi unjuk rasa atau demonstrasi sesungguhnya bukan hal yang tabu jika dilakukan dalam koridor yang tepat bahwa kegiatan tersebut murni dilakukan karena didorong oleh pemahaman peserta didik terhadap keadaan atau situasi yang dianggap tidak sesuai dengan harapan. Menyatakan sikap atau pendapat merupakan hak konstitusional bagi setiap warga negara termasuk peserta didik, sebagaimana tercantum didalam UUD 1945 Pasal 28 yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang” serta didalam BAB X A tentang Hak Asasi Manusia pada pasal 28 E ayat (2) “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya “ dan ayat (3) “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat “.
Greta Thunberg seorang anak SMP yang baru berusia 15 tahun memutuskan untuk membolos dan melakukan aksi demonstrasi di depan Parlemen Swedia, ia menuntut para politisi dunia untuk mel;akukan lebih banyak hal terhadap lingkungan yang pada akhirnya menjadikan dirinya sebagai icon global kampanye perubahan lingkungan, selain itu ada Ema Gonzales seorang siswi SMA yang lolos dari maut kasus penembakan masal di Florida Amerika Serikat, memimpin aksi unjuk rasa anti senjata.
Mereka merupakan contoh bagaimana seorang anak yang notabene pelajar sudah memiliki sikap dan prinsip terhadap keadaan atau situasi yang terjadinya di negaranya, mereka bersikap didasarkan atas kesadaran pribadi yang memiliki kepedulian untuk suatu perubahan yang lebih baik. Tentunya keberanian mereka tidak lepas dari budaya ataupun kebiasaan yang lahir dari negaranya yang menitik beratkan pada kebebasan inividu, salah satu diantaranya persoalan kebebasan berekspresi yang merupakan bagian dari Hak Azasi Manusia.
Kembali pada persoalan aksi demo pelajar yang berujung anarkis tentu menjadi pekerjaan rumah tersendiri, untuk sekolah ataupun madrasah khususnya para guru, . Guru tentunya dituntut untuk dapat mengurai persoalan ini agar tidak terulang, serta meluruskan apa yang selama ini dianggap kurang tepat dalam menyampaikan harapan ataupun pendapatnya.
Maka apa yang harus dilakukan oleh guru tentu akan Kembali pada bagaimana guru mengelola kegiatan pembelajarannya, karena bagaimanapun kualitas seorang peserta didik akan tercermin pada bagaimana kualitas pembelajaran itu berjalan. Guru sebagai garda terdepan dalam bidang Pendidikan memiliki tugas dan tanggung jawab luar biasa dalam mempersiapkan generasi tangguh di masa yang akan datang khususnya pada abd 21 terutama di era revolusi industri 4.0 dengan ditandai pesatnya teknologi komunikasi dan informasi. Peserta didik dipastikan harus memiiliki kecakapan atau keterampilan yang dapat diandalkan dalam menyongsong kehidupannya.
Maka dalam rangka mempersiapkan generasi yang handal di abad 21 tersebut UNESCO memberikan empat pilar pendidikan yang terdiri atas learning to know (belajar mencari tahu), learning to do (belajar untuk mengerjakan), learning to be (belajar untuk menjadi pribadi), dan learning to live together in peace (belajar untuk hidup berdampingana dalam kedamaian). Tetapi untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, tidak cukup dengan empat pilar tersebut, maka dalam pendidikan di Indonesia ditambah dengan dengan pilar pendidikan “belajar untuk memperkuat keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia”.
Guru dipastikan harus dapat mengelola pola pembelajaran yang efektif dan efisien untuk bisa menghantarkan peserta didiknya menjadi pribadi yang berkualitas dan sukses, berpijak pada kejadian aksi unjuk rasa atau demonstrasi yang terjadi maka peserta didik harus memiliki keterampilan atau kecakapan dalam mengolah nalar atau daya berfikirnya, sehinga mereka tidak tersesat oleh pemikiran yang sempit yang dapat dimanfaatkan oleh orang yang memiliki kepentingan sesaat.
Keterampilan atau kecakapan yang dimaksud adalah bagaimana guru dapat dengan tepat menerapkan empat macam komptensi yang ada dalam kurikulum satuan pendidikan yang kita kenal dengan 4C yaitu :
- Kecakapan Berpikir Kritis dan Pemecahan Masalah (Critical Thinking and Problem Solving Skil)
- Kecakapan Berkomunikasi (Communication Skills)
- Kreativitas dan Inovasi (Creativity and Innovation)
- Kolaborasi (Collaboration)
Salah satu keterampilan yang harus dimiliki oleh peserta didik dalam menghadapi kehidupan di era kemajuan teknologi ini adalah kecakapan berfikir kritis dan memecahkan masalah. Sebagaimana yang disampaikan oleh Prof.Darmiyati Zuchdi bahwa keterampilan berfikir kritis dan kreatif, keterampilan memecahkan masalah dan mengambil keputusan sangat diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul dikarenakan kondisi kehidupan yang berubah dengan sangat cepat (2009:124)
Kemampuan mengatasi masalah masalah selain bergantung pada keterampilan berfikir kritis dan kreatif juga pada persepsi seseorang, seseorang tidak mungkin dapat mengatasi masalah apabila tidak menyadari adanya masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan.
Maka guru memiliki peranan yang sangat strategis dalam melatih peserta didik agar memiliki keterampilan berfikir krtis dan keterampilan untu memecahkan masalah, sehingga peserta didik memiliki kedasaran penuh terhadap sebuah persoalan yang terjadi.
Agar peserta didik memiliki keterampilan berfikir kritis dan mamupu memecahkan masalah maka guru dapat mempergunakan model pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) ataupun model pembelajaran berbasis masalah (Problem base learning) seperti yang disampaikan oleh Dale H. Schunk bahwa pemecahan masalah merupakan salah satu jenis pengolahan kognitif yang penting selama pembelajaran (2012:416), misalkan pada persoalan omnibuslaw UU Cipta Kerja, guru dapat mengajak perserta didik menelaah persoalan tersebut, atau contoh persoalan lainnya sesuai dengan keadaan atau situasi yang sedang terjadi. Dengan demikian di satu sisi peserta didik dapat menyalurkan pemikiran dan aspirasi yang dirasakan oleh dirinya terhadap persoalan yang sedang terjadi, sehingga guru dapat mengarahkan secara baik dan tepat.
Maka melalui pola pembelajaran yang dibuat oleh guru tersebut, dengan sendirinya diharapkan peserta didik senantiasa dapat berfikir secara logis dan solutif ketika menghadapi persoalan yang terjadi, sehingga segala bentuk pengaruh yang datang secara langsung ataupun tidak langsung melalui pemanfaatan tekhnologi baik dari media social ataupun cetak mereka akan dapat menyaring secara baik dan benar, sehingga segala tindakan yang dilakukan betul betul merupakan hasil dari pemikiran atau nalar yang matang dan terukur serta dapat dipertanggung jawabkan yang pada akhirnya mereka akan menjadi pribadi yang baik dan bertanggung jawab untuk menjadi manusia Indonesia seutuhnya.
Sumber :
- Schunk H. Dale.2012. Teori-teori Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
- Zuchdi Darmiyati.2008.Humanisasi Pendidikan.Jakarta: Bumi Aksara
- Panduan Implementasi kecakapan abad 21 Kurikulum 2013. Direktorat pembinaan sekolah menengah atas direktorat jenderal pendidikan dasar dan menengah kementerian pendidikan dan kebudayaan tahun 2017
- https://www.kompas.com/tren/read/2019/09/25/190300765/pelajar-ikut-demo-kenapa-mereka-lebih-berani-dibanding-mahasiswa-
- https://www.bbc.com/indonesia/majalah-50697434
- https://www.grid.id/read/04197719/emma-gonzales-wanita-korban-penembakan-di-sekolah-florida
- https://www.viva.co.id/berita/nasional/1312171-temuan-ini-buat-polisi-curiga-pelajar-difasilitasi-demo-omnibus-law