Artikel
BAGAIMANA ISLAM MENDIDIK ANAK?

BAGAIMANA ISLAM MENDIDIK ANAK?

Oleh Erna Sari Agusta, S.Pd
Guru pada MTs Negeri 28 Jakarta

Anak merupakan titipan Allah yang kelak akan hidup mandiri dan lepas dari orang tuanya. Karenanya ia harus dibekali dangan keimanan yang kuat dan aturan yang tegas dalam menjalani kehidupan. Begitu pun bagi pendidik, anak adalah amanah yang harus dididik agar kelak ia dapat menjalani kehidupannya dengan bekal pengetahuan dan pengajaran dari sang pendidik. Pada umumnya, orang tua atau pendidik hanya menjadikan buku-buku psikologi sebagai referensi pendidikan bagi anak-anaknya. Jarang sekali diantara mereka yang menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai rujukan dalam menerapkan pendidikan. Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alalmiin mempunyai metode dan cara yang spesifik untuk memperbaiki dan mendidik anak. Cara pendidikannya tentu disesuaikan dengan tingkatan umur dan kematangan berpikir anak tersebut.

Pendidikan yang pertama diberikan adalah dengan kasih sayang dan nasehat. Kasih sayang mempunyai pengaruh positif terhadap perkembangan dan pertumbuhan anak, antara lain: dapat meningkatkan kerja otak, menimbulkan semangat, adanya kedekatan psikis anatara orang tua dan anak, membuat anak lebih terbuka dan percaya diri. Jika orang tua atau pendidik ingin menyuruh anak melakukan kewajibannya maka gunakan kalimat positif dengan intonasi lembut. Jangan sampai memarahi atau membentak anak dengan suara keras. Pendidikan dengan kasih sayang dan nasehat akan menjadikan seorang anak lembut dan santun dalam berbicara dan bersikap di kemudian hari.

Pendidikan dengan kasih sayang dan nasehat ini terdapat dalam Al-Qur’an surat Luqman ayat 11, 17, dan 18. Pada ayat 11 menjelaskan bagaimana Luqman berlaku lemah lembut dalam menasehati anaknya dengan menggunakan kata “Wahai anakku…”. Begitupun dengan ayat 17 dan 18, Luqman mendidik anaknya dengan penuh bijaksana, tanpa kekerasan, dan tanpa kesan horor yang menakutkan. Pendidikan dengan kasih sayang dan nasehat ini pun sesuai dengan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim :

“Dari Umar bin Abu Salamah r.a. berkata : ‘ketika masih kecil, aku pernah berada dibawah pengawasan Rasulullah SAW, dan tangtanku bergerak mengulur ke arah makanan yang ada dalam piring. Maka Rasulullah SAW berkata kepadaku, ‘Wahai anak, sebutkanlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu”

Pendidikan berikutnya dapat dilakukan dengan bersikap apatis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), apatis adalah bersikap acuh tidak acuh, tidak peduli, dan masa bodoh, Pendidikan seperti ini lebih dikhususkan kepada anak yang berada pada fase awal usia sekolah dasar. Pada usia ini, anak belajar untuk menemukan identitas dirinya. Orang dan benda disekelilingnya tentu ikut membangun karakter pada dirinya. Semangat untuk mencontoh dan meniru gerak-gerik, gaya bahasa maupun bahasa tubuh orang lain terkadang menjadi hal yang sering dilakukan untuk menemukan dan mengenal siapa dirinya.

Dalam proses identifikasi inilah, seorang anak perlu mendapatkan bimbingan tentang apa yang dia perbuat dan apa yang dia katakan. Jika dalam perkembangannya, anak terlihat menyimpang maka sebagai pendidik dan orang tua sewajarnya untuk menegur. Jika teguran yang diberikan tidak diindahkan dan anak mengulangi kembali perbuatannya maka sewajarnya diberlakukan sikap apatis pada anak tersebut.

Hal ini sesuai dengan kisah berikut:

Dalam sebuah riwayat dikatakan: Kerabat Ibnu Mughaffal yang belum baligh bermain lempar batu. Kemudian ia melarang dan berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang bermain lempar batu dan beliau bersabda, ‘Sesungguhnya lempar batu tidak akan dapat memburu buruan….’Kemudian anak itu kembali bermain. Maka ia berkata, ‘Aku memberitahumu bahwa Rasulullah SAW telah melarangnya, namun engkau terus bermain lempar batu? Maka aku tidak akan mengajakmu bebicara selamanya!”

Sikap apatis ini tentu tidak selamanya, artinya ada batasan waktu sampai anak tersebut tidak mengulangi perbuatan buruknya lagi. Sikap apatis juga tidak diperkenankan untuk hal-hal yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak.

Selanjutnya pendidikan dalam bentuk pemukulan dengan tanpa melukai. Pemukulan pun dilakukan bukan pada area anggota tubuh yang dapat merusak fungsi tubuh dan sistem syaraf. Pendidikan dengan pemukulan ini diperkenankan jika cara-cara sebelumnya tidak menimbulkan efek jera bagi si anak. Pendidikan seperti ini hanya boleh dilakukan bagi anak yang akan memasuki usia akil balig, dimana dia sudah mampu untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Adapun ranah pendidikan yang ditekankan disini adalah yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban dirinya sebagai seorang muslim dan kewajiban dirinya sebagai seorang individu.

Untuk proses pendidikan yang satu ini tentu menuai pro dan kontra terutama dari kalangan masyarakat khususnya pemerhati pendidikan, tetapi inilah cara yang diajarkan Islam melalui Rsulullah SAW sebagaimana dituangkan dalam hadits berikut ini:

Abu Dawud dan Hakim meriwayatkan dari Amr bin Syua’aib dai bapaknya dari kakeknya, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: “Perintahkan anak-anakmu untuk melaksanakan sholat apabila mereka telah berusia tujuh tahun, dan apabila mereka telah berusia 10 tahun, maka pukulnya mereka (apabila tetap tidak mau melaksanakan sholat) dan pisahkan tempat tidur mereka.”

Menginjak remaja tentu banyak problematika yang akan dihadapi anak yang mungkin akan berdampak pada sikap dan perkataan mereka yang kurang baik. Jika seorang anak dalam perkembangannya menunjukkan perilaku menyimpang yang berhubungan dengan masalah kewajibannya kepada Allah, maka sewajarnya pendidik dan orang tua memberikan sanksi yang tegas. Adriano Rusfi, Psi dalam bukunya Smart Parenting (2019) menjelaskan bahwa menghadapi relaita kehidupan anak remaja maka diperlukan pendidikan yang berani dan tegas. Orang tua dan pendidik harus mampu menghadirkan si “Raja Tega” dalam menerapkan aturan agama. Hal ini dimaksudkan agar tertanam penguatan karakter pada diri anak tersebut

Dalam usia akil baligh banyak remaja yang mulai mencari komunitas untuk mengakui keberadaan dirinya. Mereka berteman dengan siapa pun tanpa memandang batasan budaya dan agama. Begitu besarnya dampak dari pergaulan ini terutama dalam masalah iman, maka Islam mengajarkan untuk saling berteman dengan orang-orang muslim yang mencintai karena Allah. Mereka adalah orang–orang yang senantiasa menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya serta mencintai Sunnah Nabi Muhammad SAW. Rasulullah SAW menjelaskan dalam haditsnya sebagai berikut:

Thabrani meriwayatkan dari Ibnu Abbas R.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda “Aspek iman yang terkuat adalah saling berteman di jalan Allah, saling bermusuhan di jalan Allah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.”.

Untuk mewujudkan hal tersebut maka orang tua atau pendidik harus dapat mengarahkan anaknya untuk berteman dengan orang-orang baik dan sholeh agar dapat melakukan aktivitas pergaulan yang baik pula.

Lalu bagaimana dengan anak yang sudah diperingatkan untuk melaksanakan kewajibannya kepada Allah sementara ia masih enggan mengerjakannya?, maka cara mendidiknya yaitu dengan pemboikotan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pemboikotan adalah bersekongkol untuk menolak melakukan kerjasama baik dala berbicara, keikut sertaan, dan sebagainya. Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya yang berjudul Tarbiyatul Aulad fil Islam (2015) menambahkan pemboikotan yang dilakukan orang tua terhadap anak yang melakukan penyimpangan sampai kepada pembatasan ruang gerak dan pemenuhan kebutuhannya. Cara mendidik seperti ini pernah dilakukan Rasulullah terhadap sahabat yang enggan untuk melakukan Perang Tabuk, sedangkan perang tersebut adalah salah satu kewajiban yang harus dilakukan umat Islam saat itu. Dalam hal ini, Rasulullah menyatakan sikap kepada sahabat tersebut melalui hadits berikut ini.

AlBukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW telah melarang kaum muslimin untuk berbicara dengan orang-orang yang tidak ikut Perang Tabuk selama 50 hari/malam. Sampai akhirnya Allah menurunkan wahyu (Al-Qur’an) tentang penerimaan taubat mereka.”.

Tahapan pendidikan pemboikotan dilakukan apabila anak bersikap menyimpang, namun masih berada dalam iman dan Islam.

Lalu bagaimana dengan sikap anak yang secara terang-terangan menentang guru dan orang tuanya, bahkan ia sampai murtad atau keluar dari agama Islam?, maka mengasingkan atau mengusirnya adalah termasuk salah satu tuntunan iman yang paling utama. Firman Allah dalam Surat Al-Mujadalah ayat 22 menyebutkan :

“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu adalah bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, ataupun keluarga mereka.”

Berdasarkan dalil di atas jelas bahwa jika didapati seorang anak yang menentang Allah dan Rasul-Nya maka dapat dibenarkan jika orang tua mengasingkan atau mengusir anaknya yang menentang tersebut dari rumahnya. Jika seorang anak telah menentang Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada satupun yang dapat menyelamatkannya, tidak pula dengan guru dan orang tuanya.

Dalam Surat Hud ayat 45 dan 46 Allah berfirman:

Dan Nuh berseru kepada Tuhannya seraya berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji-Mu itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim seadil-adilnya.’ Allah berfrman, ‘Hai Nuh, sesungguhnya dia bukan keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya perbuatannya tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepadaKu sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikatnya). Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.”

Berdasarkan dalil-dalil diatas, jelas bahwa pendidikan anak dalam Islam sangat tegas serta mempunyai tahapan-tahapan yang disesuaikan dengan tingkatan usia dan kenakalan yang dilakukan oleh anak. Sebagai pendidik atau orang tua sewajarnyalah memakai metode pendidikan anak dalam Islam ini sebagai sebuah referensi dalam membangun sebuah karakter yang dapat menghasilkan akhlakul karimah pada kepribadian anak-anak kita.