Artikel
Beragama Dalam Bingkai Indonesia

Beragama Dalam Bingkai Indonesia

Afif Fauzi, M.Pd.
Guru pada MTs Negeri 1 Kota Tangerang Selatan

Indonesia adalah Negara yang  religius. Sebagai Negara religius, Indonesia mengakui identitas agama bagi warganya. Ada enam identitas agama yang diakui Negara yakni Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu.

Nilai – nilai agama, khususnya Islam,  telah mengilhami dan menjadi sumber energi dari awal pergerakan kemerdekaan sampai perumusan Dasar dan Konstitusi Negara. Ingatlah pekikan takbir Bung Tomo dalam membakar semangat arek-arek Suroboyo dalam melawan penjajah. Takbir yang digelorakan menjadi dorongan kuat melawan penjajah walau penjajah siap dengan panser-panser dan pesawatnya. Pejuang yakin teriakan takbir mengundang pertolongan Allah swt. Ingat pula, Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 yang fatwanya dimotori pendiri Ponpes Tebu Ireng KH. Hasyim Asy’ari yang menjadi pemantik semangat para santri dalam mempertahankan kemerdekaan RI.  Dan berbagai perjuangan para pendiri bangsa yang bergerak mencurahkan segalan daya dan upaya demi utuhnya bangsa yang semuanya terinspirasi dan termotivasi oleh nilai-nilai Agama. Bukti otentik nilai agama sebagai anugerah, rasa syukur keberagamaan itu mereka tuangkan dalam alinea ke-3 Pembukaan UUD 1945.

Nilai-nilai agama itu kemudian tumbuh menjadi karakter dari anak bangsa. Dia hidup di sendi-sendi kehidupan bermasyarakat mewarnai budaya bangsa. Dengan nilai agama itu, masyarakat kita saling gotong royong,  bantu membantu. Dulu mereka terbiasa membangun rumah, jembatan, sarana Ibadah bersama-sama. Sila ketiga benar-benar hadir disana. Budaya saling menghormati juga jelas terwujud disendi kehidupan masyarakat Indonesia. Anak muda membungkukkan badannya ketika melewati yang tua, yang berkendara menyapa pejalan kaki, Ibadah tidak saling mengganggu dan kemudian dengan modal ini Indonesia berlanjut tumbuh sebagai Negara yang aman dan damai dalam keragaman suku, bahasa, bangsa dan agama. Para pendiri bangsa paham betul bahwa keragaman adalah kekuatan, kekayaan, keindahan dan anugrah. Dan, mereka juga memahamipula bahwa ada tantangan dalam merawat keragaman ini. Ada ranah ranah tertentu yang harus dijaga sensitifitasnya. Keragaman itu tidak boleh dibiarkan hidup begitu saja, membiarkan masing masing keragaman tumbuh dengan kuat tanpa intervensi untuk merawatnya sama saja menyimpan bom yang siap meledak dan meluluh lantahkan tenun kebangsaan yang sudah indah dibangun.  Oleh karena itu perlu ikhtiar setiap generasi untuk menjaga keberagaman sehingga tenun kebangsaan ini tetap indah terawat.

Namun, era demi erapun bergulir, waktupun terus berputar, generasi silih berganti dan perkembangan IT tak terbendung sehingga arus informasi mengalir deras. Sense of curiosity atau rasa ingin tahu tentang nilai nilai keagaaman tak hanya lagi didapatkan melalui ta’lim di pondok pesantren, di bangku sekolah, ceramah-ceramah konvensional namun bisa diakses dengan mudah dalam genggaman tangan. Rasa haus keagamaan yang meningkat akhirnya tak berbanding dengan sumber arus informasi yang lurus. Lambat laun, menjamurlah pemahan keagaamaan yang tidak seimbang, condong terlalu kekiri atau ke kanan. Condong kekiri menghasilkan mereka yang kemudian mendewakan akal dan melupakan esensi wahyu, yang kita kenal sebagai paham liberal. Condong ke kanan menghasilkan mereka kaum konservatif, yang tidak memaksimalkan peran akal dalam memahami wahyu yang kemudian terbentuklah kaum ekstrim kanan, berpaham radikal. Pemahaman agama yang mengarah ekstrim seperti ini kemudian menggerus ketentraman, mengusik keutuhan, dan meneror keamanan.

Sebagai bangsa religious maka seharusnya setiap anak bangsa memahami bahwa menjadi warga Indonesia haruslah beragama. Setiap individu harus memiliki agama dan mengamalkan ajaran agamanya, konstitusi telah menjaminnya. Selain dari itu, setiap anak bangsa harus memahmi bahwa nilai ajaran agama adalah nilai yang penuh dengan kebaikan, nilai yang menjaga setiap nyawa, nilai penyemangat bagi yang lemah, nilai yang tidak menebar ujaran benci (hate speech), toleran dengan perbedaan, santun, dan sekumpulan nilai kemanusiaan yang lainnya. Nilai-nilai inilah yang moderat, yang wasathoniyah (tengah), yang seimbang (balance) dan berkeadilan (justice). Tidak terlalu condong kekiri menuju liberal  maupun ke kanan yang menggiring pada ekstrimisme. Nilai yang sudah dicontohkan oleh para pendiri bangsa. Nilai inilah yang menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengaktualisasikan nilai agama inilah cara kita beragama dalam bingkai Indonesia.

Beragama dalam bingkai Indonesia adalah beragama yang moderat. Moderat bukan berarti statis, tapi dinamis. Moderat beragama bukan berarti pula terjebak dalam ritual ibadah yang hanya menguatkan kesolehan personal, tapi dia menyeimbangkannya dengan membangun kesolehan sosial. Moderat dalam beragama dia tidak mengejar akhirat dan mengabaikan urusan hariannya dalam masyarakat. Tapi moderat agama adalah dengan penuh kegigihan menjadikan agama untuk pemacu dia bergerak mencipatakan potensi kebaikan yang bisa dinikmati, dirasakan oleh umat manusia.

Ada beberapa indikator dalam Bergama dalam bingkai Indonesia atau moderasi beragama. Menurut Tim Penyusun Kemenag dalam buku Moderasi Beragama menjelaskan “Indikator moderasi beragama adalah Memiliki Komitmen Kebangsaan, Menunjukan Sikap Toleran, Anti Kekerasan , dan Akomodatif terhadap Budaya Lokal. (Balitbang:2019). Memiliki Komitmen kebangssaan adalah sudah selesainya pembahasan bahwa Negara ini adalah berdasar Pancasila. Tidak membuka celah keraguan akan dasar ini dan komitmen nilai Pancasila sebagai nilai yang dipakai dalam berinteraksi antar anak bangsa. Dengan komitmen kebangsaan ini tidak membenturkan Pancasila dengan agama apapun, tidak membandingkan pancasila dengan sumber apapun, karena pancasila yang dilahirkan di tanggal 01 Juni 1945 adalah sebuah dasar Negara yang sangat selaras dengan nilai Agama, terinspirasi dari nilai Agama, dan hadir untuk melaksanakan perintah Agama.

Indikator berikutnya adalah Menunukan sikap toleran. Merasa diri benar itu tidak masalah, namun merasa diri paling benar itu bisa berbuah masalah. Merasa diri pintar itu boleh saja, tapi merasa diri paling pintar dan membodohkan yang lain itu jadi masalah. Pribadi moderat adalah pribadi yang tidak merasa “Paling”. Dia berpendapat bagus, namun membuka celah bahwa mugkin ada yang lebih bagus. Dia berpendapat benar namun tidak memaksa orang untuk sependapat dengannya. Agama yang dianutnya memang adalah benar namun mengizinkan orang lain mengamalkan agama sesuai dengan keyakinannya. Elegansi dalam menghargai perbedaan dalam masyatakat ini adalah indikator pribadi yang moderat. Hal tidak kalah pentingnya anti kekerasan. Kekerasan dengan merusak tempat, dengan melukai siapapun adalah sebuah pelanggaraan besar, apalagi membawa agama sebagai alibinya. Agama apapun terlebih agama Islam pesan utamanya adalah peace, kedamaian. Tidak ada pesan agama yang mengarahkan umatnya untuk bertengkar, merusak, menghakimi terlebih dengan kekerasan. Mereka yang beragama dalam bingkai Indonesia adalah pribadi yang jauh dari sikap ini. Mereka menjembatani konflik. Mereka mediator dari masalah bukan pencipta masalah. Agama yang dianut menggiringnya pada kedamaian hati, ketenangan pikiran, keernihan berfikir dan orientasi pada kemaslahatan. Bagi mereka yang mampu mengaktualisasikan nilai-nilai ini mereka telah berkontribusi untuk menjaga Indoensia. Aktualisasi ini bisa sempurna teradi di masyarakt pemahaman keagaan yang moderat dibangun bersama.

Membangun pemahaman agama yang moderat menjadi sangat penting untuk terus disosialisasikan dan diseminasikan. Karena arus informasi yang bertebaran, berbagai berita pemerkeruh kehidupan seperti  hoaks, fitnah, terus digemboskan oleh oknum-oknum yang tidak senang melihat masyarakat Indonesia hidup harmoni dalam keberagaman.

Sebagai tangan kanan pemerintah yang mengurus bidang keagamaan bangsa, maka Kementerian Agama juga tidak lepas tangan, atau berpangku tangan, atau angkat tangan. Tetapi jelas turun tangan dalam membina masyarakat untuk beragama dalam bingkai Indonesia, untuk moderat dalam beragama. Dalam berbagai kesempatan juga, kementerian agama mengkampanyekan Islam sebagai ummatan wasathoniyah. Ummat yang menampilkan wajah agama yang  ramah, sejuk, damai dan bahagia. Berbagai event telah digaungkan untuk tercapainya tujuan ini. Di beberapa daerah termasuk di Kementerian Agama Kota Tangerang Selatan aktif menyelenggarakan kegiatan Seminar Penguatan Wawasan Kebangsaan  yang mendorong ASNnya untuk menjadi garda terdepan dalam meyakini, memahami dan menginternalisasikan  sekaligus juru kampanye ruh moderasi beragama baik dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Ikhtiar itu semua upaya pemerintah dalam menciptakan bangsa ini menjadi besar dan dalam naungan Rahmat Allah swt. semoga.