Artikel
Belajar Tentang Belajar

Belajar Tentang Belajar

Oleh : Ika Berdiati
Widyaiswara BDK Jakarta

Hakikat Belajar dan Pembelajaran
Dalam dunia pendidikan, belajar dapat dimaknai sebagai suatu proses yang  menunjukkan adanya perubahan yang sifatnya positif sehingga pada tahap akhirnya akan didapat keterampilan, kecakapan dan pengetahuan baru yang didapat dari akumulasi pengalaman dan pembelajaran. Hasil dari proses belajar tersebut diindikasikan dengan  prestasi dan hasil   belajar.

Gagne mengemukakan bahwa,“Learning is change in human disposition or capacity, wich persists over a period time, and which is not simply ascribable to process a groeth. Artinya belajar adalah perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia setelah belajar secara terus menerus, bukan hanya disebabkan karena proses pertumbuhan saja. Gagne mengemukakan  bahwa belajar dipengaruhi oleh faktor dari luar diri dan faktor dalam diri dan keduanya saling berinteraksi.

 Selanjutnya Soejanto menyatakan bahwa belajar adalah segenap rangkaian aktivitas yang dilakukan dengan penambahan pengetahuan secara sadar oleh seseorang dan mengakibatkan perubahan dalam dirinya yang menyangkut banyak aspek, baik karena kematangan maupun karena latihan. Perubahan ini memang dapat diamati dan berlaku dalam waktu relatif lama. Perubahan yang relatif lama tersebut disertai dengan berbagai usaha.

Belajar pada hakikatnya merupakan proses kegiatan secara berkelanjutan dalam rangka perubahan tingkah laku peserta didik secara konstruktif yang mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.

Proses belajar di sekolah  adalah proses yang sifatnya kompleks,  menyeluruh, dan berkesinambungan.  Banyak  komponen dapat mendukung  proses pembelajaran  agar terselengara dengan  efektif.  Guru berperan sebagai pengelola proses belajar-mengajar, bertindak sebagai fasilitor yang berusaha menciptakan kondisi belajar mengajar yang efektif, mengembangkan bahan pelajaran dengan baik, dan meningkatkan kemampuan peserta didik untuk menyimak pelajaran dan menguasai tujuan-tujuan pendidikan yang harus mereka capai. Untuk memenuhi hal tersebut, guru dituntut mampu mengelola pembelajaran yang memberikan rangsangan kepada peserta didik sehingga ia mau belajar, karena peserta didiklah subyek utama dalam belajar.

Pembelajaran secara harfiah berarti proses belajar. Pembelajaran dapat dimaknai sebagai proses penambahan pengetahuan dan wawasan melalui rangkaian aktivitas yang dilakukan secara sadar oleh seseorang dan mengakibatkan perubahan dalamdirinya, sehingga terjadi perubahan yang sifatnya positif, dan pada tahap akhir akan didapat keterampilan, kecakapan dan pengetahuan baru.

Kurikulum yang sedang diimplementasikan, mengisyaratkan bahwa kegiatan pembelajaran merupakan proses pendidikan yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi mereka menjadi kemampuan yang semakin lama semakin meningkat dalam sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan dirinya untuk hidup dan untuk bermasyarakat, berbangsa, serta berkontribusi pada kesejahteraan hidup umat manusia. Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran diarahkan untuk memberdayakan semua potensi peserta didik menjadi kompetensi yang diharapkan.

Selanjutnya Winkel menjelaskan bahwa pembelajaran merupakan seperangkat tindakan yang dirancang untuk mendukung proses belajar peserta didik, dengan memperhitungkan kejadian-kejadian eksternal yang berperan terhadap rangkaian kejadian-kejadian internal yang berlangsung di dalam peserta didik.

Depdiknas menjelaskan bahwa pembelajaran dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pembelajaran bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pembelajaran itu dan membentuk makna melalui pengalaman nyata.

Beberapa ahli  bersetuju bahwa untuk meraih prestasi yang tinggi dalam belajar, seseorang harus memiliki intelligence quotient (IQ) yang tinggi, karena inteligensi merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam belajar dan pada gilirannya akan menghasilkan prestasi belajar yang optimal. Namun banyak juga ahli mengungkapkan bahwa seorang dikatakan cerdas bukan hanya karena kemampuannya memahami sesuatu tetapi bagaimana seseorang mampu mengembangkan dirinya secara afektif dan psikomotorik. Sebagai contoh, bagaimana seseorang pembelajar dapat menjadi kreatif, dapat berinovasi, bekerjasama dengan baik, dan mempunyai daya juang dari pembelajaran yang diikutinya. Untuk mencapai hal tersebut, maka proses belajar sebaiknya dikemas dalam upaya meraih prestasi belajar secara afektif, kognitif, dan psikomotorik yang memuaskan. Hasil dari proses belajar tersebut tercermin dalam prestasi belajarnya.

Tujuan pembelajaran pun sebaiknya berorientasi  pada pengembangan  kehidupan intelektual peserta didik supaya kelak sebagai orang dewasa memiliki kemampuan berpikir seperti yang diharapkan dari orang dewasa secara ideal, yaitu diantaranya mampu berpikir logis, obyektif, kritis, sistematis analitis, sintetis, integratif dan inovatif.

PermendikbudRistek RI Nomor 16 Tahun 2022 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah menyatakan bahwa, proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didikuntuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik, yang tercakup dalam perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran.

Beberapa Konsep tentang Belajar
Mengubah  mindset (baca; pola pikir) guru  dalam mengemas pembelajaran bukan perkara mudah. Lamanya pengalaman  mengajar tidak menyebabkan berubahnya pola berpikir guru dari gaya “mencekoki” peserta didik  pada gaya “membelajarkan” peserta didik. Banyak guru yang tak lagi mengasah dan memperluas wawasannya tentang bagaimana anak mampu belajar dan menyerap pengetahuannya sampai akhirnya mereka mampu belajar dengan efektif. 

Belajar tentang belajar. Artinya seorang guru harus mau dan tak henti-hentinya belajar tentang bagaimana peserta didik belajar. Bagaimana perilaku peserta didik dapat berubah secara signifikan melalui proses belajar yang dilakukan bersama guru secara efektif.

Guru sebagai  seorang desainer sebaiknya mau dan mampu menguasai berbagai teori tentang belajar untuk  mendasarinya berpikir dan berstrategi dalam pembelajaran. Teori-teori belajar di bawah ini  menjadi  penting dikuasai oleh seorang guru agar dapat membekali pengetahuan dan wawasan  bagaimana peserta didiknya belajar.

Behaviorisme dalam Pembelajaran
Menurut pemikiran behavioristik, belajar dianggap efektif apabila terjadi perubahan tingkah laku. Gage dan Berliner memprakarsai teori tentang perubahan tingkah laku ini sebagai hasil dari pengalaman, menekankan pada terbentuknya perilaku yang bermuara pada hasil belajar.

Teori behavioristik berkembang dengan teori S-R (stimulus- respon). Belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pembelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pembelajar  terhadap stimulus yang diberikan  oleh guru.

Teori di atas didukung oleh Thorndike, bahwa belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinyakegiatan belajarseperti pikiran,gagasan, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang  dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan.

Paham behavioristik juga menganggap suatu yang penting dan berpengaruh untuk perubahan tingkah laku dalam belajar adalah reinforcement(penguatan).Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement), maka respon akan semakin kuat.

Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pembelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah.

Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pembelajar. Fungsi pikiran adalah untuk mengadaptasi struktur pengetahuan yang sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pembelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh peserta didik. A yang diajarkan oleh guru, maka A juga yang harus diserapkan oleh pembelajar.

Demikian dalam paham behavioristik, pembelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik semampu mungkin mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pembelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar, pembelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati,  kurang dijangkau dalam proses evaluasi.

Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pembelajar untuk berkreasi, berinovasi, dan bereksperimen mengembangkan kemampuannya sendiri. Pembelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.

Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan. Sedangkan belajar sebagai aktivitas meminta pembelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes.

Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada keterampilan yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib sebagai acuan  dengan penekanan pada keterampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut, kemudian  kegiatan dievaluasi  dengan  menekankan pada hasil belajar.

Teori ini mengarahkan evaluasi pada kemampuan pembelajar secara individual, dan biasanya menggunakan tes tertulis. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar, dipandang sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran.

Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Pada empat abad sebelum Masehi,  Sokrates telah menggulirkan paham kontruktivisme, dengan mengembangkan metode belajar berdasarkan penemuan. Ini disebut sebagai metode dialetik dengan menerapkan percakapan antara guru dan pembelajar. Guru menanyakan sesuatu pada pembelajar yang menuntut pembelajar menganalisis pengetahuanya.

Sokrates mengembangkan cara berpikir induktif. Pembelajar diminta untuk merumuskan pengetahuannya dari hasil penemuan-penemuan ide dan gagasan. Pemikiran Sokrates ini diikuti oleh muridnya Plato dan diteruskan oleh Aristoteles.

Kontruktivisme dalam belajar dimaknai juga sebagai experimental learning, yang merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkret di lapangan, di laboratorium, berdiskusi dengan teman dan dikembangkan menjadi pengetahuan, konsep dan ide baru. Peserta didik sebagai subjek pembelajaranlah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai pembelajar.

Menurut Vygotsky yang menganut konstruktivisme, pengertian ilmiah tidak datang dalam bentuk yang jadi pada seorang anak. Pengertian ilmiah tersebut mengalami perkembangan dan bergantung pada tingkat kemampuan anak untuk menangkap suatu model pengertian yang lebih  ilmiah.

Sejalan dengan paham konstruktivisme, pada abad ke-16, Johann Amos Comenius dan Wolfgang Ratke menyarankan sebaiknya pengajaran dilaksanakan dari yang sederhana kepada yang majemuk, dari yang konkret ke yang abstrak, benda dahulu baru kaidah, analisis dulu baru konstruksi. Belajar dengan mengingat hanya untuk hal-hal yang berguna.

Pendapat yang sepaham dikemukakan oleh Tyler yang dikutip oleh Jauhar menjelaskan bahwa implementasi teori belajar kontruktivisme dengan runtutan cara sebagai berikut:

  1. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri;
  2. Memberi kesempatan kepada siswa untuk berpikir tentang pengalamannya sehingga lebih kreatif dan imajinatif.;
  3. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru;
  4. Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan  yang telah dimiliki siswa;
  5. Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka;
  6. Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.

Vigotsky lebih mantap lagi dalam mengembangkan teori kontruktivisme ini, dengan mengemukakan pemikirannya bahwa mengkontruksi pengetahuan baru dengan cara kooperatif (cooperative learning). Pembelajar dapat terlibat secara aktif dalam interaksi sosial untuk bekerjasama mencapai tujuan pembelajaran. Melalui diskusi kelompok-kelompok kecil, para pembelajar dapat membangun pengetahuan baru atau suatu kesimpulan berdasarkan pemikiran bersama.

Konstruktivisme pada dasarnya mengharapkan pembelajar mengonstruksi dan mengembangkan pengetahuannya dengan menggali dari berbagai pengalaman dan informasi yang didapat. Pembelajar tidak hanya menyerap apa yang dijelaskan oleh gurunya. Pembelajar dan guru diharapkan  lebih kreatif, inovatif. Guru sebagai pencerdas sebaiknya memposisikan  pembelajar tidak sebagai objek belajar tetapi  sebagai subjek belajar.

Peserta didik dan guru selayaknya memformulasikan pembelajaran dengan  menyenangkan, bergembira, bersemangat,  dan demokratis yang menghargai setiap pendapat sehingga pada akhirnya tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan efektif dan efisien.

Ilustrasi pembelajaran berdasarkan teori kontruktivisme dicontohkan seperti berikut: Guru memfasilitasi peserta didik belajar berkelompok dan berdiskusi untuk mempelajari suatu materi. Mereka menggali setiap informasi dari berbagai wacana atau sumber belajar. Peserta didik belajar membuka wawasan dan mengembangkan gagasan-gagasan untuk menyimpulkan pengetahuan yang baru.

Humanistik dalam Pembelajaran
Menurut teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil  jika si pembelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri.  

Tujuan utama para pendidik adalah membantu peserta didik untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Para ahli humanistik melihat adanya dua bagian pada proses belajar ialah; proses pemerolehan informasi baru, personalia informasi ini pada individu.

Combs dan Snygg, menyatakan bahwa belajar terjadi bila mempunyai makna bagi individu. Konsep dasar yang sering digunakan adalah  meaning  atau  makna/arti)

Guru tidak bisa memaksakan  materi yang tidak disukai atau tidak relevan dalam kehidupan mereka. Anak tidak menguasai materi bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa, atau pembelajar   merasa sebenarnya tidak ada alasan yang penting bagi mereka harus mempelajari sesuatu. Maka penginformasian tujuan pembelajaran menjadi penting. 

Konsep humanistik ini menganggap bahwa guru harus memahami perilaku pembelajar dengan mencoba memahami perilaku pembelajar  memahami  persepsi dan pemikiran pembelajar-pembelajar.

Apabila guru ingin mengubah perilaku pembelajar, sebaiknya berusaha mengubah keyakinan atau pandangan pembelajar yang sudah ada. Perilaku internal  membedakan seseorang dengan yang lainnya. Perilaku yang tidak baik   sebenarnya berasal dari ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberi kepuasan baginya.       

Combs berpendapat bahwa banyak guru yang sering salah berasumsibahwa belajar akan berhasil apabila materi pelajaran disusun dan disajikan secara baik dan teratur sebagaimana mestinya.  Sedangkan  makna tidaklah menyatu pada materi pelajaran. Padahal yang penting adalah bagaimana membawa pembelajar untuk memperoleh makna bagi pribadinya dari materi yang dipelajarinya dan menghubungkannya dengan kehidupannya.

Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal yaitu:  (1)  suatu usaha yang positif untuk berkembang (2) kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.

Maslow menjelaskan bahwa setiap individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang hirarkis. Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah. Tetapi di lain hal, seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri.

Seorang ahli yang juga mendukung teori humanistik dalam belajar  adalah Carl Rogers, yang membedakan dua tipe belajar yaitu, kebermaknanan dan experiential (pengalaman atan signifikansi). Guru menghubungkan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan dapat  terpakai.

Dalam experiential learning, kualitas belajar meliputi; keterbatasan siswa secara personal, berinisiasi, proses evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa.  Experiential learning menunjuk pada pemenuhan pada kebutuhan dan keinginan peserta didik.

Selanjutnya Rogers mengemukakan prinsip-prinsip dasar paham humanistik yang penting diantaranya;

  • Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alamiah
  • Belajar yang signifikan terjadi apabila materi yang diajarkan dirasakan mempunyai relevansi dengan maksud-maksud tersendiri
  • Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri yang dianggap mengancam dan cenderung ditolaknya
  • Tugas-tugas belajar yang mengancam dirinya lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
  • Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar
  • Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.

Menurut Rogers yang paling penting dalam proses belajar adalah bagaimana guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran dengan cara

  • Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar
  • Pembelajar akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya
  • Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengemas bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa
  • Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.
  • Belajar diperlancar apabila siswa dilibatkan dan ikut bertanggung jawab dalam proses belajar
  • Belajar berinisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelektual, merupakan cara  yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan abadi.
  • Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas akan lebih mudah dicapai terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengeritik dirinya dan penilaian dari orang dari orang lain merupakan cara kedua yang penting

Belajar yang paling  berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus-menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu