Artikel
NEGERI SELAKSA ANGIN

NEGERI SELAKSA ANGIN

Ini kisah sebuah negeri yang terletak di antara tanah dan langit bernama Negeri Selaksa Angin yang dipimpin oleh seorang sultan yang gagah dan pandai. Negeri kaya dan mempunyai sumber daya alam yang dapat memakmurkan rakyatnya. Negeri yang dipenuhi oleh rakyat yang pandai dan mumpuni di bidangnya. Ah, Tidak ada alasan bagi rakyat di negeri itu untuk tidak makmur.

Sultan di negeri ini menjalani pemerintahannya dibantu oleh patih-patih yang pandai-pandai. Patih Suluh berkewajiban membantu sultan untuk mengatur semua sumber daya alam yang ada di negeri ini, Patih Wayang membantu sultan dalam menangani sumber daya rakyatnya. Patih Kinarya yang mengatur bagaimana rakyatnya mengembangkan usaha, kerja, dan pendidikan. Patih Banda bertugas mengatur keuangan dan kekayaan kerajaan. Tentu saja patih-patih tersebut dibantu oleh banyak menteri dan punggawa-punggawa agar ketatapemerintahannya berjalan dengan baik.

Rakyat Negeri Selaksa Angin hanya mempunyai dua keahlian yang dijadikan sumber mata pencarian. Rakyat yang sebagian hanya ahli di bidang perwayangan, yaitu berperan, bersandiwara dan berlawak. Sebagian rakyat lain ahli di bidang benyanyi, dan menari. Mereka mendapat sebutan “Para Golek”. Mereka sering diminta oleh berbagai negara tetangga untuk mengajarkan dan melatih rakyatnya

****

Ini suatu hari yang terjadi Negeri Selaksa Angin. Sultan memanggil semua patih, para menteri dan semua punggawanya.

“Para abdi Negeri Selaksa Angin, seminggu lagi kita akan punya hajat yang besar. Kita akan kedatangan beberapa utusan dari negeri-negeri jiran. Mereka meminta bantuan pada kita untuk mengajarkan dan melatih bermain peran, menari dan bernyanyi. Carilah para golek yang paling berkualitas untuk memberikan tampilan yang terbaik, dan mintalah para begawan-begawan melatih dan mengajarkan para golek agar mampu ”, titah Sultan dengan wibawanya

“Semua patih diharapkan bekerja sama untuk mengemas acara mulai dari penyambutan sampai pelayanan selama mereka berada di negeri kita. Berilah mereka pelayanan yang terbaik. Ingatlah kita harus selalu menjaga kesohoran negeri ini”, lanjut Sultan sambil mengelus-elus janggutnya.

“Maaf Yang Dipertuan Sultan, kalau boleh kami tahu, Biaya penyelenggaraan acara bersumber dari mana? Apakah seluruhnya dari negeri kita atau ada bantuan dari negeri-negeri tamu kita?” Patih Banda bertanya sambil memandukan dua telapak tangannya di depan dada tanda hormatnya pada Sultan.

“Ehm…., gumam Sultan sambil mengangguk-anggukkan kepala dengan pelan”.

“Kekayaan dan keadaan keuangan kita begitu melimpah Patih, Jadi sementara ini, kita tak usah berharap uluran dana dari negeri-negeri tamu. Seandainya mereka ingin memberi, tak usahlah kita tolak. Yang penting diingat oleh kalian adalah memberikan pelayanan prima untuk memuaskan mereka’, jawab Sultan.

“Daulat Tuan, … Lalu bagaimana dengan para begawan dan para golek, Sultan, Apakah mereka juga diberikan upah sebagai penganti keringat mereka?”, kembali Patih Banda bertanya.

“Patih Banda, Para Patih lainnya dan seluruh Abdi Negeri Selaksa Angin yang hadir, Perhatikan oleh kalian. Seluruh kalian hendaknya mengabdi pada kerajaan ini dengan segenap hati. Janganlah kalian bertanya apa yang kerajaan ini berikan untuk kalian, tapi bagaimana kalian membantu negeri ini dengan pengabdian kalian. Termasuk Para Golek, Para Begawan juga harus mencurahkan keahliannya untuk kesohoran Negeri Selaksa Angin”. Sultan memberikan titah sebagai jawaban dari Patih Banda.

Begawan adalah golek-golek yang pandai dan ahli dalam bidangnya secara akademis. Begawan adalah rakyat yang memang disekolahkan tinggi oleh kerajaan agar mampu menjaga kesohoran negeri. Begawan harus bertanggung jawab untuk menularkan ilmu-ilmunya kepada para golek atau lainnya agar eksistensi Negeri Selaksa Angin tidak tergilas oleh tantangan zamannya.

Begawan yang jumlahnya banyak sering merasa dirinya tak dihargai oleh kerajaan. Tanggung jawab yang diembannya tidak sebanding dengan penghargaan yang diterimanya. Bahkan tak jarang para Begawan terbang ke Negeri Jiran untuk mencari tambahan penghargaan. Dirasa oleh Para Begawan penghargaan dari negeri-negeri jiran lebih bermakna dari pada dari negeri sendiri. Celoteh Para Begawan agar Sultan dan patih-patih memperhatikan kinarya mereka jarang digubris. Tentu saja keadaan ini menjadi bara api yang sewaktu saat dapat menjadi kobaran yang nyalang membara.

Para patih saling berpandangan meyikapi titah sultannya. Tentu saja yang dipikirkan mereka bagaimana cara melaksanakan tugas itu dengan baik. Namun ada juga yang berpikir bahwa inilah kesempatan mengais sesuatu.

“Ups… kesempatan nih! Ini pasti menggunakan anggaran kerajaan yang besar. Ada hajat besar yang bukan saja memerlukan pemikiran besar tetapi juga terbayang kantong-kantong saku mereka akan bertambah. Sebagian punggawa tersenyum-senyum membayangkan apa yang akan mereka dapat dari hajat itu. Biarlah para begawan yang berkinerja.

Sementara wajah para Begawan tampak berkerut di bagian dahi.

****

Negeri Selaksa Angin hari ini nampak semarak. Kedatangan tamu dari negeri-negeri jiran menjadi anugrah keagungan bagi Sultan. Sebuah pertanda bahwa Negeri Selaksa Angin masih dipanut dan digugu oleh mereka. Sebuah kesohoran yang tak terbayar oleh harta apapun. Terlihat dari jauh Sultan tersenyum lebar menyambut kehadiran para tamu. Upacara penyambutan dengan meriah. Para golek menampilkan sajian tari, nyanyi dengan pakaian berwarna-warni hasil kreativitas yang tinggi dari para begawan

Pertunjukan dagelan ala para golek membuat gelak tawa para tamu tak terbendung. Tak urung Sultan juga ikut terpingkal-pingkal sambil memegang perutnya. Terlihat dari rautnya, Sultan merasa puas, karena rakyatnya berhasil memukau para tamu. Tentu saja karya-karya yang ditampilkan para golek adalah hasil pemikiran dari para begawan yang sudah melatih keras para golek.

Keringat para golek yang masih bercucur dan nafas yang tersengal, pertanda bahwa para golek telah berupaya mempertunjukkan yang terbaik bagi kerajaan Negeri Selaksa Angin dan tentu saja kepuasan sultannya. Para begawan tersenyum puas ketika hasil karyanya dipertontonkan di depan para tamu. Berhari-hari para begawan melatih dan mengajarkan hasil karyanya dengan dedikasi yang tinggi. Mulai besok para begawan punya tugas yang lebih berat yaitu mengajarkan para tamu dari negeri-negeri jiran agar mampu belajar berkarya.

****

Sementara di serambi kerajaan, Sultan sedang bercakap dengan petinggi-petinggi kerajaan negeri jiran. Tak sedikit pujian yang disampaikan bagi kerajaan Negeri Selaksa Angin. Mereka kagum atas kepemimpinan Sultan yang mampu mengangkat derajat rakyatnya. Ada sebersit keingintahuan dari petinggi-petinggi bagaimana sultan yang mulia ini mampu menjalankan pemerintahannya. Siapa tahu bisa sistem kerajaan ini bisa diadopsi atau diadaptasi oleh kerajaan mereka.

“Yang Mulia, tak sedikit kekaguman kami atas karya-karya dari rakyat kerajaan Negeri Selaksa Angin ini. Tak salah kami mengirimkan utusan untuk belajar bersama para begawan di sini”, Rangga, salah seorang dari petinggi yang menggunakan jubah dan sorban serta berjanggut lebat menghaturkan kagumnya.

“Maaf, Tuanku dari kerajaan mana?”, sapa Sultan Yang Dipertuan

“Hamba dari negeri Budi Luhur, Sultan. Negeri kami terletak di ujung timur alam ini. Kerajaan kami tidak sebesar kerajaan Sultan. Kerajaan yang berakyat orang-orang yang setia pada rajanya. Walau pun tak sekaya kerajaan Sultan, tapi kerajaan kami mampu mendidik rakyat mencintai Yang Maha Esa. Semua rakyat kami selalu berpenampilan sederhana. Pakaian mereka tak boleh mewah. Rakyat ditempatkan pada posisi sesuai dengan keahliannya sehingga banyak rakyat yang terpicu untuk berpendidikan lebih maju agar mendapat posisi yang baik di kerajaan kami. Raja kami selalu berprinsip segala sesuatu harus di tempatkan pada posisi yang tepat karena kalau tidak tunggu saja kehancurannya.”

Sultan termangu-mangu menyimak penuturan Rangga. Dalam hati terpikir justru dialah yang harus belajar banyak dari Negeri Budi Luhur. Para petinggi dari negeri lain juga berkonsentrasi dengan melibatkan pemikiran dan hatinya untuk memperhatikan Rangga. Tak satu pun dari petinggi tersebut kelihatan tak peduli. Diam-diam mereka juga mengagumi kerajaan Budi Luhur.

“Maaf Tuan Rangga. Aku sangat terkesan sekali dengan cara raja anda dalam menyelenggarakan kerajaan. Justru aku yang harus lebih banyak belajar dari kerajaanmu”, tutur Sultan dengan hormatnya.

“Lalu bagaimana Raja Negeri Budi Luhur mengembangkan potensi rakyatnya?” tanya Sultan.

“Ah Tuan Sultan, Hamba jadi tak enak hati. Kami bertemu di serambi ini kan untuk membahas dan belajar kerajaan Sultan”, balas Rangga seraya tersipu.

“Tuan Rangga, tak ape lah… kite ni sama-sama belajar, supaya kite sama-sama maju. Bukankah kalau na maju kite harus banyak belajar. Na peroleh ilmu “dari Negeri Selaksa Angin atau Negeri Budi Luhur. Yang mane saje, baik lah tu”, Tuanku Mazmur dari Negeri Bintang turut urun rembug.

“Betul begitu Tuan Rangga, Tuturkanlah tentang kerajaamu, nanti barulah kita menuturkan jabaran kerajaan Negeri Selaksa Angin. Karena banyak juga diantara kita disini yang tertarik dengan kerajaanmu”.

‘Baiklah kalau begitu Tuanku Sultan. Satu hal yang kami kagumi dari raja kami adalah ajaran ketuhanan yang dipegang teguh oleh raja kami, termasuk menampakkan keadilan pada segenap rakyatnya. Adil bukan berarti segalanya dibagi rata, tetapi adil sesuai dengan proporsinya. Pekerjaan diserahkan pada yang ahlinya, penghargaan disesuaikan dengan kinerjanya. Menilai disesuaikan dengan kriterianya. Raja kami menyakini satu ayat dalam kitab sucinya yang sering menjadi pedoman, Sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. Itulah alasan mengapa raja kami selalu menghargai kerja rakyatnya sesuai dengan hasil jerih payahnya. Sesuai dengan kompetensinya. Dengan begitu kami rakyat Negeri Budi Luhur sangat menghargai raja.

“Ya… ya…ya. sungguh luar biasa rajamu”. Sultan berdecak seraya mengacungkan jempolnya. Terpikir olehnya bagaimana ia memberdayakan rakyatnya. Semua harta, upeti dan kekayaan dibagi rata untuk rakyatnya. Pendidikan tak jadi ukuran, kerja tak jadi acuan.

“Tuan Rangga coba kau tuturkan lagi keunggulan negerimu! Aku semakin ingin tahu tentang kerajaanmu”, kata Sultan

Tuan Rangga tersenyum bangga dan kembali menceritakan tentang kerajaannya

“Tuanku Sultan, Azas ketuhanan yang dianut oleh raja kami menjadi panutan bagi rakyatnya. Rakyat tak pernah berbuat jahat pada sesamanya, selalu menjaga silahturrahmi, berbuat baik dengan sesama, dan bertanggung jawab atas seluruh pekerjaannya. Kesulitan selalu diemban bersama dan diselesaikan bersama. Raja selalu mengajarkan bagaimana rakyatnya harus menjalankan perintah Tuhannya Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.”.

Hebat, hebat, hebat, … Rajamu hebat. Ini pembelajaran baru buat kerajaan kami. Terima kasih Tuan Rangga. Kelak aku akan berkunjung ke kerajaanmu untuk banyak belajar”, sapa Sultan

“Nah Sobat-sobatku dari negeri jiran, mudah-mudahan apa yang dituturkan oleh Rangga menebarkan banyak manfaat dan sarat makna”, Sultan menutup pertemuan ini dengan senyum ceria.