Artikel
INISIASI PEMBELAJARAN JARAK JAUH

INISIASI PEMBELAJARAN JARAK JAUH

Guru inspiratif, apakah Anda merasakan adanya tuntutan perubahan akibat dampak pandemi Covid19 pada pandangan Anda mengenai pendidikan, pembelajaran dan peran guru sebagi pigur penting dalam pendidikan? Bersyukurlah bagi yang merasakannya. Itu artinya Anda adalah guru adaptif.

Kita terhenyak dengan peristiwa besar yang menyebabkan setiap orang harus tinggal di rumah untuk beberapa bualan sebagai upaya isolasi agar virus pandemik yang diberi nama Covid19 tidak menyebar lebih luas. Banyak orang tidak sadar dan menganggap itu sepele. Itu yang menyebabkan virus ini tak terbendung sehingga di Indonesia hingga hari ini tanggal 10 Mei orang yang terjadngit sudah sampai 13.645. Kompas.com 14 April memprediksi bahwa sampai Mei suspek bisa sampai 50.000. Pada kondisi tersebut rumah sakit akan lumpuh. Kamar rawat rumah sakit dapat dibangun tapi tenaga medis tidak dapat dicetak dalam sehari. Lalu apa yang terjadi?

Bukan hanya itu, dampak pandemik tersebut telah memaksa tatanan sosial, politik dan ekonomi mengubah paradigmanya. Salah satu masalah yang akan dihadapi misalnya, pada ketahanan pangan. Berapa lama cadangan makanan dapat bertahan ketika pertanian berhenti, pabrik makanan tidak jalan, dan trasnprotasi lumpuh? Berapa lama masyarakat bisa hudup pada kondisi seperti itu? Bisa dibayangkan ketika pasokan makanan terbatas dan semakin langka. Tidak menutup kemungkinan terjadi keos baik pada tataran local, regional maupun global. Bisa saja terjadi perang antar negara merebutan sumber daya alam seperti air, atau sumber makanan lain. Tentu akan memakan banyak korban pada pihak yang lemah. Terjadilah bencana kemanusiaan.

Di tengah krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya seperti ini, sulit untuk melihat masa depan dengan akurat. Seolah-olah kita berkeliaran dalam kabut tebal. Kita sering kali hanya bisa berdoa. Seyogyanya kita menyadari bahwa banyak hal yang tidak dapat diprediksi. Alam memiliki sifat yang belum dipahami seutuhnya. Beberapa ahli secara ekstrim mengklaim bahwa dampak pandemi ini dapat memusnahkan ras manusia di bumi. Kemusnahan ras manusia (homo sapiens) bisa saja terjadi, seperti kepunahan homo erectus sekitar 500 ribu tahun lalu. Diprediksi bahwa kemusnahan jenis hominid tersebut karena mereka malas beradaptasi. Tidak mampu berinovasi. Makanya satu-satunya jalan untuk menjaga keberlanjutan ras manusia adalah beradaptasi dengan mekanisme alam.

Pada kesempatan ini mari kita diskusi mengenai adapatasi yang harus dilakukan masyarakat local dan global dalam bidang pendidikan. Salah satu dampak pandemic Covid19 adalah lockdown sekolah. Penutupan sekilah di 184 negara menyebabkan 1.53 milyar pelajar dirumahkan. Tentu dirumahkan bukan untuk libur belajar melainkan harus belajar di rumah. Namun di beberapa tempat penutupan sekolah benar-benar berarti hilanganya kesempatan belajar karena tidak ada fasilitas untuk terjadi interaksi antara guru dan siswa, sedangkan keluarga tidak memungkinkan untuk mengajari mereka. Pada kondisi ini proses Pendidikan dapat berhenti total.

Pada umumnya di Indonesai dampak pandemi terhadap anak-anak tidak terlalu parah. Kecuali di lokasi-lokasi tertentu. Meraka hanya terkena aturan Belajar Dari Rumah (BDR). Meskipun begitu, kenyataannya program BDR bukan hal yang mudah. Pada bulan pertama guru, orang tua dan siswa mengalami kesulitan. Guru dan orang tua kebingungan bagaimana caranya mengajar anak di rumah. Pada bulan kedua malah tidak lebih baik karena intensitas belajar anak-anak malah menurun karena guru, orang tua dan siswa menghindari stress. Guru dan orang tua menjadi permisif. Pada saat artikle ini ditulis, adalah bulan ketiga belajar di rumah. Kebetulan bersamaan dengan bulan Ramadhan. Rasanya suasana belajar di rumah semakin tidak kondusif. Lalu bagaimana selanjutnya kalau lockdown diperpanjang?

Belajar dari rumah!!! Yang mengajar sekarang bukan guru, tapi mamah-papah, om, tante atau kakak. Anak-anak seperti bertanya dalam dirinya. Apa ini belajar? Kalau belajar dengan guru, anak-anak tidak meminta syarat untuk mengerjakan sesuatu. Kalau dengan orang tua, mereka punya jurus jitu, yaitu kata “tidak mau”, atau minta syarat. Lalu orang tua mengalah. Pada kondisi ini banyak belajar yang tidak terjadi, atau intensitasnya sangat minim. Karena orang tua tidak ingin nilai anaknya buruk maka mengirim tugas kepada guru hasil rekayasa.

Dalam regulasi dan tradisi persekolahan kita, tentu belajar di rumah seperti itu tidak akan sama hasilnya dengan belajar di kelas. Dapat dipastikan untuk semester ini, malah bisa saja untuk beberapa semester kedepan, anak-anak kehilangan waktu untuk menguasai kompetensi yang disyaratkan dalam kurikulum. Beruntung sebagian anak yang memiliki orang tua paham pendidikan sehingga dapat melakukan home schooling. Bagi banyak anak, berhenti pergi kesekolah berarti kehilangan waktu belajar.

Belajar di rumah sebenarnya bukan sebuah kesalahan. Banyak keluarga sukses melakukan home schooling. Hasilnya juga tidak buruk. Dengan metode ini justru anak-anak dapat belajar untuk menjalani hidup pada latar yang sebenarnya. Dibandingkan dengan skolah formal yang sering kali banyak terjebak dengan regulasi dan standar yang menyebabkan hasil belajar kurang bermakna. Banyak hasil homeschooling yang berbasis kompetensi. Salah satu contoh homeschooling yang dilakukan teman saya, setarap lulusan sekolah menengah dapat menulis buku yang diterbitkan di penerbit ternama. Contoh lain, pada usia sekeloah menengah anak sudah berhasil memulai wirausaha. Beberapa hasil homeschooling juga dapat masuk ke universitas ternama.

Keberhasilan homeschooling salah satunya disebabkan karena orang tua berhasil membangun kemampuan belajar mandiri (self-regulated dan self-directed learning). Sementara di sekolah regular, anak-anak lebih banyak belajar dengan cara mengikuti arahan guru yang menyebabkan anak-anak sangat tergantung pada gurunya.

Homeschooling adalah salah satu contoh sebauh keberhasilan (best practice). Dapat dijadikan alternatif pola untuk mengatasi disrupsi akibat pandemi Covid19. Namun itu terbatas untuk orang tua yang memiliki wawasan, keberanian dan kesepakatan dengan anak-anak untuk belajar tanpa keterlibatan guru reguler. Lantas bagaimana dengan sebagian besar keluarga yang masih membutuhkan keterlibatan guru reuler untuk mengajar anak-anaknya? Salah satu alternatifnya adalah distance education (belajar berjarak). Pada pola ini kurikulum dirancang oleh guru kemudian disajikan menggunakan teknologi agar peserta didik melakukan proses belajar mandiri.

Guru inspiratif, sebagai pendidik kita pasti merespon disrupsi ini dengan positif. Kita harus menjadikannya sebagai milestone sebuh perubahan. Pengalaman yang kita alami saat ini kita jadikan inspirasi untuk mengadaptasi cara berpikir dan cara bertindak kita yang selama ini ternyata tidak berlaku untuk situasi disruptif seperti sekrang ini.

Belajar berjarak bagi banyak guru dan orang tua bukan hal yang biasa sebelumnya. Sesuatu yang baru, namun “tidak bisa dihindari” sekarang ini. Orang tua lebih sering beranggapan: Kalau mau belajar, ya di sekolah. Guru juga beranggapan: Kalau mau belajar datang kepadaku. Malah banyak guru yang masih merpendapat bahwa, “Kalau tidak saya jelaskan anak-anak tidak mengerti”. Persepsi ini sudah berlangsung turun-temurun sejak nenek moyang. Mungkin menjadi sebuah keyakinan. Bagaiman keyakinan ini dapat diubah?

Tapi keadaan mendesak. Keyakinan tersebut harus diubah. Dari keyakinan belajar dengan tatap muka (face-to face) ke belajar berjarak (distance).  Dari pembeajaran yang biasanya para siswa dan guru bertemu dalam sebuah ruang kelas pada jadwal tertentu (regular) menjadi pembelajaran yang terjadi kapan saja dan dimana saja (irregular). Dari pembelajaran yang guru adalah sumber utama pembelajaran menjadi pembelajaran dengan beragam sumber belajar. Dan dari “siswa mendapat pelajaran dari guru (directed)” menjadi “siswa belajar mandiri” (self-directed).

Pembelajaran berjarak adalah konsep yang berbeda dengan pembelajaran tatap muka. Mengajar dari rumah bukan sekedar mengirimkan tugas untuk dikerjakan dan dikirimkan kepada guru seperti kebanyakan guru melakukanya sekarang ini.  Mengajar dari rumah adalah membantu siswa agar belajar mandiri melalui sajian pelajaran yang dirancang untuk belajar berjarak. Dengan pola pembeljaan tersebut tidak masalah Ketika guru ada di tmpat “X” dan peserta didik berada di tempat “Y” yang jaraknya bisa sangat jauh. Pada konsep ini guru tetap mengajar dan peserta didik tetap belajar.

Mari kita memanfaatkan momen ini untuk bereksperimen dengan pola pendidikan baru. Yaitu pola pendidikan yang mengedepankan anak-anak memiliki lebih banyak kebebasan, tanggung jawab dan kehendak untuk belajar mandiri. Pola Pendidikan yang mengarahkan agar anak-anak memiliki target belajar sendiri dan dapat mengendalikan dirinya mencapai suskes belajarnya. Melalui pola tersebut diharapkan anak-anak dapat menjadi independent learners dan long life learners sehingga tidak terpengaruh dengan krisi seperti distancing. Apabila anak-anak sudah memiliki sikap seperti itu maka kehadiran guru tidak menjadi syarat begi mereka untuk belajar.

Saya mempredikis bahwa disrupsi yang disebabkan oleh pandemi Covod19 akan mengubah tatanan persekolah di negeri ini. Kelihatannya pemerintah dan masyarakat akan mengembagkan lebih banyak ICT untuk pendidikan. Akan dibangun imprastruktur lebih banyak lagi sampai ke peloksok tanah air dan mengubah paham pendidik mengenai peran ICT dalam pembelajaran. Secara bertahap ke depan kelas-kelas akan diubah menjadi learning center berbasis ICT. Mungkin HP tidak lagi dilarang dibawa ke sekolah tapi akan digunakan sebagai media dan sumber belajar dari pada sebagai alat hiburan. Kalau itu terjadi maka pendidik harus beradaptasi secara radikal.

Guru inspirstif, Anda telah memulai berkeksperimen melakukan distance education. Guru mengirim tugas kepada siswa untuk mengerjakan soal-soal yang ada di buku melalui media sosial. Sebagian mengirimkan gambar dan video untuk dipelajari dan dites. Sebagian menambahkan dengan pertemuan virtual menggunakan aplikasi video convrencing. Sebagian ada yang lebih maju lagi, menggunakan LMS untuk menyajikan pembelajaran fully online.

Sebagian sudah baik, tapi Sebagian besar belum memenuhi kriteria pembelajaran jarak jauh yang baik. Kebanyakan guru belum mengunakan prinsip-prinsip pembelajaran jarak jauh dalam eksperimen ini. Pembelajaran jarak jauh yang dilakukan lebih banyak memperlihatkan kesan seakan-akan hanya memindahkan kegiatan tatap muka dari kelas ke rumah. Pada Pendidikan dasar SD/MI, praktek ini hanya memindahkan tugas mengajar dari guru kepada orang tua yang membuat mereka banyak bertengkar. Pada peserta didik tingkat menengah, praktek pembelajaran jarak jauh ini menyulitkan. Banyak peserta didik kebingungan apa yang harus dilakukan karena instruksi sangat singkat dan seakan-akan semua instruksi adalah tes.  Praktek seperti ini membuat peserta didik stress. Itu semua karena pembelajaran tersebut tidak dirancang untuk fungsi pembelajaran berjarak.

Tidak apa. Itu sudah merupakan sebuah upaya. Tidak ada yang salah pada praktek tersebut karena pola pembelajaran tersebut tidak bisa bagus dengan sendirinya. Yang perlu kita pikirkan kemudian adalah bagaimana memperbaikinya?

Bagi yang belum pernah sebelumnya, tidak gamapang merancang dan menyajikan pembelajaran jarak jauh. Perubahan dari tatap muka ke jarak jauh tidak bisa menggunakan pedagogi tatap muka melainkan harus menggunakan pedagogi pembelajaan jarak jauh. Langkah pertama yang harus kita lakukan dalah mengenalkan distance education dan jenis-jenisnya. Selanjutnya kita belajar merancangnya. Pemerintah harus memfasilitasi langkah ini dengan frekuensi yang memadai. Guru harus dilatih untuk merancang dan menyajikannya.

Pentingnya mempelajari pola pendidikan jarak jauh tentu bukan hanya untuk kebutuhan sesaat khususnya program BDR, tetapi memiliki prospek untuk perubahan persekolahan jangka panjang. Misalnya, selama ini sekolah hanya melayani peserta didik yang bisa pergi ke sekolah. Anak-anak yang sakit secara fisik dan tidak bisa pergi ke sekolah/madrasah baik selamanya atau sementara karena kecelakaan tidak bisa dilayani. Seyogyanya sekolah/madrasah mengubah paradigma kea rah pendidikan untuk semua. Kita harus punya visi “no one left behind” (tidak ada satu anak pun yang tertinggal). Contoh lain, anak berkebutuhan khusus yang tidak diizinkan oleh orang tuanya pergi ke sekolah/madrasah tidak dilayani untuk belajar karena tidak ada guru regular yang mau mengajarinya.

Salah satu alternatif solusi adalah distance education. Pola pendidikan ini menyajikan kesempatan bagi siapa saja untuk belajar kapan saja, dimana saja, dari apa saja dan dengan siapa saja.

Gagasan ini memiliki implikasi terhadap semua stakeholder pendidikan. Legislatif harus mulai memikirkan regulasi mengenai keharusan satuan Pendidikan menyelenggarakan distance education agar pola ini mulai tumbuh secara nasional. Perguruan tinggi harus mulai menginisiasi dengan measukkan materi distance education dalam kurikulum pendidikan keguruan. Pemerintah harus mulai membangun kebijakan dan infrastruktur  teknologi untk mendukung distance education. Lembaga kediklatan harus mulai Menyusun kurikulum pelatihan untuk membekali para pendidik dan tenaga kependidikan pengetahuan dan keterampilan mengenai distance education. Selanjutnya, yang menjadi ujung tombaknya, guru harus mulai belajar serius untuk memahami dan terampil menyeajikan pembelajaran dengan pola distance education.

Guru inspiratif, bagi kita sebagai pendidik, tidak ada pilihan kecuali kita memulainya. Kita tidak harus menunggu regulasi berikutnya pemerintah untuk menyelenggarakan pelatihan distance education. Mari kita pelajari pola pembelajaran tersebut sedikit demi sedikit. Banyak sumber belajar yang dapat kita akses untuk mempelajarinya baik berupa teks maupun multimedia.

Selamat belajar