Artikel
GURU: NASIBMU DI ERA PANDEMI

GURU: NASIBMU DI ERA PANDEMI

OLEH: Dra. N. Supriati, M.Pd.
(Guru Bahasa Indonesia MTs Negeri I Kota Tangerang Selatan)

Pandemi Corona telah memporak-porandakan tatanan kehidupan hampir di semua lini. Semua tatanan kehidupan yang sudah terpola berpuluh bahkan mungkin beratus tahun, tiba-tiba harus berubah seratus delapan puluh derajat. Orang dipaksa melakukan semua aktivitas di rumah, dilarang ke luar rumah kalau bukan untuk kepentingan yang urgent. Tidak hanya bekerja, bahkan beribadah pun harus dilakukan di rumah. Agenda silaturahmi yang sebelumnya dianggap akhlak mulia, tiba-tiba menjadi hal yang haram dilakukan. Sektor ekonomi nyaris lumpuh. Perusahaan-perusahaan merumahkan karyawannya, mall-mall tutup, akses transportasi umum dilarang beroperasi. Untuk menyesuaikan dengan tatanan kehidupan baru di bawah bayang-bayang pandemi virus, maka muncullah istilah WFH (Work From Home) untuk para pegawai/pekerja demi memutus penyebaran virus. Sejalan dengan itu, muncul pula istilah SFH (School From Home) di dunia pendidikan, yaitu istilah lain untuk pembelajaran yang dilakukan di rumah. Belajar yang tadinya di lakukan di gedung sekolah, dalam interaksi langsung antara siswa dengan guru, tiba-tiba semua harus berubah. Dipaksa dilakukan secara online atau daring, interaksi pun dipaksa harus dilakukan secara virtual.

Orang tua yang biasanya hanya memantau hasil belajar anak, tetiba harus tampil sebagai sosok pengganti guru di rumah terutama untuk putera/puterinya yang masih duduk di PAUD/KB/TK dan SD tingkat awal (kls 1-4), orang tua harus mendampingi anak-anaknya belajar, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan materi pelajaran atau teknis pengerjaan tugas anak-anaknya. Orang tua kaget, shock, heboh, tidak menyangka sebegitu repotnya seorang guru, di kelas harus menghadapi sekian puluh siswa dengan beragam karakter dan gaya belajar, mereka yang hanya menghadapi seorang atau paling banyak dua orang murid saja sudah sangat repot. Pengakuan atas peran guru yang sangat berat dari mayoritas orang tua di saat pandemi ini, setidaknya menjadi hal yang menyejukkan hati. Bagaimana tidak? Selama ini masyarakat memandang sebelah mata pada profesi guru.

Profesi guru identik dengan lagu “Umar Bakri” nya Iwan Fals. Suatu profesi yang identik dengan kesederhanaan dan jauh dari kemapanan ekonomi, tetapi dipaksa untuk tetap “nrimo”. Profesi yang selalu dikambinghitamkan setiap ada kasus kenakalan remaja. Profesi yang selalu dituding paling bertanggung jawab setiap kali ada kasus tawuran pelajar. Dialah sosok yang selalu dianggap paling bersalah ketika ada hasil peneitian peringkat pendidikan Indonesia jauh di bawah negara tetangga. Tudingan akan lebih banyak diarahkan pada para guru ketika pemerintah berharap banyak supaya terjadi lompatan dalam dunia pendidikan dengan digulirkannya kurikulum baru, tetapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Lagi-lagi gurulah yang paling dipersalahkan. Tetapi, apa iya semua salah guru?

Tidak bisa dipungkiri, ketika realita tak semanis ekspektasi, akan muncul kekecewaan. Perasaan kecewa inilah yang muncul ketika pemerintah menggulirkan kurikulum baru dengan harapan bisa mendongkrak kualitas pendidikan di negeri ini, tetapi realitanya kualitas pendidikan masih jalan di tempat. Namun hal ini bukan berarti sepenuhnya kesalahan ditimpakan pada guru. Keberhasilan suatu kurikulum memerlukan partisipasi dari banyak pihak. Sehingga Ketika tuntutan kualitas pendidikan yang harus ditingkatkan yang salah satunya menuntut guru untuk senantiasa meng-up date pengetahuan mengemuka, tidak adil kalau kemudian muncul tudingan yang terarah pada guru yang katanya selalu berlindung di “zona nyaman”, makhluk yang malas meng-up grade diri, sampai-sampai ada lelucon yang mirip dengan iklan minuman di media massa yang sangat terkenal, “apapun kurikulumnya, tetap ceramah metodenya” tanpa tahu bagaimana sebetulnya kondisi guru.

Lelucon yang seolah menggambarkan bahwa guru adalah sosok yang anti perubahan, tidak punya inisiatif, tidak kreatif, dan sederet sifat negatif lainnya. Padahal sesungguhnya, kehati-hatian, dan keragu-raguanlah yang sering kali dialami oleh guru ketika dihadapkan pada keharusan mengikuti irama dari silih bergantinya kurikulum tersebut. Perasaan ini muncul karena pengetahuan yang dimiliki tentang kurikulum baru tersebut baru sepotong-sepotong, sementara kesempatan dan akses untuk mendapatkan informasi yang utuh tentang apa dan bagaimana wujud kurikulum tersebut juga sangat terbatas.

Di era pandemi Virus Corona sekarang pun, guru dituntut untuk mampu menyesuaikan diri dengan situasi. Pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sudah mengeluarkan instruksi kepada para guru untuk melakukan pembelajaran daring/online sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Para guru dipaksa untuk familier dengan media online yang sebelumnya sama sekali tak dikenalnya. Ada aplikasi google classroom, zoom meeting, google meet, dan sederet media lainnya, yang mau tidak mau harus mampu digunakan oleh guru. Di saat pembelajaran dilakukan di rumah, memang teknologilah yang diandalkan untuk menjembatani ketidakhadiran guru dan siswa dalam satu tempat yang sama. Pembelajaran dengan menggunakan metode E-Learning harus dikuasai guru supaya pembelajaran tetap berlangsung. Apakah guru tidak bingung menghadapi situasi yang seperti ini? Pastilah kebingungan dan kegalauan dirasakan oleh hampir semua guru, terutama yang kurang mahir dalam teknologi ITI. Tetapi, di tengah kebingungan dan kegalauan itu, guru harus bangkit dan mau belajar.

Kalau ini dialami oleh guru-guru yang sudah sepuh dan tinggal di daerah yang akses internet merupakan barang yang langka, pastilah kebingungan dan kegalauan yang dirasakan menjadi berkali lipat. Berubah dalam waktu cepat bagi orang yang sudah sepuh bukanlah hal mudah. Terbata-bata belajar mengoperasikan aneka aplikasi tersebut sudah membuat sakit kepala. Belum lagi harus tertatih-tatih menggunakannya setiap hari sebagai ganti kehadirannya di depan murid-murid di kelas. Ditambah lagi nanti harus menerima dan mengomentari setoran tugas murid-murid yang sering tak kenal waktu. Tetapi, lagi-lagi semua itu memang harus dilakukan guru, tidak ada pilihan lain.

Di tengah keriuhan tugas dan masalah yang harus dijalani seorang guru, ada saja pihak-pihak tertentu yang melontarkan pernyataan, “Enak dong para guru, nggak kerja apa-apa, tapi gaji utuh”. Ada lagi yang mengatakan, “Selama SFH guru-guru makan gaji buta”. Bahkan ada lagi yang lebih pedas lagi kritikannya dilontarkan oleh seorang pengamat pendidikan, yang mengatakan, “Guru-guru di Indonesia bodoh, tidak berkualitas, gagap teknologi, berkompetensi rendah”, bahkan beliau berpendapat bahwa guru dan dosen PNS Cuma makan dan tidur saja, tetapi enak terima gaji, anti kritik, maunya gaji besar, tetapi kualitasnya rendah. Bukankah semua yang dilontarkan itu mengecilkan profesi guru? Harus diakui, memang tidak semua guru memiliki kompetensi yang diharapkan. Ada sebagian guru yang kinerjanya rendah. Bukankah hal ini juga terjadi di semua profesi? Pada profesi apapun pasti ada saja oknum yang kompetensi dan kinerjanya rendah, dan semua orang pasti menginginkan gaji yang tinggi dengan profesinya.

Peran guru yang dipertanyakan di era pandemi Virus Corona saat ini hendaknya ditanggapi dengan bijak oleh para guru. Tidak ada artinya bersilat lidah membela diri mati-matian dengan kata-kata. Yang perlu dilakukan oleh para guru adalah menjawab semua pertanyaan itu dengan menunjukkan kinerja yang lebih baik. Terus meningkatkan kompetensi diri dengan tak henti belajar dan menimba ilmu. Di saat SFH seperti sekarang ini, mungkin akan jauh lebih bermanfaat kalau para guru belajar meningkatkan penguasaan teknologi khususnya yang berkaitan dengan aplikasi-aplikasi yang bisa dimanfaatkan untuk pembelajaran daring. Mengikuti seminar-seminar daring dari pakar-pakar pendidikan dan pakar ITI jauh lebih penting daripada memelihara rasa sakit hati akibat hujatan pihak-pihak yang merendahkan profesi guru.

Pada akhirnya, guru juga manusia, yang butuh diakui, butuh diapresiasi, dan butuh rasa aman. Supaya seorang guru bisa profesional, maka harus ada keinginan dari guru tersebut untuk terus meningkatkan kompetensinya. Selain itu, pembinaan yang terus menerus perlu dilakukan di samping juga diperhatikan sisi kesejahteraannya. Untuk memajukan dunia pendidikan, dibutuhkan kerja sama dari berbagai pihak, ada pemerintah, ada masyarakat, ada orang tua murid, ada murid, dan ada guru. Semua harus memahami dan melaksanakan tugas dan hak masing-masing.