Artikel
BERSINERGI MEMBANGUN KOMPETENSI GURU MADRASAH DI ERA MILLENIAL

BERSINERGI MEMBANGUN KOMPETENSI GURU MADRASAH DI ERA MILLENIAL

BERSINERGI MEMBANGUN KOMPETENSI GURU MADRASAH DI ERA MILLENIAL
Analisis Strategic Peta Kompetensi & Kebutuhan Pelatihan Guru Madrasah
Oleh: Aris Adi Leksono
(Guru MTs Negeri 34 Jakarta)

 

Sebagaimana tercantum dalam Undang-undang No. 23 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, BAB I Pasal 1, disebutkan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”. Untuk mewujudkan usaha tersebut berjalan secara sistemtis, serta mampu membangun budaya belajar, Guru memiliki posisi sangat penting.

Lebih lanjut untuk menegaskan pentingnya guru dalam penyelenggaraan pendidikan, proses pewarisan nilai luhur kebangsaan, estafet kepemimpinan Negara, telah diterbitkan Uundang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. UU itu menyebutkan Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.” Bahkan melebihi dari definisi itu, guru juga mengemban predikat dan tanggung jawab yang sama pada jalun in format dan non formal. Kesimpulan dari UU ini ingin menegaskan guru adalah sebuah profesi mulia, mengemban tanggung jawab besar yang menuntut dijalani secara profesional.

Kinerja profesional guru tujuannya adalah agar menghasilkan pembelajaran dan hasil belajar yang berkualitas. Salah satu ukuran keberhasilannya adalah mampu mewujudkan peserta didik yang memiliki kompetensi, baik pengetahuan, keterampilan, dan sikap, serta mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Dalam menjalankan tugas mulia tersebut, sebagaimana amanat UU Guru dan Dosen, pada pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa: “Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi  kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi”. Pada perkembangan berikutnya, kompetensi guru tersebut mampu diimplementasikan sesuai tuntutan perkembangan generasi mellineal, alias kompetensi guru abad 21.

Pada konteks perkembangan kurikulum pembelajaran, peran guru menjadi semakin penting dalam mengawal implementasi standar proses pembelajaran. Sebagaimana tercantum dalam Permendikbud Nomor 22 tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah, bahwa “Proses Pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi pesertadidik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik”. Artinya tuntutan suasana pembelajaran sebagaimana amanat Permendikbud tersebut sulit diwujudkan, jika tidak ditopang oleh guru yang tidak memiliki kompetensi sesuai kebutuhan abad millenial. Dalam konteks pendidikan madrasah, guru adalah ujung tombak untuk mengimplementasikan SK Dirjen Pendis No.5163 tahun 2018 tentang Juknis Pengembangan Pembelajaran di Madrasah.

Kebijakan merdeka belajar yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, secara berlahan akan mempengaruhi kebijakan pembelajaran di Madrasah. Pesan untuk penguatan literasi, numerasi, karakter, dan kompetensi abad 21 (C4; critical thinking, communication, collaboration, and creativity) adalah tuntutan hasil pembelajaran yang harus dipenuhi, khususnya oleh Guru. Sehingga perlu sinergi steakholder pendidikan madrasah untuk melakukan upaya upgrading kompetensi guru sesuai dengan tuntutan model pembelajaran dan harapan hasil belajar berbasis kompetensi abad 21. Upaya itu dilakukan dengan program yang terencana, terukur, dan berkelanjutan sesuai karakteristik wilayah dan kearifan local.

Untuk memulai membangun sinergi tersebut, perlu dilakukan upaya pengaturan strategis (manajement strategic), sehingga solusi permasalahan bisa didapatkan dengan cepat dan tepat. Penyelesaian masalah dengan pendekatan manajemen strategic sangat penting, karena sebagaimana (Nawawi, 2000:149) katakana bahwa “manajemen strategik adalah perencanaan berskala besar (disebut perencanaan strategik) yang berorientasi pada jangkauan masa depan yang jauh (visi), dan ditetapkan sebagai keputusan manajemen puncak (keputusan yang bersifat mendasar dan prinsipil), agar memungkinkan organisasi berinteraksi secara efektif (misi) dalam usaha menghasilkan sesuatu (perencanaan operasional untuk menghasilkan barang atau jasa serta pelayanan) yang berkualitas, dengan dengan diarahkan pada optimalisasi pencapaian tujuan (tujuan strategik) dan berbagai sasaran (tujuan operasional) organisasi”. Dengan model manajemen strategic pemerataan peran untuk sinergi menjadi sangat penting dijalankan, mulai dari peran guru itu sendiri, birokrasi pemangku kebijakan, maupun lembaga pendidikan dan pelatihan sebagai pelaksana teknis dan fungsional upaya peningkatan kompetensi guru.

Langkah awal dalam menjalankan manajemen strategik adalah dukungan data, sebagaimana Kadir (2009:3), bahwa “data adalah suatu bahan mentah yang kelak dapat diolah lebih lanjut untuk menjadi suatu yang lebih bermakna”. Maka pada konteks peningkatan kompetensi guru madrasah, data awal berupa peta kompetensi guru madrasah menjadi sangat penting. Dengan peta kompetensi ini akan terukur, skala kebutahan dan skala prioritas program yang akan dijalankan, sehingga program berjalan secara efektif dan efesien.

Sebagai gambaran awal peta kompetesi guru madrasah, pada sesi penyampaian Kebijakan Diklat program Diklat Jarak Jauh (DJJ) Balai Pendidikan dan Pelatihan Keagamaan Jakarta, khususnya pada kelas Pelatihan Model-Model Pembelajaran Melalui E-Learning bagi Guru MTs/Pendidikan Agama SMP, pada sesi diskusi dan tugas secara umum ditemukan bahwa; (1) masih ada guru yang gagap tekhnologi; (2) masih ada guru yang tidak memahami hakikat pengembangan kurikulum 201; (3) masih dominan guru kesulitan menerapkan model-model pembelajaran sesuai tuntutan K13, (4) masih banyak guru kesulitan dalam mengimplementasikan pembejalaran untuk menjawab tantangan kompetensi abad 21.

Jika peta kompetensi guru awalnya demikian, lantas bagaimana mewujudkan tuntutan profil guru sebagamana amanat UU Guru dan Dosen?, bagaimana  mewujudkan tuntutan pembelajaran Abad 21 sebagaimana anamat Permendikbud dan SK Dirjen Pendidikan?. Lebih fundamental lagi, bagaimana akan terwujud generasi emas Indonesia yang dijanjikan di tahun 2045?. Sementara kondisi hari ini sarat dengan penggunaan teknologi dalam semua bidang kehidupan, sumber belajar dari mana saja bisa, belajar di mana saja bisa, belajar kepada siapa saja bisa, sebagaimana ungkapan yang disimpulkan dari konsep pendidikan alternative Paulo Fierre “dimana tempat adalah sekolah, setiap orang adalah guru”, mungkin kondisi ini yang menginspirasi lahirkan konsep “merdeka bejar”.

Berangkat dari problem kompetensi yang berimplikasi pada problem kinerja, melalui forum diskusi panjang dirumuskan skala prioritas kebutuhan pendidikan dan pelatihan bagi guru madrasah guna menjawab tantangan kompleksitas Abad 21; (1) Pelatihan Pembejalaran Daring dengan skala prioritas menggunakan e-learning madrasah, (2), Pelatihan Model Pembelajaran Abad 21, yang dapat terimplementasi dalam pembelajaran daring maupun tatap muka (offline). Sebagai pengayaan dibutuhkan juga pelatihan perencanaan pembelajaran (leasson plan) yang sesuai dengan perkembangan kebijakan dan tuntutan pembelajaran abad 21, serta tidak kalah pentingnya adalah pelatihan evaluasi pembejaran.

Rumusan kompetensi guru dan skala prioritas program hasil diskusi tersebut patut diapresiasi dengan pendekatan manajemen strategic dan langkah sinergi steakholders penyelenggara dan pelaksana pendidikan madrasah. Sinergi antara guru, lembaga diklat, dan birokrasi pemangku kebijakan, serta kelompok peduli lainnya. Guru berperan aktif dalam membangun budaya “pembelajar” sepanjang hayat, melakukan refleksi atas apa yang sudah dijalankan dan bagamaimana menghadapi tantangan zaman di masa yang akan datang, sehingga mampu beradaptasi dengan setiap perubahan dengan mainsite terbuka, unggul, dan bedaya saing. Lembaga diklat menjalankan pengembangan program berdasarkan analisis strategik yang beroritasi pada menjawab tantangan masa depan, didukung kurikulum pelatihan yang adaptif dan aplikable, serta SDM yang profesional, kompeten dan kompetitif.

Pada wilayah kerja birokrasi pesan sinergi diwujudkan dengan kebijakan yang akomodatif terhadap kondisi lapangan, serta responsive terhadap perubahan di masa yang akan dating. Bukan sekedar instrukstif tapi didukung degan data lapangan yang mendalam, sehingga kebijakan yang dihasil dapat diimplementasikan dengan kesadaran kolektif. Untuk memastikan sustanabling program, tidak kalah pentingnya dukungan anggaran (buggeting) yang porporsional dan akuntable. Dukungan tersebut, bisa bersumber pada anggaran negara atau sinergi dengan pihak peduli terhadap kemajuan pendidikan Indonesia.

Walhasil, sinergi ini diharapkan mampu mewujudkan figur guru sebagaimana filosofi jawa “digugu dan ditiru”, memiliki kompetensi, responsive terhadap perkembangan zaman, dengan tetap menjunjung nilai budaya bangsa, serta bearifan lokal. Sebagaimana konsep pendidikan yang disampaikan Ki Hajar Dewantara, Pendidikan harus memperhatikan : [1] Kodrat Alam, [2] Kemerdekaan, [3] Kemanusiaan, [4] Kebudayaan, [5] Kebangsaan. Hal itu, juga selaras dengan rumusan tujuan pendidikan buah pikiran Ki Hajar Dewantara sebelum adanya UU Sisdiknas yang pertama, yang subatansinya mengarah pada tugas mulai seorang guru “Mendidik warga negara yang sejati, sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk warga negara dan masyarakat. SELAMAT MENYONGSONG HARI PENDIDIKAN NASIONAL, 2 Mei 2020”.